04. Dia, Presdir Maskapai?

1610 Words
Anak kecil itu keluar dari mobil lalu segera memeluk Melati dalam keadaan bingung. “Abil?” “Bu guru ini papahku. Apa, Bu guru ingat?” Melati menggeleng sebab waktu itu, dia tak terlalu memperhatikan wajah Wira. Dia hanya merasakan betapa sakit hatinya setelah keluar dari hotel itu untuk menyelidiki mantan suaminya. “Tidak, Abil. Bu guru tidak mengingatnya.” Wira melepaskan anaknya itu. Melihat luka di tangan melati membuat lelaki itu merasa iba dengannya. “Bil, Bu guru sedang kesakitan. Kita bawa Bu guru ke rumah ya.” Melati menggeleng kembali. “Ti—tidak perlu, Pak. Sa—saya tidak apa-apa.” “Bu guru tadi siang kan sudah menolong Abil. Jadi, Abil mau menolong Bu guru juga,” celetuk anak kecil itu. “Tapi, Bil. Bu guru nggak apa-apa,” tolak Melati. Dia paling tidak enak berurusan dengan orang lain terlebih hanya luka kecil itu. Abil menggeleng seakan hendak memaksa gurunya itu. “Bu guru kan bilang tadi siang kalau kita harus tolong-menolong. Lah, sekarang Abil mau nolongin Bu Guru masa ditolak sih? Apa, Abil bukan orang spesial di hidup Bu guru?” “Eh, n—nggak gitu, Bil. B—bu guru, memang tidak kenapa-napa,” sahut Melati lagi dengan terbata-bata. “Tapi, Abil mau Bu guru ke rumah Abil. Kan, papahnya Abil gak sengaja nabrak Bu guru.” “Benar apa yang dikatakan Abil. Saya kan nggak sengaja menabrak kamu. Dan tanganmu itu sedikit terluka, nanti bisa infeksi. Saya mohon kamu terima tawaran saya.” Melati menghela napas lalu menganggukan untuk menerima tawaran baik itu dari muridnya. Melati mengiyakan sebagai tanda pembelajaran untuk muridnya. Dia hanya mencontohkan layaknya sebagai guru yang saling menerima bantuannya. “Yeay ... Bu guru ke rumah Abil.” Melati akhirnya dapat tersenyum melihat tingkah laku bocah yang baru memasuki usia lima tahun itu. Saat Melati hendak membuka pintu belakang, tiba-tiba anak kecil itu menariknya. Dia tak akan membiarkan Melati yang sudah menolongnya tadi siang duduk di belakang. “Bu guru duduk sama Abil di depan aja.” “Tapi Bil, Bu guru bisa duduk di belakang,” tolak Melati. Tidak enak rasanya duduk di samping wali muridnya. “Maaf Bu, nggak apa-apa duduk di depan aja,” ucap Wira. “Tap—” “Bu guru, Abil bakalan marah kalau Bu guru nggak mau di depan,” potong anak kecil itu yang mulai posesif. Akhirnya, Melati pun menuruti kemauan muridnya untuk duduk di depan. Entah mengapa Melati sedikit canggung. Namun, dia berusaha untuk tetap tenang agar perjalanannya tidak merasa canggung berdampingan dengan wali muridnya. “Bil, kamu kok pangku sih. Kasihan Bu gurunya lagi sakit.” Wira melirik kaget saat anaknya pindah tempat duduk menjadi di atas pangkuan Melati. “Maaf ya Bu, Abil memang seperti itu kalau sudah dekat sama orang.” “Nggak apa-apa, Pak. Saya juga senang dengan Abil yang mudah bergaul.” “Abil mudah bergaul? Dia itu paling susah kalau dekat sama orang baru.” “Masa sih, tapi sama saya tadi mudah, kok.” “Mungkin, kamu orangnya bisa merebut hatinya. Oh iya, nama kamu siapa?” “Melati, Pak.” Wira pun mengangguk. “Nama saya Wira. Kamu bisa panggil saya Pak Wira.” Melati pun bisa memeluk anak kecil itu. Rasanya besar hati Melati untuk memiliki keturunan melihat Abil yang begitu lincah dan mudah bergaul dengannya. Di satu sisi Wira baru kali ini melihat senyum Abil yang merekah di pangkuan gurunya. Selama ini dia mengasuh Abil tak pernah melihat senyumnya yang renyah itu. “Pah, itu ada orang berdua duduk bareng, Pah. Kayak mau ciuman, Pah.” Sontak Melati yang melihat adegan itu pun segera menutup kedua mata Abil dengan tangannya. “Abil, jangan sampai lihat, Sayang.” “Heran sama anak jaman sekarang bisa-bisanya menebarkan aura negatif di tempat umum,” gerutu Wira yang dia pun sempat melihatnya di taman umum itu. Setelah itu Melati pun melepaskan tangan dari wajah anak kecil itu. “Pah, kok papah nggak begituan sih, Pah? Papah kayaknya cocok sama Bu guru Abil,” celetuknya hingga membuat Wira salah tingkah. Pun dengan Melati, dia semakin gugup berada di samping Wira. Wira pun akhirnya meminta maaf kepada Melati dengan gurauan anaknya itu. Untung saja, Melati tidak mengambil hati berlebihan dengan celutakan murid tengilnya itu. Sementara Abil kedua matanya sudah sayup-sayup tak bisa menahan kantuknya. Sampai di rumah yang begitu megah, hingga Melati merasa minder diajak ke rumah anak didiknya itu. Melati membuka pintu mobil itu lalu menggendong Abil. “Abil, turun yuk, Nak. Kasihan Bu guru pasti kamu berat.” Wira hendak mengambil tubuh Abil, akan tetapi anak kecil itu menepisnya dengan geram. “Aku mau sama Bu guru tidurnya, Pah!” “Nggak apa-apa Pak Wira. Biar saya yang gendong Abil. Wira pun hanya mengangguk lalu mengantar Melati ke kamar anak kecil itu. Saat Melati meletakkan tubuh Abil, anak kecil itu pun semakin memeluk Melati ke dalam dekapannya. “Mau tidur dulu sama Bu guru.” Wira mengusap wajahnya dengan gusar melihat tingkah laku Abil. Melati pun hanya tersenyum lalu mengangguk. Dia segan untuk menidurkan anak didiknya yang sangat kelelahan itu. “Melati, saya minta maaf. Waktu kamu jadi bertambah gara-gara Abil.” “Tidak apa-apa, Pak. Saya menidurkan Abil dulu ya, Pak.” Melati melepaskan sepatu juga baju seragam anak itu hingga tersisa kaos dalam dan celana. Sebelum petang, Melati pun membantu memandikan anak kecil itu hingga dipakaikan bajunya. “Abil, ini kan sudah sore. Bu guru mau pamit pulang dulu ya.” “Yah, kok pulang sih? Kan belum makan.” “Nggak apa-apa, Melati. Apa yang Abil katakan benar. Kamu lebih baik mandi di kamar Abil nanti bajunya biar ART saya yang ambilkan.” “Tap—” “Bu guru, Abil nggak suka tapi-tapian. Sekarang Bu guru mandi dulu Abil tunggu di sini.” Melati pun mengangguk dan menuruti saja kemauan anak kecil itu. Tak lama kemudian ART itu memberikan gaun setinggi lutut untuk Melati. Hanya membutuhkan waktu dua puluh menit Melati selesai mandi. “Bu guru cantik banget pakai gaun warna pink,” puji anak kecil itu. “Terima kasih, Bil. Tapi, ini terlalu bagus untuk Bu guru. Apa nggak ada yang lain ya?” Abil menarik Melati untuk menuju ke meja makan. Di sana sudah ada Wira juga ibunya yang bernama Marina. Marina terkejut melihat perempuan cantik keluar dari kamar cucunya. Saat itu cucunya menarik tangan Melati dengan semringah. “Nenek,” panggil Abil. “Abil ini siapa? Wira, apa ini calon yang kamu mau kenalkan ke Mamah?” Melati terbelalak dengan ucapan Marina. Pun dengan Wira merespon hal yang sama lalu mereka pun menggeleng dengan waktu yang bersamaan. “Bukan,” sahutnya kompak. “Nek, ini Bu guru Abil. Tadi siang Papah mau nabrak terus tadi nemenin Abil tidur juga mandikan Abil.” “Ya ampun, kamu terluka tidak, Nak?” tanya Marina dengan penasaran luka Melati karena anaknya. Melati menggeleng. “Nggak kok, Bu.” “Abil, ajak Bu guru duduk.” “Baik, Nek.” Abil akhirnya mau duduk di pangkuan Melati kembali lalu menyuapkannya. “Namamu siapa, Nak?” “Melati, Bu.” “Maafkan Abil ya dia memang suka begitu sama orang kalau sudah senang.” “Nggak apa-apa, Bu. Saya senang bisa bermain sama Abil.” Melati menyuapkan anak kecil itu hingga habis. “Abil, sini biar Bu guru makan dulu.” “Iya, Pah.” Kemudian Abil duduk di atas pangkuan Wira. Melati merasa canggung bertamu di keluarga yang begitu mewah baginya. Dia benar-benar seperti menjadi tamu istana. Namun, dia juga sangat menjaga sikapnya. Setelah usai makan, Melati pun hendak pamit pulang karena hari sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Jarak rumahnya cukup jauh maka dari itu dia harus pulang lebih awal. “Wira, kamu antar lagi Melati. Kasihan ini sudah malam.” “Baik, Mah.” Melati melambaikan tangan. “Bu, ti—tidak usah. Sa—saya bisa pulang sendiri.” “Nggak apa-apa, Melati. Kamu sudah membantu Wira tadi untuk mengurus Abil. Wira, ayo antar dia.” Mau tidak mau Melati pun akhirnya diantar Wira kembali. Saat Melati hendak membuka pintu belakang, Wira lebih cepat membuka pintu depan. “Silakan, Melati.” “Pak, sa—saya di belakang saja.” “Saya bukan sopir kamu. Sebaiknya kamu duduk di depan.” “Tap—” “Saya sama Abil tidak suka diberi tapi. Ayo, katanya sudah malam,” potongnya dengan memaksa. Melati mengangguk lalu masuk ke dalam mobil itu yang harus duduk berdampingan dengan wali muridnya sendiri. Wira memegang tangan Melati, akan tetapi segera Melati tepis. “Melati, saya belum mengobati tanganmu yang tergores kap mobil saya.” “Ini hanya luka kecil, Pak. Saya tidak apa-apa.” Wira kekeh mengambil kotak P3K lalu mengoleskan sedikit alkohol hingga membuat Melati semakin canggung. Pun dengan Wira saat melihat Melati dalam dekat. “Ma—maaf, Melati.” “Ti—tidak apa-apa. Bisa jalan sekarang, Pak.” Untuk menghindari rasa gugup, Melati hanya memandang di samping jendela mobil yang sebenarnya dia juga sudah terlalu capek sedari pagi dia belum istirahat. Kerja di hari pertama membuat tubuhnya lelah sebab dia juga sudah lama tak aktif bekerja. Empat puluh menit kemudian, akhirnya mobil Wira sampai di depan rumah Rania. Saat Wira keluar dari mobil, dia segera membukakan pintunya untuk Melati. Sementara Rania yang mendengar suara mobil segera keluar karena penasaran dengan siapa yang datang. Kedua bola matanya hendak melompat siapa yang mengantar sahabatnya itu. “P—pak Wira?” ucap Rania seketika gemetar melihat lelaki itu. “Lho, kamu kenal saya?” Wira semakin bingung dengan Rania yang mati kutu. “Presiden Direktur Maskapai Bahari Group? Saya pramugarinya bapak,” sahut Rania yang membuat mereka juga sama-sama saling menatap takjub.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD