Aku mungkin saja bisa bodoh amat dengan anggapan-anggapan keliru itu, hanya saja, yang tak bisa serta merta aku abaikan itu cara mereka menatapku. Seolah-olah yang mereka ketahui itu sebuah kebenaran pasti, dan aku lah yang menggoda Pak Dirga di sini. Aku bingung bagaimana harus meluruskan ini tanpa membuatnya jadi membesar. Mbak Eli dan beberapa orang yang mengenalku mungkin bisa aku yakinkan, tapi bagaimana dengan mereka? “Sabar, Kak,” Debby masih berusaha membujukku untuk keluar makan siang meski suah kusuruh pergi sebanyak dua kali. “Kalau nggak benar, anggap angina lalu aja.” “Justru karena nggak benar, makanya aku nggak bisa anggap angin lalu. Aku difitnah masa diam aja?” aku berdecak kesal. Aku sudah pernah bilang belum, sih, Debby ini tipe-tipe ngeselin tapi peduli banget. “Adu