Kelana 1
Terdengar suara jam beker yang menggema seisi rumah, namun tak mengindahkan seorang gadis untuk bangun dari tidurnya. Tak lama kemudian, seseorang masuk ke kamar gadis itu dan mematikan alarm.
“LANA!” teriaknya begitu keras tepat didaun telinga gadis yang masih tidur seperti kebo.
Alarm yang berbunyi di kamarnya saja bisa membangunkan semua orang, sementara pemilik kamar ini malah tak terbangun dan masih tertidur.
“Apa sih, Kak?” tanyanya meraih bantal dan menutup telinganya.
“Kamu gak kerja? Udah hampir jam 8.”
Gadis yang bernama Kelana Larasati itu membulatkan mata, lalu terbangun dengan melihat jam bekernya.
“Astagfirullah, Kak. Udah hampir jam 8, aku udah telat, mati aku,” geleng Kelana lalu bangun dari pembaringannya dan masuk ke kamar mandi, tak lama kemudian ia berteriak, “KAK, HANDUKKU!”
“Ya ampun, Lana. Kapan kamu bisa menjadi dewasa? Kamu itu sudah 23 tahun tapi masih saja seperti wanita yang tidak memiliki tujuan hidup,” geleng sang Kakak, Fauziah namanya.
Fauziah lalu meraih handuk yang digantung didepan kamar mandi dan memberikannya kepada Kelana yang saat ini mengulurkan tangannya, Fauziah menggeleng lalu memperbaiki ranjang adiknya itu, lalu menyiapkan pakaian Kelana yang akan digunakan, ia harus membantu adiknya itu jika sudah terlambat seperti saat ini, agar Kelana tak membuat kamarnya berantakan untuk mencari apa yang akan ia gunakan.
Tak lama kemudian, seorang pria datang dan bersandar dipintu kamar Kelana.
“Kenapa, Sayang? Lana telat lagi?” tanya Malik—sang suami—dari Fauziah, Kakak kandung Kelana. Sementara Fauziah adalah Kakak ipar Kelana.
“Iya, Bang, telat lagi seperti biasanya. Ini lah akibatnya kalau Abang suruh Lana hafal hadist-hadist. Jadinya, dia tidur kemaleman dan bangun telat dipagi hari, dia kan baru masuk kerja, Bang. Harusnya kurangin tugas yang Abang kasih.”
“Hafalan hadist juga itu penting, Sayang. Dan, ini tugas Abang sebagai abangnya untuk mendidiknya ke jalan yang benar.” Malik menggelengkan kepala. “Seharusnya yang mengajarinya keagamaan juga gak boleh dijadikan hal yang bisa menghambat pekerjaannya. Ini semua sudah menjadi tugas Lana untuk mandiri dan bisa mengatur waktunya sendiiri.”
“Ya Allah, Bang. Ziah gak tahu lagi deh mau ngomong apa ke Abang. Kasihan kalau Lana dikasih tugas berat kayak gitu, mana dia kerja. Kalau dia di rumah ya gak masalah.”
“Ziah, Abang ini hanya ngajarin adik Abang supaya gak lupa sama Allah. Karena ini penting demi masa depan Lana, Abang ingin kalau Lana bisa mendapatkan jodoh yang akhlaknya baik.” Malik menatap istrinya yang saat ini menundukkan kepala dan mempersiapkan perlengkapan kerja Kelana.
“Dan, jangan manjain Lana terus, Sayang. Lana itu udah dewasa, udah waktunya dia mandiri dan bisa melakukan semuanya sendiri. Kalau kamu terus memanjakannya seperti ini, kamu akan membuatnya kehilangan pendidikan agama yang aku kasih.” Malik lalu melangkahkan kakinya meninggalkan kamar Kelana.
Fauziah lalu mengatur buku-buku hadist yang Kelana miliki, karena buku itu berhamburan diatas ranjang, sampai dilantai, mengisyaratkan jika Kelana belajar sangat giat sesuai keinginan abangnya.
Malik selalu memberikan tugas yang berat untuk Kelana, bahkan pernah meminta Kelana untuk menghafal surah Al-Baqarah dari ayat 1-100.
Fauziah memahami apa yang suaminya itu lakukan demi kebaikan Kelana dan demi masa depan Kelana. Karena, bagi Malik, pendidikan islam adalah yang utama, karena itu dulunya Kelana ia masukkan ke pesantren untuk belajar pendidikan Agama Islam.
Tak lama kemudian, Kelana keluar dari kamar mandi dan melihat kakak iparnya itu masih mengatur apa yang akan ia kenakan.
Kelana tersenyum dan memeluk Fauziah dari belakang. “Makasih ya, Mbak,” ucap Kelana.
“Eh apa-apaan ini, bukannya ganti baju malah peluk mbaknya,” geleng Fauziah. “Mending kamu cepat ganti baju daripada nanti kamu dengar abangmu marah-marah.”
“Abang kandung Lana kayak bukan abang kandung Lana mbak, yang kakak kandung Lana kayak Mbak Fiah ini.” Kelana masih memeluk kakak iparnya.
“Kamu tahu kan yang abangmu lakukan itu semua demi kebaikanmu?” tanya Fauziah.
“Iya. Abang pengen Lana memahami agama dengan baik, karena itu Lana selalu ikut pendidikan yang Abang kasih. Meskipun semua sudah Lana pelajari di pondok pesantren. Tapi, Abang memperdalamnya lagi.”
“Udah gak usah dibahas, kamu cepat ganti baju dan gak usah dandan, kamu tahu kan kalau abangmu gak suka kalau kamu dandan? Itu katanya mengundang hal-ha negatif,” kata Fauziah membuat Kelana mengangguk, lalu melangkah mengganti pakaiannya.
Kelana dan Malik sudah kehilangan Umma dan Abah mereka, jadi Kelana sekarang hanya memiliki Malik dan Fauziah, sebagai walinya. Karena mereka kehilangan kedua orangtua mereka disaat usia Kelana masih 12 tahun.’
Sekarang, seluruh didikan dan tanggung jawab jatuh kepada Malik, sebagai kakak kandung Kelana.
Setelah berpakaian lengkap dan tak lupa mengenakan hijabnya, Kelana melangkah menuju ruang tengah dan melihat abang dan kakak iparnya itu sedang mengaji.
“Bang, Mbak, Lana berangkat dulu,” kata Kelana.
“Iya, Lana. Hati-hati dijalan ya,” kata Fauziah.
Kelana menganggukkan kepala. “Iya, Mbak.”
“Ingat, Lana. Jangan lupa shalat dan jangan terlalu dekat dengan lelaki yang bukan mahrommu, jangan ikut pergaulan temanmu dan jangan ikut-ikut kemana-mana. Tundukkan pandanganmu jika seseorang menatapmu,” pesan Malik pada sang adik.
Kelana adalah gadis yang sangat cantik, tak jarang yang menyukainya dan ingin menikahinya, namun sampai saat ini Kelana tak tertarik dengan lawan jenis, bahkan ia tak pernah mengenalkan seorang pria kepada keluarganya. Karena, ia tahu abangnya itu tak akan menerimanya jika akhlaknya minim.
Kelana meraih kedua tangan Abang dan mbaknya itu, lalu berkata, “Lana pergi dulu, Bang.”
“Iya. Ingat pesan abang,” kata Malik.
Kelana menganggukkan kepala. “Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumssalam,” jawab Malik dan Fauziah secara bersamaan.
Sepeninggalan Kelana, Malik dan Fauziah bertukar pandangan, Malik menautkan alis melihat tatapan istrinya itu.
“Sayang, ada apa?” tanya Malik.
“Bang, Lana kan udah dewasa, memangnya kenapa kalau misalkan dia dekat dengan laki-laki?” tanya Fauziah membuat Malik mendesah napas halus.
“Sayangku, aku tak mau kalau lelaki hanya melihat Lana dari kecantikannya. Karena Lana itu terlalu cantik dan pasti yang melihatnya hanya akan kagum dengan kecantikannya, tapi tak benar-benar menginginkannya. Lalu, nanti akan terjadi hal yang tak diinginkan, karena itu abang menjaga Lana dengan baik hingga saat ini.”
Fauziah memahami suaminya, seorang abang dan wali dari Kelana, pasti ingin yang terbaik untuk adiknya. Tapi, Kelana sudah dewasa, harusnya tak perlu dijaga se-pro itu. Hanya saja tak ada yang bisa melawan perkataan Malik, karena Malik hanya melaukan yang terbaik.