Kelana 4

1100 Words
Setelah Panji selesai shalat dzuhur, Panji menunggu Kelana di pintu keluar, namun beberapa menit menunggu, Kelana tak keluar juga, Panji lalu masuk ke masjid dan melihat Kelana yang saat ini sedang mengaji. Panji menautkan alisnya. Panji melihat sisi berbeda dari dirinya. Entah mengapa seorang wanita cantik mau melakukan semua ini, sementara diluar sana, masih banyak yang hidupnya bebas. “Kamu siapa?” tanya salah satu perempuan yang baru hendak keluar. “Saya, saya temannya,” jawab Panji mengelus leher belakangnya. “Kamu tak boleh di sini, di sini itu tempat khusus wanita,” kata wanita itu. “Oh iya. Saya akan keluar,” jawab Panji lalu keluar. Panji mendesah napas halus dan terus mengelus leher belakangnya. Panji lalu memilih duduk ditangga dekat musholah agar ia bisa menunggu Kelana keluar. Tak lama kemudian, ponsel Panji terdengar, Panji melihat nama Tora dilayar ponselnya. ‘Apa sih lo? Ganggu aja.’ Panji mengomeli Tora. ‘Emang lo kenapa sih? Daritadi gua telepon juga.’ ‘Emang kenapa? Lo kayak kehilangan emak aja.’ Panji menggelengkan kepala. ‘Lo gak ke kantin? Gua tungguin lo daritadi dan bener kata Iza? Katanya lo shalat di masjid? Apa udah mulai PDKT-nya?’ ‘Hush. Lo berisik banget sih, kalau lo udah tahu ya udah gak usah banyak cincong. Udah ahh gua ada urusan. Masih setengah jam juga jam istirahat. Gua mau ajakin Kelana makan siang.’ ‘Gua dukung lo, Bro,’ seru Tora. ‘Dah lah diam aja udah. Siap-siap lo kehilangan motor sport lo.’ ‘Haha. Kita lihat saja nanti.’ Tak lama kemudian Kelana keluar dari arah musholah, tanpa basa-basi Panji langsung memutuskan sambungan telepon, membuat Tora menggelengkan kepala karena Panji sepertinya sedang berusaha keras mendapatkan Kelana. “Kelana,” ucap Panji. “Assalamu’alaikum,” ucap Kelana. “Wa’alaikumussalam,” jawab Panji tersenyum dan mengelus leher belakangnya. “Ada apa?” tanya Kelana. “Kamu belum makan siang, ‘kan? Ayo aku traktir makan siang di kantin,” kata Panji dengan kepercayaan diri yang tinggi. “Maaf. Saya tidak bisa,” geleng Kelana. “Saya akan makan nanti.” “Kamu kan belum makan siang dan kamu juga belum makan apa pun aku lihat, sejak tadi kamu ngaji. Apa gak lapar?” tanya Panji menatap Kelana. Kelana menurunkan pandangannya karena Panji tetap bukan mahromnya. Jadi, ia harus berusaha menghindari tatapan Panji. “Saya duluan ya,” ucap Kelana melangkah meninggalkan Panji. “Bareng dong, Kelana,” kata Panji menyusul langkah kaki Kelana yang saat ini menggelengkan kepala karena tak tahu mengapa Panji mendekatinya. Tapi, Kelana akan berusaha menjauhi Panji. Keduanya masuk ke lift, lalu tak lama kemudian dua wanita lainnya masuk ke lift juga, mereka terlihat baru saja makan siang. Kedua wanita itu lalu berbalik dan melihat Panji bersandar. Kedua wanita itu saling berbisik dan tersenyum menatap Panji. “Panji?” tanya wanita itu. “Hem?” “Kamu darimana?” tanya wanita itu menyentuh kemeja Panji. Panji menoleh melihat Kelana yang diam saja dan mengabaikannya. Panji mendesah napas halus dan mencoba menghindari wanita itu namun tetap saja ia tak bisa kemana-mana. “Aku dari—“ “Aku gak lihat kamu di kantin tadi. Emang kamu kemana?” tanya wanita itu lagi masih genit sama Panji. “Udah ya udah ya. Jangan sentuh lagi, bukan muhrim,” kata Panji menggelengkan kepala. “What? Bukan muhrim? Ahh kamu biasa aja kok kayak gini.” Ting. Beberapa saat kemudian, pintu lift terbuka, Kelana keluar dari lift itu disusul oleh Panji yang akhirnya bisa terbebas dari dua wanita genit itu. “Kelana, tadi yang kamu lihat itu gak seperti—” “Kenapa menjelaskannya kepada saya? Saya tidak apa-apa kok,” geleng Kelana menoleh melihat Panji yang saat ini kebingungan. “Aku hanya—” “Udah ya. Kita udah di kantor, jadi gak ada pembahasan apa pun lagi.” “Tapi benar kamu gak mau makan siang?” tanya Panji. “Gak. Aku gak mau makan siang,” jawab Kelana dengan nada ketus tak seperti biasanya. Kelana lalu melangkah meninggalkan Panji dan masuk ke ruang staf, Kelana menggelengkan kepala dan duduk dikursi kerjanya. Kelana hanya tak habis pikir ada seorang pria yang membiarkan dirinya disentuh sementara mereka bukan muhrim. Panji duduk dikursi kerjanya, lalu Tora menariknya. Panji menggeleng dan memukuli kepala Tora karena membuatnya terkejut. “Sakit b**o,” kata Tora. “Apaan sih lo? Ngagetin gua aja,” geleng Panji. “Lo sama Lana kenapa?” bisik Tora. “Gak ada apa-apa.” “Tapi bener ya kata Iza lo di masjid tadi?” Panji mengangguk dan memilih tak menjawab pertanyaan Tora dengan suara, karena ia malas berbicara lagi, sejak tadi ia menjadi cerewet karena mendekati Kelana, jadi ia sudah kehabisan tenaga. Tak ada yang tahu tujuan Panji mendekati Kelana, karena setahu mereka Panji adalah playboy dan memiliki pacar dimana-mana, bahkan dari yang mereka tahu banyak anak divisi lain yang dibuat menangis oleh Panji, dan berdatangan kemari mencari Panji. Lalu pria seperti itu yang terkenal dikalangan wanita mau mendekati Kelana yang tertutup? Tentu saja semua orang tak akan ada yang percaya. Panji sesaat menoleh melihat Kelana yang saat ini masih sibuk dengan monitornya. Saat ini, Panji harus mencari cara lain untuk mendekati Kelana, terlalu sulit untuk didekati, biasanya wanita-wanita lain tak akan ada yang menolak ketampanannya apalagi jika dia lebih dulu yang menawarkan diri, tapi itu berbeda pada Kelana, ia malah yang capek. “Awas lo ketahuan, daritadi lihatin Kelana terus lo,” geleng Tora menyikut Panji. “Mending bentar lo ajak pulang.” “Udah diam,” geleng Panji. Tora mengangguk dan memilih diam, karena Panji selalu menyuruhnya diam, sementara yang ia katakan bisa menjadi nilai plus untuknya. Namun, Panji memilih tak mau mendengarnya. “APA?” Dini membulatkan mata membuat semua orang menoleh dan melihat ke arahnya. “Apaan sih, Din? Lo bikin kaget aja.” Tora menggeleng. “Kalian gak lihat peraturan baru?” tanya Dini. “Peraturan baru apaan?” “Lihat deh email kalian.” Semua lalu membuka email mereka dan melihat peraturan baru yang dimaksud Dini, dan memang benar ada peraturan baru yang mengarah pada hubungan pribadi. Kantor melarang mereka untuk berpacaran satu kantor. Dan, jika ketahuan salah satu dari mereka harus dikeluarkan dari perusahaan. Semuanya bertukar pandangan dan menggelengkan kepala, sementara beberapa dari mereka sedang berpacaran. Dan ini termaksud divisi lain. Meskipun berbeda divisi larangan itu tetap sama. “Ah apaan sih ini? Peraturan darimana?” geleng Iza. “Bener. Masa dilarang pacaran sih, biasanya kan kalau nikah baru deh salah satunya keluar, lah ini malah pacaran.” “Benar benar. Ini gak bener nih. Pasti ada seseorang yang memiliki dendam pribadi nih.” “Tapi peraturan ini tetap tak boleh dilanggar.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD