Kelana 2

1030 Words
“Kamu ini ya, Kelana, kalau gak niat kerja ya udah kamu gak usah kerja. Kamu datang ke kantor sesuka hatimu sementara yang lain udah hampir sejam bekerja,” kata sang manager yang saat ini duduk didepan meja kerjanya, sementara Kelana berdiri dihadapannya. “Masih banyak kok yang mau kerja di sini, bukan hanya kamu. Banyak sekali yang berbondong-bondong masuk ke kantor ini.” “Maafkan saya, Pak,” ucap Kelana. “Emang di rumah kamu ngapain aja, Kelana? Kamu masih gadis dan bukan Ibu rumah tangga, kenapa kamu sampai telat begini? Dan, saya sudah sering kasih kamu kesempatan, tapi dilanggar juga,” geleng Rabi, sang Manager, tempatnya bekerja. “Maaf, Pak. Saya diberi tugas oleh Abang saya untuk menghafal hadist,” jawab Kelana. “Jadi, saya kesiangan, lalu bangun lagi shalat subuh, setelah itu ketiduran.” Kelana menundukkan kepala membuat teman-teman kerjanya tertawa karena jawaban dan alasannya. Sementara diantara yang lainnya ada seorang pria yang sejak tadi menatap Kelana. Pria itu bernama Panji, pria yang sudah bekerja di sini hampir 7 tahun. Dia pria yang paling tampan di divisi ini, sementara yang lainnya masih dibawa rata-rata. Panji terus menatap wajah Kelana. Hanya Kelana yang mengenakan hijab di divisi ini. Jadi, Panji kagum kepadanya. Bahkan Panji memiliki keinginan ingin mengejar cinta Kelana. “Ya sudah. Duduk kamu. Ini kesempatan terakhir, Kelana. Kamu jangan merasa bahwa saya lagi main-main. Ini sudah akan menjadi teguran keras untuk kamu,” kata Rabi menyuruh Kelana duduk. Kelana lalu duduk dikursi kerjanya, ia adalah lulusan Akuntansi dan sesuai kriteria perusahaan ini yang mereka butuhkan. Kelana juga Ipnya tinggi, melebihi yang dibutuhkan. Dan, usia Kelana juga masih muda, masih 23 tahun. Kelana menoleh dan melihat Panji yang saat ini menatapnya. Kelana menautkan alis karena ia tak tahu alasan tatapan mata Panji. “Astagfirullahul Adzim,” ucap Kelana menggelengkan kepala. Karena hampir terbuai tatapan Panji. Sementara ia terus mengingat pesan abangnya. Menurut Panji, Kelana adalah gadis yang cukup unik. “Lo suka sama Kelana?” bisik Tora—sang kawan baik—di kantor ini. “Apaan sih lo, jangan langsung cari jawaban,” geleng Panji lalu kembali fokus pada layar monitornya. “Gimana kalau kita taruhan? Lo harus dapetin Kelana, dan apa pun yang lo minta gua kasih.” Tora menatap Panji yang saat ini sibuk menginput sesuatu dilayar monitornya. “Hanya dapetin dia? Lah, gampang dong,” geleng Panji. Tora tertawa dan menggelengkan kepala. “Lo belum tahu aja kalau Kelana itu punya Abang yang killer, bahkan Kelana gak mau pacaran, Bro. Kalau lo berhasil dapetin Kelana, gua bakal kasih apa yang lo mau.” “Gimana kalau lo kasih gua motor sport lo? Lo siap kehilangan motor sport lo?” tanya Panji menoleh menatap Tora. “Dan, mending mulut lo yang lemes itu lo diamin dulu. Entar ada yang denger. Kita bahas nanti aja.” “Jangankan motor sport gua. Gua kasih deh koleksi anime gua.” “What? Anime lo? Bukannya lo mending mati aja daripada kehilangan koleksi lo itu?” “Gua bakal kasih ke lo, kalau lo berhasil dapetin Kelana. Kan kita lama udah gak main, Bro,” bisik Tora. “Dan, syarat dan ketentuan berlaku. Kita bahas pas jam istirahat.” Panji menganggukkan kepala dan sepertinya menarik, karena ia sudah memiliki niat untuk mendekati Kelana, dan dapat bonus pula kalau dia mendekati gadis itu. Panji akan melakukannya dan dia mau tentu saja. Panji menoleh sesaat menatap wajah Kelana dari samping. Akankah ia mendapatkan hati gadis itu?” “Kelana, kerjain ini ya, nanti kamu coba cari selisihnya,” kata Lina—rekan kerjanya. “Baiklah.” Kelana mendongak dan menganggukkan kepala, lalu meraih dokumen itu, lalu membukanya satu persatu. Kelana suka pekerjaan ini karena pekerjaan ini sesuai dengan jurusan yang pernah ia tekuni, jadi ia tak boleh kehilangan pekerjaan ini, meskipun ia baru dua minggu masuk kerja, tapi setidaknya sudah mulai banyak pengalaman yang ia dapatkan. Panji membuka lacinya dan melihat sekotak coklat dengan caption ‘Untukmu, Panji.’ Karena kamu semanis coklat. Panji menggelengkan kepala. Lalu membuangnya ditempat sampah. Tora menoleh dan melihat coklat yang dibuang Panji. “Astoge. Kenapa lo membuangnya? Ini kan masih baru. Enak lagi kelihatannya.” “Kalau lo suka ya ambil aja,” kata Panji. “Ya kan lo bisa makan, kalau lo makan itu namanya hargain pemberian orang,” kata Tora memanjangkan tangannya mengambil kotak coklat yang sudah dibuang Panji tadi. Ia rela mengoreng tempat sampah demi mengambil coklat ini. “Wah. Enak lagi, mana bentuknya love sekebon.” “Gua bukan pecinta manis, jadi kalau lo mau ya udah ambil aja.” “Keren juga ya temenan sama lo. Kalau ada makanan gua yang pertama dikasih. Kenyang gua temenan sama lo.” Tora tertawa dan memasukkan kotak coklat itu kedalam laci meja kerjanya. Lalu mencicipinya satu. Panji menggelengkan kepala, ia memang sering memberikan Tora pemberian seseorang, bahkan ia pernah dibelikan jam tangan mahal yang dibeli langsung merk Dior, Panji mengambilnya dan menjualnya kembali, lalu memberikan uangnya kepada anak-anak di panti asuhan. Karena, Panji tak mau menerima barang seseorang apalagi menggunakan pemberian seseorang. Panji lalu menoleh lagi melihat Kelana, entah mengapa pandangan Panji itu sangat dalam, bahkan ia merasa damai dan adem sekali melihat wajah wanita berhijab itu. Suara ponsel Kelana terdengar, ada notif pesan yang masuk. Kelana meraih ponselnya dan melihat pesan dari abangnya. (Jangan lupa kalau lagi senggang hafalan hadist dilanjutkan.) (Iya, Bang. Tentu saja. Lana akan melakukannya.) Jujur saja Kelana pernah menganggap apa yang ditugaskan abangnya itu berlebihan sekali dan mengganggu aktifitasnya, namun ia menyadari bahwa abangnya itu hanya ingin yang terbaik untuknya. Meskipun terkadang Kelana merasa terganggu. Abangnya itu orang yang fanatik agama, dia salah satu guru bahasa Arab di pondok pesantren. Abangnya itu sudah lama berkarir di sana sehingga agamanya makin baik. Dan, menurunkan ke istri dan adiknya, juga putrinya. Abangnya itu tak akan membiarkannya memiliki hubungan dengan seorang pria, bahkan tak akan pernah mengizinkannya berhubungan dengan seseorang yang minim akhlak. Sehingga, abangnya itu sudah menyiapkan jodoh untuknya, salah satu guru Tauhid di pondok pesantren yang akrab dengan Malik. Kelana menoleh dan melihat Panji masih setia menatapnya. Kelana menggelengkan kepala dan menjauhkan pandangannya dari Panji. Ia tak boleh membalas tatapan seorang pria yang bukan mahromnya. Sesuai pesan dari abangnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD