07. Ke Mall Bersama

1593 Words
“Ta—tapi, Pak. Sa—” ucapan Arya terhenti saat Wira mengangkat salah satu tangannya. Arya mati kutu tak bisa menjawab kata apa pun ketika sang presiden direkturnya telah berkutik mengeluarkan falsafah terburuk selama dia bekerja. Karyawan yang kurang suka dengan sikap Arya yang terkadang semena-mena dengan bawahan itu pun merasa berpuas hati sebab momen inilah yang ditunggu karyawan lain ketika atasannya bisa bertindak semaunya sendiri. Emang enak luh. Makan tuh omongan pedes Pak Wira. Kalau saja dia tahu Melati itu wali kelas dari anaknya bisa kejang-kejang tuh si Arya, batin Rania seketika merasa puas saat Wira di caci maki di depan para bawahannya. Pagi itu pun, akhirnya benar-benar mengalami gagal penerbangan karena keterlambatannya. Dia pun harus meminta maaf ke ruangan sang presdir demi mengambil hatinya. Semua karyawan yang bermasalah, apalagi sampai ketahuan langsung oleh bos mereka harus meminta maaf langsung sebagai itikad baiknya agar tidak mendapat SP atau surat peringatan pekerjaan yang sudah pasti selain mendapat sanksi juga gaji mereka akan dipotong. Arya mengekori sang presdir sebelum masuk ke ruangannya. “Pak Wira?” Wira hanya bungkam dan masuk saja ke ruangan itu. Dia tak mempedulikan Arya yang masih mengekori lalu masuk ke ruangannya. “Pak Wira, saya minta maaf atas keterlambatan ini. Saya sebenarnya hab—” “Arya, saya tidak mau dengar seribu alasan pun kamu berikan ke saya. Kamu ini kapten, ketua petugas penerbangan dari anak buahmu. Jadi, nggak mungkin kan saya harus nasihati kamu layaknya anak TK?” timpal Wira seakan menyindir Arya. Arya melepas topi pilotnya dengan menunduk. Dia mengaku memang salah. Bukan sekali dua kali Arya terlambat apel melainkan beberapa kali terlebih setelah menikah dengan Sonya, setiap pagi wanita itu minta dimanja hingga membuat Arya kewalahan sampai telat datang untuk apel pagi sebelum penerbangan dilaksanakan. “Ya Pak, saya mengaku memang saya ini salah.” “Kalau sudah salah ngapain dilakukan? Co capten di maskapai saya itu sudah banyak yang mahir. Saya belum mengangkat mereka karena saya tahu kapten di sini masih ingin bekerja. Jadi, jika kamu bosan bekerja sebagai pilot kamu langsung ajukan surat resign saja. Saya akan segera menandatangani surat itu,” ucap Wira yang membuat kedua bola mata Arya melebar. Menjadi kapten pilot adalah cita-cita Arya sedari kecil. Ibunya sudah membiayai kuliah juga sekolah untuk menjadi kapten dengan jerih payahnya. Dia tak mungkin mundur begitu saja hanya karena kena omel dari bosnya itu. “Pak, saya masih membutuhkan pekerjaan ini. Jadi, saya masih mengundi nasib di maskapai ini,” sahut Arya dengan lembut. “Ya sudah saya terima laporan kamu. Ini adalah kesempatan terakhir. Karena kamu kapten saya masih memberikan wewenang lebih. Jika kamu melakukan tindakan kedua pada masalah yang sama saya tidak akan segan-segan untuk memecat kamu dari maskapai saya. Kamu paham?” Arya pun merasa tertegun dengan ucapan bos maskapainya itu hingga membuat posisinya terancam punah. Seketika Arya melirik pada tote bag yang Wira bawa dari mobilnya. Saat Wira membuka taperware makanan itu membuat hidung Arya mengendus-ngendus semakin kuat. Kok, aku nggak asing ya sama bau masakan makanan yang dibawa Pak Wira? Arya pun sampai melirik nasi goreng itu hingga membuat perutnya keroncongan sebab dia memang belum sempat sarapan. Wira yang baru saja membuka taperware itu melirik ke arah Arya yang melamun seketika. “Kok masih di sini?” Arya sampai tak sadar ketika Wira mengusir halus. “Arya?” panggil Wira dengan suara yang sedikit lantang, hingga membuat kedua pundak Arya terangkat dengan kompak. “I—iya, Pak?” “Ngapain kamu masih di sini? Sana langsung absen pulang kalau tidak mau dipotong banyak. Ingat ya besok kamu jangan sampai terlambat berangkat kembali,” ancam Wira. Arya pun mengangguk datar. Kakinya melangkah keluar dari ruangan sang presdir itu. Namun, dia merasa janggal setelah mengendus bau nasi goreng yang presdirnya bawa. Sedari tadi cacing-cacing yang ada di dalam perutnya ikut keroncongan yang rasanya ingin mencicipi nasi goreng yang dibawa oleh Wira. “Kenapa, aku seketika teringat masakan Melati ya?” “Nggak mungkin kan setelah aku ceraikan dia beralih jadi tukang nasi goreng?” Tangannya memegangi perutnya yang sedari tadi bunyi. “Ah, kenapa aku jadi kangen nasi goreng buatan Melati?” Hal yang biasa dia rasakan dari Melati adalah ketika masuk pagi dan disuguhkan nasi goreng sapi. Arya bahkan meminta bekal nasi goreng persis seperti yang dia lihat dari tapperware yang dibawa Wira. Sementara Wira, dia langsung jatuh cinta bau nasi goreng buatan Melati. Awalnya dia akan mengembalikan setelah apel pagi ke tempat Melati bekerja. Namun, cacing di dalam perutnya pun tak kuasa menahan laparnya. “Apa aku makan saja ya?” “Aku jadi rindu sarapan nasi goreng buatan mamah.” “Tapi, kalau Melati cari gimana ya?” Wira berdecak semringah. “Ah, gampang. Nanti, aku tinggal bayar sajalah saat bertemu kembali.” Lelaki itu kembali mengendus sampai membuatnya jatuh cinta pada masakan Melati. Dia menyendok sedikit demi sedikit nasi goreng itu. Sudah lama sekali, Wira tidak sarapan nasi di pagi hari semejak ibunya sakit. Kehidupan yang serba instan sampai lupa sarapan nasi goreng di pagi hari memang memiliki rasa tersendiri terlebih saat perutnya keroncongan. Suara ketukan pintu tak membuat dia marah karena nasi goreng yang lezat itu. Biasanya, jika Wira sedang istirahat atau makan paling malas diganggu oleh siapa pun yang memasuki ruangannya jika tak ada janji. “Masuk!” Seorang lelaki berwajah tegas dan menawan itu terbelalak ketika melihat atasannya sedang sarapan nasi goreng yang bertempat di tapperware. Sungguh, hal yang sangat aneh baginya melihat sang presdir sarapan nasi di pagi hari. “Se—selamat pagi, Pak,” ucap Andrew—asisten Wira dengan terbata-bata. “Pagi,” sahut Wira santai saat hendak makan sesendok nasi lagi. Langkah lelaki berwibawa itu pun hanya perlahan dan berdiri di depan Wira. Dia paling anti duduk sebelum Wira menyuruhnya. “Duduklah. Kamu nggak capek berdiri terus?” Wira mengambil sebotol air mineral yang ada di atas mejanya. “Baik, Pak.” Andrew menarik kursi itu lalu duduk dengan rapi. Sungguh, pagi hari ini Andrew yang biasa menemani Arya dengan serius, tegang, bahkan panik ini lebih dari hari biasanya. Wira kini lebih santai, bahkan dia seperti mengira Wira sedang makan nasi goreng di pinggir jalan sampai upa nasinya ada yang tertinggal di atas mejanya. “P—pak Wira sarapan nasi goreng?” tanyanya dengan penasaran. Wira mendongak dengan santai. “Iya. Memangnya kenapa?” Andrew menggeleng. Dia paling anti penasaran berlebihan tentang kehidupan atasannya itu. “Oh, tidak apa-apa, Pak. Apa ada tugas pagi hari ini, Pak?” “Saya sengaja datang pagi hari untuk mengecek gosip itu. Ternyata benar ada karyawan yang seenaknya sendiri. Kamu pantau lagi dan berikan informasi yang akurat kepada saya.” “Baik, Pak.” “Ya sudah saya mau pulang lagi. Hanya itu saja kerjaan saya pagi hari ini.” Wira menutup tapperware itu kembali lalu memasukkan ke dalam tote bag itu. Sungguh, Andrew rasanya ingin tersenyum melihat sang presdir memegang barang antik bagi pembekal sejati. Namun, dia berusaha tetap serius yang memang pekerjaannya berbau serius. “Kamu kenapa masih di sini?” tanya Wira dan reaksinya sama seperti ketika mengusir halus Arya. Andrew pun segera beranjak dari duduknya. “Saya kembali bekerja dulu, Pak.” “Silakan.” Siang harinya, Wira pun menjemput putranya yang hari ini pulang lebih cepat dari biasanya. Dia pun sudah mencuci tupperware itu di samping ruangannya sebelum pergi. Karyawan yang melihat Wira mencuci perkakas pembekalan itu merasa tertegun dan hal yang membuat mereka terkejut tidak mau dibantu oleh bawahannya. Aneh, bukan? “Papah!” Abil yang baru keluar dari kelasnya pun berlari saat melihat ayahnya yang sudah berdiri di samping mobilnya untuk menjemput dirinya. Wira yang melihat anaknya berlari itu pun seketika mencondongkan tubuhnya lalu menangkap putra kecilnya. Dia mencium Abil dengan gemas. “Abil. Gimana sekolah hari ini?” “Abil hari ini bahagia banget deh, Pah.” Wira yang merasa penasaran itu pun mengangkat salah satu alisnya. “Oh, iya? Kenapa emang?” “Aku dapat bintang sepuluh di pelajarannya Bu guru Melati, Pah,” ucapnya dengan semringah. Wira benar-benar tertegun dengan putranya yang kembali ceria setelah beberapa bulan itu berdiam diri. Sudut matanya seketika melihat Melati yang baru saja keluar dari ruangannya. “Pah, itu Bu guru Melati. Kita pulang bareng yuk, Pah,” pintanya dengan manja. Abil meminta untuk diturunkan dari gendongan ayahnya. Melati yang baru keluar dari gerbang itu pun diserbu manja oleh anak kecil itu. “Bu guru kita pulang bareng lagi yuk.” Melati melirik ke arah Wira. “Abil, Bu guru bisa pulang sendiri kok,” tolak Melati yang merasa tidak enak jika harus satu mobil dengan wali murid laki-laki. Tiba-tiba kepala sekolah dari TK itu pun menegur Melati sebelum pulang. “Bu Melati, jangan lupa ya beli bahan-bahan untuk class meeting besok,” ucap kepala sekolah itu hingga dianggukan oleh Melati. “I—iya, Bu. Hari ini saya akan belanja keperluan untuk besok.” Setelah kepala sekolah dan yang lainnya pergi kini tinggal mereka bertiga yang masih berdiri di depan gerbang. “Bu guru gimana kalau Abil temani? Kan, Bu guru nggak tahu mainaan kesukaan anak-anak lainnya. Ayo Bu guru kita beli mall bareng.” Abil yang sudah tidak sabaran itu pun menarik tangan Melati hingga di samping mobilnya. Melati yang hendak menolak itu pun akhirnya menerima tawaran Wira untuk diantar belanja keperluan sekolahnya. Lagi-lagi dia haru duduk di depan dengan memangku Abil. Dia benar-benar merasa canggung dengan Wira akibat semalam dia bertamu ke rumah Rania. “Melati, saya suka sama masakan kamu deh,” puji Wira hingga membuat Melati yang melihat ke arah jendela menoleh seketika ke arah lelaki yang sibuk menyetir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD