Kelana 6

1110 Words
Pagi menunjukkan pukul 6, seperti biasa Fauziah disibukkan dengan menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilnya. Karena pukul 9, suaminya akan masuk ngajar, lalu pukul 7.30 putrinya akan masuk sekolah. Fauziah sudah terbiasa melakukan semua ini tanpa bantuan ART, karena hidup mereka pas-pasan, jadi harus berusaha hemat untuk memenuhi kebutuhan mereka yang semakin hari semakin meningkat, karena itu Kelana juga ikut berusaha untuk bekerja agar bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. Tak lama kemudian. Fauziah melihat jam dinding yang ada di ruang tengah, ia hendak ke kamar Kelana dan membangunkan adik iparnya itu, karena takutnya terlambat lagi, namun belum masuk ke kamar adiknya, Fauziah sudah disambut oleh kertas memo yang sudah ditempel dipintu kamar Kelana. (Assalamu’alaikum, Mbak. Lana udah berangkat kerja, soalnya hari ini adalah kesempatan terakhir Lana, jika Lana telat, Lana akan dipecat, jadi maaf kalau Lana tak membangunkan Mbak.) Fauziah membuka pintu kamar Kelana dan melihat kamar adiknya itu sudah bersih, Fauziah tersenyum dan mendesah napas halus, biasanya Kelana akan membuat kamarnya berantakan. Fauziah kembali ke dapur untuk menyiapkan sarapan. *** Kelana akhirnya tiba di kantor lebih cepat, bahkan kantor masih sangat sepi, belum ada yang datang. Pagi ini masih pukul 06.40. Tentu saja ia datang kepagian karena takut dengan kesempatan terakhir yang diberikan managernya. Kelana lalu membaringkan kepalanya diatas meja kerjanya dan lelap kembali menjemputnya, ia terlalu takut untuk kehilangan pekerjaannya sehingga sepagi ini ia sudah di kantor. Bahkan tak sempat sarapan dan kemarin tak sempat makan siang. Kelana sangat membutuhkan pekerjaan ini karena ia ingin membantu abangnya mencari nafkah untuk keluarga. Bagaimanapun juga, Malik sudah menyekolahkan Kelana hingga sampai ke universitas, meskipun Kelana kuliah karena beasiswa yang ia dapatkan, namun uang jajan diberikan oleh Malik dan Fauziah Sudah saatnya Kelana membalaskan budi baik abangnya dengan bekerja membantu financial keluarga. Kelana mendesis dan bergerak gelisah. Hanya dengan membaringkan kepalanya, Kelana jadi memimpikan kebersamaan bersama kedua orangtuanya, hari demi hari mereka lalui dengan bahagia, terkadang sang Ayah menggendongnya mengelilingi kompleks rumah kala itu, meskipun hidup mereka sederhana namun mereka sangat bahagia, dulu ayahnya sering mengajari Kelana bahwa setiap hal yang terjadi di dunia belum tentu seperti yang diinginkan, Kelana harus berjuang sendirian dan mandiri demi kehidupan yang ia impikan. Setiap kebaikan selalu diajarkan oleh keluarganya. Ayah dan ibunya yang cenderung mengalah meskipun sudah terluka oleh omongan tetangga. Pernah juga Kelana marah besar meskipun usianya masih 10 tahun karena kedua orangtuanya diomongin dibelakang, sampai Kelana dianggap tak sopan meskipun memiliki kedua orangtua yang sholeh dan sholeha. Kebahagian Kelana hanya sampai 12 tahun masa hidupnya, ia menjadi anak yatim piatu sehingga merasa kehilangan pawang hidupnya. Kelana yang dulunya sangat dekat dengan kedua orangtuanya harus dipukul kenyataan karena tak memiliki orangtua lagi. Semenjak Kelana kehilangan kedua orangtuanya, Kelana selalu mengurung diri di kamar, karenaia kehilangan disaat ia masih ingin bersama. Datanglah Malik dan istrinya untuk menenangkannya, menyuruhnya sabar untuk menghadapi cobaan ini, sehingga Kelana menjadi lebih baik. Kelana ikut Malik dan Fauziah ke Jakarta, meninggalkan kota Pontianak karena tak ada lagi tempatnya di sini. Kelana menjalani kesehariannya dengan belajar agama, tugas ayahnya diambil oleh Malik dan Malik yang melanjutkan pembelajaran berharga untuk Kelana, sampai Kelana menjadi wanita dewasa yang tertutup. Kelana menitihkan airmata dalam tidurnya. Lalu, tak lama kemudian, ia mendengar suara samar orang-orang masuk. “Kelana. Kelana. KELANA!” Kelana membuka pejaman matanya dan melihat Iza yang saat ini berdiri disampingnya, lalu Kelana melihat sebagian rekan-rekan kerjanya menoleh dan melihatnya. Kelana menyeka airmatanya dan tersenyum melihat Iza. “Kamu udah lama datangnya?” “Kamu kenapa, Lana? Apa ada sesuatu yang kamu pikirkan?” tanya Iza duduk disebelah Kelana. Kelana melihat jam dinding di ruangan para staf dan pagi menunjukkan pukul 07.52. Jadi, ia tidur selama satu jam? Kelana menggelengkan kepala dan meregangkan ototnya karena sedikit sakit badannya. “Kamu kenapa, Lana? Ngomong dong,” tanya Iza lagi. “Aku gak apa-apa, Iz.” Kelana menggeleng. “Kalau kamu sakit bilang,” kata Iza. “Aku gak sakit kok.” “Terus tadi kamu nangis loh.” “Eh aku? Oh aku kayaknya mimpi aja.” “Emang kamu tiba di kantor jam berapa?” tanya Iza. “Pukul setengah 7.” “Pantas aja kamu ngantuk, datangnya kepagian.” “Soalnya aku takut telat lagi,” kekeh Kelana. “Emang setiap malam kamu ngapain aja?” “Kamu kan tahu tugas dari Bang Malik,” bisik Kelana. “Kamu kenapa sih gak ngomong sama Bang Malik? Malah nyiksa kamu gini.” “Eh jangan. Aku suka kok, namanya belajar agama.” “Ya belajar sih belajar, tapi jangan sampai kamu susah tidur.” Kelana tersenyum dan menggelengkan kepala. Iza adalah sahabatnya, dulu mereka satu sekolah, yang merekomendasikannya bekerja di perusahaan ini adalah Iza. Karena Iza sudah lama bekerja di sini dan mendengar Kelana butuh pekerjaan. Kelana juga sangat cocok dengan pekerjaan ini. Panji melihat Kelana sejak tadi, Kelana terlihat sangat lelah, bahkan Panji merasa ada sesuatu yang aneh karena Kelana tertidur sambil menangis, hal itu membuat Panji tahu satu hal bahwa kehidupan Kelana tak sesempurna dirinya. Panji jadi ingin menjadi seseorang yang bisa menghapus airmata itu. Namun, Panji memiliki batasan dan Kelana yang selalu menolaknya. “Kamu kenapa? Katakan saja. Aku akan selalu ada untuk kamu,” tanya Iza lagi, kali ini dengan suara yang lebih rendah. “Aku mimpi Ibu sama Bapak,” jawab Kelana mengelus hijabnya. “Berat ya? Kamu yang sabar ya,” ucap Iza. Kelana menganggukkan kepala. “Aku kangen sama mereka.” “Aku tahu. Meskipun aku gak pernah melihat atau pun tahu tentang kedua orangtuamu, tapi mereka pasti orang baik, karena kamu dan Bang Malik bercermin dari mereka,” kata Iza yang mengenal Kelana ketika mereka sama-sama masuk SMP. Kelana tersenyum dan mendesah napas halus. “Aku jadi pengen minta ke Bang Malik supaya aku bisa ke Pontianak untuk ziarah makam Bapak dan Ibu.” “Hem. Aku akan coba memintanya, apalagi udah mau Ramadhan,” kata Kelana. Iza mengangguk dan tersenyum. “Kamu kelihatan lesuh hari ini.” Kelana menggelengkan kepala. “Aku gak apa-apa.” “Lana, kamu jangan sampai maksain diri ya. Kalau gak bisa bilang gak bisa, kamu harus jaga kesehatan,” kata Iza. “Iya, Iza. Aku akan menjaga kesehatan dengan baik.” “Kalau sepagi ini kamu udah di kantor. Kamu sarapan kan di rumah?” tanya Iza. “Aku udah makan roti tadi di rumah sama minum teh.” “Hanya roti? Gak makan makanan berat? Aku beliin deh. Kamu makan di pantry.” “Udah ah gak usah ribut,” geleng Kelana. “Udah jam 8. Pindah gih.” “Tapi kan kamu—” “Udah. Aku gak apa-apa kok. Kamu gak usah buat keributan. Aku beneran gak apa-apa," geleng Kelana mendorong pelan Iza agar kembali kemeja kerjanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD