05. Donatur Terbesar

1129 Words
“Ya ampun, Pak. Saya nggak nyangka bapak ke rumah saya dengan membawa teman saya ini. Bay the way masuk dulu ya, Pak.” Rania menyenggol Melati lalu berbisik, “Ayo atuh diajak masuk.” Melati menggigit bibirnya lalu melirik ke arah lelaki itu. “Pak Wira, ma—mau pulang sekarang?” Kelopak melati membesar yang artinya sedikit canggung untuk mengajaknya ke dalam. “Lho, kok pulang sih, Mel? Pak Wira kan baru sampai. Gimana Pak, mau kan saya suguhkan teh dan singkong goreng crispy saya?” tawar Rania dengan antusias. Lelaki itu pun menyunggingkan bibirnya. “Boleh kalau ditawarkan.” Melati pun merasa canggung lagi-lagi harus duduk berdua dengan wali muridnya. Dia yang ingin masuk ke dalam pun tak enak menunggu temannya yang sedang membuatkan minum untuk atasannya itu. Rania lama banget sih cuma ambil minum doang? Jari-jemari Melati saling menautkan dengan perasaan gundahnya. Padahal Wira begitu santai saat menatap ponselnya. Beberapa lama kemudian, akhirnya Melati dapat bernapas dengan lega melihat kedatangan temannya itu dengan membawa tiga teh hangat juga singkong crispy ala-ala rumahnya. “Pak Wira, jangan sungkan-sungkan ya bertamu di rumah saya. Ya meskipun rumah saya kecil ini hasil jerih payah saya bekerja sebagai pramugari di perusahaan bapak,” celetuk Rania. Dia pun duduk di samping Melati lalu menyenggol lengannya. “Ya nggak apa-apa. Nama kamu siapa tadi?” “Rania, Pak. Salah satu pramugari bapak ya meski jabatan saya nggak tinggi-tinggi amat saya ini termasuk pramugari yang teladan lho, Pak. Bapak masih ingat nggak tahun kemarin saya meraih prestasi sebagai salah satu pramugari paling the best dan anti telat absen dalam satu tahun itu mendapatkan motor baru?” Wira pun berusaha mengingatnya. Tahun kemarin dia memang memberikan dua motor baru untuk pramugari dan pilot yang paling bagus absennya. Dia sendiri paling anti dengan karyawan yang tidak disiplin, maka dari itu dia tak tanggung-tanggung memberikan hadiah itu. “Iya. Saya masih ingat, Rania. Jadi, yang dapat itu kamu?” Gadis berambut panjang yang memiliki tahi lalat di atas alis itu pun menunjuk sepeda motornya di dalam. “Tuh motornya. Alhamdulillah berguna juga bagi Melati.” “Oh, iya?” “Iya, Pak. Ya nggak, Mel?” Rani menyenggol kembali lengan Melati. “I—iya, Pak,” sahut Melati dengan grogi. Wira pun tak banyak cakap pada malam hari itu. Namun, sebagai tamu yang terhormat apalagi dengan karyawannya sendiri pun ikut mencicipi suguhannya itu. Wira begitu takjub makan-makanan tradisional itu. “Kamu nggak takut gendut, Rania? Ini makanan enak banget buat saya kalau laper,” puji Wira. “Lho, Pak Wira lapar? Kenapa nggak bilang saya kan bisa ambilkan nasi?” “Oh, nggak perlu. Maksud saya ini bisa dijadikan sebagai pengganti nasi.” Gadis itu pun merasa beruntung dipuji oleh bosnya. “Saya sih nggak takut gendut, Pak. Kan saya juga nge-gym. Yang saya takuti itu si pembawa harapan palsu masa iya cuma dikenalin doang ke calon mertua dinikahi kaga,” kelakar Rania hingga membuat Wira terdesak. Rania yang terkejut melihat itu pun segera mengambil teh hangat itu. “Ini, Pak.” “Rania, kamu ini gimana sih? Kasihan Pak Wira sampai tersedak gitu,” ucap Melati yang merasa tak enak dengan wali muridnya itu. Rania menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu menebarkan senyum penuh rasa bersalahnya itu. “Nggak apa-apa, Melati. Saya saja terlalu menikmati hasil olahan dia. Ya sudah ini sudah malam. Saya harus cepat-cepat menidurkan Abil. Kalau begitu saya permisi ya.” Mereka berdua pun mengantar Wira ke depan. Rania yang penuh semangat itu pun sampai melambaikan tangan ke atasan tertingginya itu. Setelah mobil Wira keluar dari kompleknya, Rania segera menarik tangan Melati lalu mengunci pintunya. Dia menariknya kembali hingga menuju ke kamarnya. Guratan wajahnya begitu semringah setelah bos besarnya singgah sekejap di rumah kecilnya. “Melati ... oh my god! Aku ini lagi mimpi nggak sih?” Ranie menepuk kedua pipinya hingga memerah. “Aw, sakit juga.” “Lagian kamu ini aneh tahu nggak?” Rania sampai menghentakkan kakinya di lantai lalu mengibas rambut panjangnya. Wajahnya kini tepat di depan wajah Melati. “Mel, kamu nggak paham sedari tadi maksud aku itu apa?” Melati menggeleng dengan polos. Sungguh, Rania yang biasanya lebih tegas, santun, kini entah mengapa berubah menjadi uler keket yang suka nemplok di pohon jambu. “Ya ampun, Melati!” Rania mencubit dengan gemas kedua pipi sahabatnya itu. “Apaan sih, Ran? Semenjak itu bos kamu itu datang, kenapa jadi aneh begini?” “Ih, kamu ini sadar nggak sih? Itu si Pak Wira bos aku itu nggak pernah dengar sejarahnya dia sampai mengantar cewek. Ya elah jauh banget mengantar didekati cewek aja di nggak respect. Lah ini, dia ujug-ujug nganterin kamu sehabis baru pertama kali pulang kerja? Cerita gimana kronologi ceritanya, Melati!” Rania menggoyang-goyangkan pundak Melati hingga membuat kepalanya pening. Melati segera menepis tangan Rania itu. “Ih, kamu ini kenapa sih? Udah kayak wartawan aja deh! Dia itu salah satu wali muridku. Tadi di jalan aku tuh habis ketemu sama ....” Tiba-tiba Melati menghentikan ucapannya yang mengingat kejadian tadi siang yang membuatnya geram. Gadis itu pun menyipitkan matanya. “Ketemu sama siapa? Mantan maksudmu?” Melati mendongak lalu mengangguk. “Ya itulah. Mereka tadi di jalan menggangguku sampai nyiprat ini dibaju. Ternyata Mas Arya sudah menikah ya? Kok kamu nggak pernah cerita sih sampai Sonya sudah hamil juga? Kan satu maskapai sama kamu?” “Lho, aku aja nggak tahu si Kapten Arya sudah nikah sama Sonya?” “Memang nggak ada undangan?” Rania menggeleng dengan polosnya. “Nggak. Cuma minggu lalu itu si pelakor resign. Dan ternyata dia hamil? Cepat amat kayaknya.” “Ah, tahu ah masalah mereka itu mah.” Rania menggoyang-goyangkan lengan Melati kembali. “Terus gimana lanjutin pertemuan dengan Pak Wira?” “Iya siang tadi aku gak sengaja terserempet mobilnya. Terus dia maksa, apalagi anaknya itu anak didik aku jadi terpaksa tadi mampir ke rumahnya,” ujar Melati dengan polos. Kedua bola mata gadis itu terbelalak yang seperti hendak terlepas dari sarangnya. Mulutnya ternganga lalu kedua tangannya bertumpu di atas pundak sahabatnya itu. “So what? Terus kamu dikenalin ke ibunya nggak?” Melati pun mengangguknya dengan polos. Dia pun menceritakan sedikit aktivitasnya selama bersinggah di rumah Wira. Rania yang mendengar hal itu pun ikut terpesona betapa beruntungnya Melati sebagai tamu istimewa oleh presdirnya. “Melati, kamu tahu nggak sih Pak Wira itu tidak pernah menerima tamu atau undangan dari sembarangan orang. Sementara kamu justru diajak ke rumahnya, diobati, dan ... ah, aku iri banget sama kamu,” ucapnya dengan gaya kecentilannya. “Ih, gak jelas kamu. Lagian itu kan wajar karena dia habis nabrak aku. Apa istimewanya?” “Nih ya pegang kata-kataku kalau sampai Pak Wira sampai ngajak jalan sama kamu, please jangan pernah nolak. Sekarang, kamu jadi donatur pekerjaan terbesarku, Melati!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD