Jam makan siang sudah tiba, semua karyawan sudah pergi makan siang di kantin, meninggalkan Kelana sendirian, yang tidak ingin makan meskipun pagi tadi tidak sarapan.
Tak lama kemudian Panji datang dan menatap Kelana yang saat ini tengah fokus pada pekerjaannya, Panji saat ini datang dengan kotak makanan di tangannya, lalu menghampiri Kelana dan menaruh kotak makanan itu diatas meja kerja Kelana.
Kelana mendongak melihat Panji yang saat ini tersenyum, Kelana langsung menundukkan pandangannya, karena ia harus selalu mengingat bahwa Panji bukan mahramnya.
"Ini apa?" tanya Kelana.
"Kamu tidak sarapan, kan? Maaf aku tidak sengaja mendengar obrolan mu dengan Iza, jadi saya membeli makan siang ini untuk kamu juga." Panji mengelus leher belakangnya karena hatinya berdebar hebat.
"Kamu tidak perlu repot. Saya akan makan mie instan di pantry," geleng Kelana.
"Aku sudah terlanjur membeli ini untukmu, aku beli dua kotak, satu untukku dan satu untukmu."
"Tapi kenapa kamu membelikan saya makanan?" tanya Kelana heran.
"Ya gimana ya. Haruskah aku menjawabnya? Tapi, kamu tidak perlu khawatir, makanan ini tidak ada racunnya kok, siapa tahu saja kamu curiga kalau aku menaruh sesuatu di makanan ini, makanan ini itu masih hangat dan dari resto di depan. Masih pres banget." Berhadapan dengan Kelana membuat Panji deg-degan.
"Terima kasih ya, nanti saya akan balas atau bayar makanan ini." Kelana tak enak menolaknya.
"Santai saja tidak perlu membalas ataupun membayarnya," kata Panji.
Kelana merasa bahwa Panji ternyata adalah pria yang baik, mau memahaminya dan memberikannya makanan, sebenarnya Kelana juga sejak tadi sudah sangat lapar hanya mencoba ia tahan karena pekerjaannya masih banyak dan juga ia sedang berhemat, setiap hari ia tidak pernah meminta uang kepada abangnya untuk ongkosnya ke kantor, berapapun uang di dompetnya, Kelana selalu berusaha agar itu cukup untuknya meskipun terkadang harus ikat perut.
Mendapatkan kotak makan dari Panji dianggap Kelana sebagai rezeki dan tak boleh menolak niat baik seseorang, apalagi dia sedang tidak punya uang untuk membeli makanan, jadi ia akan menerima makanan itu dengan senang hati dan mengucapkan terima kasih.
"Kamu mau makan di pantry bersamaku?" tanya Panji.
"Kamu tidak makan di kantin?"
"Tidak. Aku tidak makan di kantin karena aku sudah membeli dua kotak makanan, 'kan?"
"Maaf kalau saya menolaknya, karena kita tidak boleh ada di ruangan tertutup berduaan, karena itu jatuhnya fitnah," jawab Kelana terus mengingat pesan dari abangnya.
"Oh begitu?"
"Saya berterima kasih sekali karena sudah memberikan makanan ini untuk saya, tapi mohon maaf jika saya tidak bisa, saya makan di sini saja."
"Baiklah aku juga akan makan di sini," angguk Panji lalu duduk di kursi kerjanya, lalu menoleh sesaat melihat Kelana. Ternyata gadis itu sulit sekali untuk didekat, Panji hampir saja menyerah meskipun ia menganggap Kelana sebagai tantangan terbesarnya.
Kelana membuka kotak makan itu dan melihat satu kotak sudah berisi nasi dan lauk pauknya. Sesaat, Kelana menoleh melihat Panji. Pria itu cukup baik dan ada disaat Kelana membutuhkan sesuatu.
Sebenarnya yang selalu bersedia membelikannya makanan adalah Iza, hanya saja Kelana selalu berbohong bahwa ia membawa bekal jadi tidak bisa ikut makan sehingga Iza percaya bahwa temannya itu tidak akan kelaparan. Kelana hanya tak mau merepotkan orang lain.
Keduanya lalu makan siang bersama, meskipun pandangan Kelana terus mengarah pada makanan didepannya.
Sementara Panji merasa cukup senang karena Kelana mau menerima kotak darinya. jujur saja Panji khawatir ketika mendengar Kelana tidak sempat sarapan karena takut kesempatan terakhirnya tidak bisa ia gunakan dengan baik sehingga ia bisa saja dipecat dari sini.
Panji menoleh sesaat dan melihat Kelana sedang menikmati makanannya, Panji tersenyum dan bernapas lega.
"Alhamdulillah," ucap Kelana menoleh melihat Panji.
Panji menatap wajah Kelana yang cantik.
"Gak sholat Dzuhur?" tanya Kelana bangkit dari duduknya.
"Hem?"
"Saya bertanya. Apa kamu tidak sholat Dzuhur?" ulang Kelana dengan pertanyaan yang sama.
Panji sampai lupa kalau ia mendekati Kelana pertama kali ketika Kelana di musholah kantor. Panji tersenyum dan menganggu, lalu berkata, "Tentu saja shalat."
"Saya duluan ya ke musholah," kata Kelana lalu meraih totebag berisi perlengkapan shalatnya dan melangkah meninggalkan Panji yang masih duduk dikursi kerjanya.
"Eh bareng saja," kata Panji menyusul langkah kaki Kelana.
Keduanya lalu masuk lift dan sesekali Panji menoleh melihat wajah Kelana dari samping. Wanita itu cukup menarik, satu-satunya wanita yang sangat tertutup dan susah didekati, selama ini Panji tidak pernah kewalahan mendekati seorang wanita, setiap wanita yang ia dekati pasti akan menerima perasaannya, bahkan jurus-jurus yang ia ambil tidak pernah gagal, namun pada Kelana, semuanya gagal total.
Tak lama kemudian, suara ponsel Panji terdengar, membuat Kelana menoleh, lalu Panji mensilent ponselnya dan tidak mengangkat telepon dari nomor baru.
"Jadi, pas di musholah kemarin ponsel kamu yang bunyi?" tanya Kelana.
"Hem?"
"Soalnya nada deringnya sama," kata Kelana.
"Oh iya" Panji mengangguk dan mengelus leher belakangnya.
"Kalau di tempat ibadah usahakan ponselnya disilent, jangan sampai mengganggu orang lain yang sedang melakukan ibadah. Karena sudah seperti itu aturannya," kata Kelana, "Semua urusan pribadi harus di kesampingkan, kalau waktunya ibadah ya ibadah, kalau waktunya santai ya santi."
Panji menoleh dan menatap wajah Kelana. Panji mengangguk dan paham apa yang dikatakan Kelana.
Setibanya mereka di lobby, keduanya langsung menuju musholah, Kelana tak melihatnya dan langsung masuk ke pintu shaf wanita. Sementara Panji mengelus dadanya dan langsung menuju tempat wudhu.
Mendekati Kelana membuat Panji mengetahui banyak hal yang tak pernah ia ketahui sebelumnya, bahkan ia tidak pernah menginjakkan kaki ke musholah ataupun masjid untuk melakukan ibadah shalat lima waktu. Panji kagum pada Kelana, bisakah ia meraih hati Kelana yang sulit membuka hati?
Setelah wudhu seperti biasa, Panji berjinjit agar bisa melihat Kelana di shaf wanita yang dipisahkan dengan kain yang membentang, Panji melihat Kelana yang saat ini masih duduk dan mengenakan mukenah. Panji tersenyum dan merasakan damai dihatinya.
Ia baru pertama kali mendekati wanita muslima yang sangat tertutup itu, semoga saja Panji bisa mendapatkan hati Kelana dan bisa memberikan Kelana kenyamanan agar Kelana bisa membuka hati.
"Tumben sekali ya, Panji tidak datang makan siang?" tanya Iza pada Tora.
"Iya. Dia sedang ada urusan," jawab Tora.
"Urusan apa? Apa penting?" tanya Iza lagi.
"Memangnya penting atau tidak. Ada urusannya dengan lo?" tanya Tora menggeleng.
"Santai aja dong. Lebay banget sih, gue hanya bertanya," geleng Iza.
Keduanya jadi akrab juga karena sering satu meja makan ketika di kantin, karena biasanya memang sangat ramai dan tidak ada tempat setiap jam makan siang.