Kelana 3

1116 Words
“Lana, ayo kita makan siang,” ajak salah satu rekan kerjanya yang bernama, Iza. “Saya shalat dzuhur dulu ya, Iz. Kamu duluan saja,” jawab Kelana menoleh sesaat melihat Iza yang saat ini bersiap pergi ke kantin kantor. Kelana meraih totebag miliknya yang berisi mukenah, sajadah dan perlengkapan lainnya. Kelana memang wanita yang sangat taat pada agama, ia tak bisa melewati jam shalat hanya karena urusan lain. Jadi, apa pun itu ia akan lebih mengutamakan jam shalatnya. “Kamu kan bisa shalat setelah makan siang,” kata Iza lagi dengan bibir manyunnya. Satu-satunya teman Kelana di kantor adalah Iza. “Gak boleh gitu, Iz. Kan kita sebagai umat muslim harus taat pada perintah Allah.” Kelana tersenyum dan melangkah bersama Iza keluar dari ruangan staf. Tak lama kemudian, dibelakang Kelana dan Iza, Panji mengikuti mereka, mereka bertiga lalu masuk ke lift. Sesaat Kelana menoleh dan melihat Panji yang saat ini tersenyum menatapnya. Kelana lalu mengalihkan pandangannya karena Panji bukan mahromnya, ia harus selalu ingat perkataan abangnya. Panji malah makin penasaran karena setiap kali ia dan Kelana bertemu mata, Kelana langsung buang muka, hal itu membuat Panji seolah tak punya harga diri. “Hai, Panji,” ucap Iza melambaikan tangannya. “Hai,” ucap Panji. “Kamu mau makan siang juga?” tanya Iza begitu centilnya. Berbanding balik dengan Kelana yang bersikap biasa saja. “Saya? Oh saya mau shalat dulu,” jawab Panji tersenyum menatap Kelana. Kelana yang mendengar hal itu langsung menoleh dan menatap wajah Panji. Ternyata masih ada yang sama dengan dirinya, Panji juga mau shalat dzuhur. “Oh begitu? Berarti kamu dan Lana akan bareng ke musholahnya,” kata Iza menganggukkan kepala. “Kirain kamu mau makan siang, supaya kita bareng.” Panji hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Wajah Kelana merona sesaat ketika Panji memandanginya lagi, namun Kelana berusaha mengabaikan dan jangan terlalu percaya diri. Karena Panji melihatnya belum tentu kagum kepadanya atau apa. Jadi, jauh-jauhlah otaknya yang memikirkan hal itu. Tak lama kemudian mereka tiba di lobby. “Oh iya. Kenapa kamu tidak shalat di musholah kantor saja?” tanya Panji menatap Kelana. “Memangnya ada musholah di kantor?” “Apa ada ya?” tanya Iza. “Eh gak ada ya? Oh maaf maaf,” kekeh Panji mengelus leher belakangnya yang tak gatal. “Ya udah. Aku pergi dulu ya mau makan, lapar banget,” kata Iza mengelus perut ratanya. “Setelah makan siang kamu jangan lupa shalat ya,” kata Kelana. “Iya iya. Insya Allah deh,” ucap Iza lalu melangkah menuju kantin. Kelana dan Panji bertukar pandangan. “Silahkan kalau kamu mau ke musholah,” kata Kelana. “Bukannya kamu juga?” tanya Panji. Kelana mengangguk lalu melangkah lebih dulu ke musholah. Kelana mendesah napas halus dan menoleh sesaat melihat Panji yang saat ini berdampingan dengannya. “Kamu sering shalat ya?” tanya Panji menatap Kelana yang cuek. “Iya. Bukankah dalam agama Islam memang diwajibkan untuk shalat lima waktu?” tanya Kelana balik. “Kamu pasti tahu jawabannya, kan kamu juga shalat.” “Oh iya.” Panji mengangguk. Kelana tak tahu kalau apa yang Panji lakukan saat ini karena mau mendekatinya. Kelana juga tak tahu jika pria yang saat ini berdiri disampingnya karena mau mencari perhatiannya. Tak lama kemudian, keduanya tiba di musholah dan mereka hendak masuk secara bersama-sama ke dalam. Namun, Kelana menghentikan langkah kakinya. “Bukankah kamu mau ambil wudhu dulu?” tanya Kelana menatap Panji. “Oh iya. Wudhu ya?” Panji mengangguk dan menoleh melihat ke arah tempat wudhu. “Iya. Setelah itu, kamu masuk bagian sana. Karena di sana pintu laki-laki. Di sini pintu perempuan,” sambung Kelana mengajari Panji yang saat ini mengangguk lagi. “Astaga aku lupa,” jawab Panji mengangguk lalu mengenakan kembali sandalnya dan melangkah menuju tempat wudhu. Sementara Kelana sudah wudhu di kantor. Panji melihat semua orang sedang berwudhu dan ia memperhatikan mereka, Panji sampai tak tahu apa yang harus ia basahi lebih dulu. Panji mengelus leher belakangnya dan menyalakan keran air. Ia benar-benar sudah masuk ke dalam hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Panji jadi mengingat sesuatu, ia harusnya tak boleh berpikir terlalu panjang, ia meraih ponselnya dan mencari di youtube tata cara wudhu yang benar, ia lalu menaruh ponselnya untuk memperhatikannya dan mengikuti caranya. Tak lama kemudian, Panji lalu selesai dan memasukkan kembali ponselnya kesaku celananya. Panji masuk ke pintu laki-laki dan menoleh melihat ke arah shaf wanita yang dikasih pembatas berwarna hijau. Namun, Panji melompat lompat kecil untuk mencari keberadaan Kelana. Dan, akhirnya usahanya mencari keberadaan Kelana terlihat ketika Kelana berdiri. Kelana menggelengkan kepala melihat Panji yang terus melihat kearahnya. Panji berdiri di shaf pria bersama pria-pria lainnya. Tak lama kemudian, ponsel Panji terdengar menggema masjid ini, nyaring sekali dan nada deringnya adalah lagu rocker, membuat semuanya menggelengkan kepala, Panji langsung meraih ponselnya dari saku celanannya dan langsung mematikan ponselnya. Tora mengganggunya. *** “Kemana ya anak itu? Tumben sekali dia tak di kantin jam segini?” tanya Tora yang terus berusaha menghubungi Panji, namun Panji terus mereject panggilannya. Tora lalu duduk di kursi tempatnya berdiri dan tak lama kemudian terkejut melihat Iza yang saat ini menatapnya kesal. “Lo kenapa?” tanya Tora. “Ngapain lo duduk di sini?” “Emang kenapa kalau gua duduk di sini? Ini kan tempat umum,” kata Tora. “Ya kan gue ada di sini, jadi lo harusnya duduk di tempat lain,” kata Iza. “Lagian lo sendiri, ‘kan? Ya mending lo aja yang pergi. Kok gua?” geleng Tora. “Lo gak lihat kalau gue lagi makan? Jadi, lo yang harusnya pergi dari sini dan pindah ke tempat lain.” “Lo gak lihat semua tempat udah terisi?” “Emang gue pikirin?” Iza menggelengkan kepala. “Bawel banget sih lo,” geleng Tora lalu tak lama kemudian pesanannya datang. Tora terus melihat ponselnya dan tak ada telepon dari Panji, biasanya Panji akan kemari atau menelponnya untuk menanyakan dimana ia duduk, namun Panji tak ada kelihatan batang hidungnya sampai saat ini. “Emang lo nyari siapa sih? Kayaknya gelisah banget,” tanya Iza. “Gua lagi nyari Panji,” jawab Tora. “Panji? Dia kan ke musholah. Katanya mau shalat,” jawab Iza. “APA? MUSHOLAH?” teriak Tora terkejut mendengar perkataan Iza barusan. Sebagian orang menoleh melihatnya karena teriakannya yang menggema itu. Tak lama kemudian, Tora tertawa terbahak-bahak dan menggelengkan kepala, menganggap omongan Iza itu tak masuk akal, dan tak mungkin. Mungkin saja Iza salah lihat. “Ah lo salah lihat kali,” kata Tora membuat Iza menggelengkan kepala dan meraih kentang miliknya lalu memasukkannya kedalam mulut Tora agar Tora bisa diam. “Lo serius?” “Makan tuh kentang,” geleng Iza karena merasa Tora mengganggunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD