01 | Rukun Tetangga
Minggu adalah me time-ku. Kalau tidak ada janji dengan pacarku, aku biasanya menghabiskan seharian penuh di kamar. Keluar hanya untuk makan dan ke kamar mandi, kadang makan pun piringnya kubawa ke kamar agar bisa dimakan sambil nonton film.
Aku duduk di depan meja rias, mengoles masker menggunakan kuas khusus ke wajahku dengan hati-hati. Aku paling sebal kalau garis luarnya berantakan meskipun tidak ada pengaruhnya pada penyerapan nutrisi dalam masker ke kulit wajah.
"Nya, beli gas dulu ke Bu Dino."
Aku memutar bola mata malas. Baru juga dua menit. "Iya, sebentar!" balasku berteriak, agar Ibu di dapur mendengar.
Aku menunggu lima belas menit berlalu dengan menggulir beranda media sosial. Aku banyak follow influencer fashion dan kecantikan, membuat berandaku nggak membosankan dan sering kali bikin lupa waktu.
"Nya!"
"Iya, Ma, Bentar!" Astaga, nggak sabaran sekali. Aku masih harus membiarkan masker ini di wajah setidaknya lima menit lagi. Aku nggak mungkin ke warung Bu Dino dengan wajah hijau begini. Lagipula di rumah juga masih ada Putra, kenapa nggak suruh dia aja coba.
Sedang serius-seriusnya mengamati sebuah tutorial make up kondangan, aku berlonjak lantaran pintu kamarku tiba-tiba terbuka lebar. Mama menghembuskan napas sambil geleng-geleng kepala dramatis.
"Kamu ini ya, disuruh bukannya langsung jalan, masih aja mainan hape."
Aku berdecak kesal. "Aku kan lagi maskeran. Kenapa nggak suruh Putra aja, sih?"
"Dia lagi belajar di depan laptop, minggu depan mau UAS."
"Yakin beneran belajar dia?" tanyaku sangsi. Aku sangat mengenal seperti apa tabiat putra mahkota keluarga Suwarno ini. Dia bukan anak rajin belajar tapi herannya dengan mudah bisa masuk PTN sementara aku yang ikut bimbel khusus nggak dapat. "Mama tahu nggak, di depan laptop dia bisa aja main game, baca komik, nonton game, nonton bokep--"
Plak! aku memelik saat Mama memukul pahaku. Lihat, sesensitif itulah Mama kalau sudah menyangkut si putra mahkota. Aku sebagai sulung tidak dianggap apa-apa.
"Beli sekarang, nggak?" ujar Mama yang lebih terdengar seperti ancaman. "Mama lagi goreng ayam sampai minyaknya sekarang dingin itu."
"Mama kan bisa beli sendiri, kenapa harus aku, sih? Kalau gasnya habis pas aku lagi kerja, Mama juga langsung beli sendiri, nggak nunggu aku pulang baru beli," dengusku sambil menekan-nekan pipi agar maskerku nggak retak. "Aw! Aw!"
Aku bisa merasakan 'krak' ketika teriakan lolos dari bibirku, dicubit pedis begitu, siapa yang akan tahan. Aku buru-buru berdiri menjauh sebelum kulitku merah-merah kena cubitan Mama.
"Apa sih, Ma. Memangnya aku anak kecil, masih dicubit-cibit segala?!" protesku kesal.
"Heh, dengar Mama. Kamu kalau di rumah sering Mana suruh ke warungnya Bu Dino biar bisa sosialisasi sama tetangga. Biar nggak di rumah mulu. Sejak kamu kerja, kamu diomongin sombong sama tetangga. Kalau lewat nggak pernah nyapa katanya."
Aku memutar bola mata. "Itu lah kenapa aku malas belanja di sana. Sarang ibu-ibu tukang gosip. Aku selalu senyum tiap papasan, masa aku harus teriak sambil d**a-d**a baru dibilang nyapa? Nyebelin banget."
"Jangan begitu. Kalau ada apa-apa, tetap tetangga orang pertama yang nolong kita."
"Ya emang kok mereka tukang gosip. Aku ke sana pakai hot pants aja di-astagfirullah-astagfirullah-in. aku lama nggak beli pembalut di situ, dibilang, 'biasanya kamu kan teratur, makanya saya heran kok Sonya belum beli pembalut' apa coba maksudnya. Dia ngira aku hamil atau apa? Lagian nggak ada kerjaan banget ngitungin jadwal menstruasi orang lain."
"Ya bagus, dong, diingetin soal akhirat. Kamu ini suudzon aja pikirannya. Udah sana cepat cuci muka terus beli gas."
Aku mengembuskan napas dan menyerah.
Tidak, jangan salah paham. Mama berkata seperti itu bukan karena Mama bagian dari geng penggosip, itu lebih karena Mama tipe orang yang menghindari masalah. Sangat beda denganku dan Putra yang sangat vokal sama pendapat dan benar-benar memperjuangkan apa yang kami mau. Kalau kami nggak suka, ngapain kami pura-pura nggak apa-apa?
Kami punya dua tangan yang bisa dipakai tutup telinga, kenapa juga kami harus mengikuti apa yang benar menurut mereka cuma biar nggak digosipin?
Ups, kalau menggosip udah jadi rutinitas, yang benar pun tetap saja kelihatan salah.
Usai membilas wajah di kamar mandi, aku menenteng tabung gas melon. "Uang?"
Mama memberiku selembar uang 100 ribu rupiah. "Nggak ada uang pas aja? Berapa sih, harganya?"
"Nggak ada, entar juga dapat kembalian."
"Aku malas nunggu kembaliannya."
"Ya Allah anak ini, sebegitunya sama tetangga." Bibir Mama menipis geram, tanda kesabarannya juga tinggal segaris tipis. Sebelum benar-benar habis, aku pun berangkat ke warung Bu Dino yang letaknya 6 petak dari rumahku.
Rumahku memang terletak di perkampungan, jalanan di depan hanya bisa dilewati satu mobil dan satu motor bersamaan. Jarak antar rumah juga sangat berdekatan. Tak jarang, apa yang terjadi di balik tembok terdengar sampai ke rumah sebelah.
Cita-citaku membelikan Mama rumah di kompleks orang kaya yang sibuk kerja jadi nggak punya waktu buat ngegosip di rumah tetangga sayangnya belum juga kesampaian. Lebih tepatnya, sih, nggak akan kesampaian kalau cuma mengandalkan gaji sebagai staff marketing di sebuah perusahaan furnitur. Kalau mau sukses cepat, setidaknya harus pasang togel, jaga lilin, atau semedi di gunung Kawi. Berhubung semua itu haram, yang paling masuk akal adalah mencari suami kaya raya.
Aku mendesah lega ketika kulihat bangku bambu panjang yang biasanya dipakai Ibu-ibu berkumpul itu tampak kosong.
"Bu Dino, Beli," seruku agak keras, melongokkan kepala ke dalam warung yang sepi.
"Beli apa?" Si Dino, bocah SD kelas 4 keluar.
"Beli gas. Berapa harganya?"
"Bun, gas berapa harganya?" teriak Dino.
"Yang berapa kilo?!"
"Yang berapa kilo?" tanya Dino padaku.
Aku menghendikkan dagu ke bawah, pada tabung gas warna hijau yang tepat di dekat kakiku.
"Gas yang kecil!"
"25 ribu!"
Dino kembali menoleh padaku, kemudian berkata, "25 ribu kata Bunda."
Mungkin dikiranya aku ini patung yang cuma punya wujud tapi nggak punya panca indera. Kuulurkan uangku, dan dia teriak lagi. "Bun, uangnya 100rb!"
"Suruh bawa aja dulu!"
"Disur--"
"Enggak," potongku sambil bersendekap d**a. "Gue bayar sekarang, nggak mau ngutang." Terakhir kali Bu Dino nggak punya kembalian sewaktu aku beli beras, satu blok tanya kok bisa keluarga kami sampai nggak punya uang buat beli beras.
Dino berteriak lagi. "Bun, Kak Sonya nggak mau ngutang katanya!"
Aku ngeluh dalam hati. "No, kamu nggak bisa ambil kembalian sendiri apa? Seratus ribu kurang dua lima, kembali tujuh lima." Sekalian kuajari dia berhitung kalau-kalau dia nggak bisa.
"Laci uangnya dikunci sama Bunda, jadi cuma Bunda yang bisa buka," jelas Dino.
Astaga, merepotkan sekali. Memang sebanyak apa sih uang di laci warung sampai-sampai tidak percaya ke siapa pun.
"Eh, Sonya, tumben belanja, Son."
Ini dia yang dicari, Bu Dino, rambutnya masih terbungkus handuk dan permukaan kulit wajahnya tertutup masker putih setengah kering.
Aku tidak paham dengan tetanggaku. Orang rumah, di sekolah dari SD sampai kuliah, mereka semua memenggal namaku sebagai 'Nya', bukan 'Son'. Son lebih cocok dipakai buat Soni atau Samson.
"Nih, Bu, uangnya. Gas melon aja."
Sambil tersenyum memamerkan deretan giginya, Bu Dino menerima uangku, tapi dia tak langsung bergerak membuka lacu uang. "Aduh, kayak sama siapa aja nggak mau dibawa dulu."
"Hehe takut lupa."
"Lancar kerjaan, Son? Saya lihat kamu sering pulang diantar mobil, gaya banget kemana-mana udah nggak naik motor lagi."
Aku mengibaskan rambut. "Enaknya punya pacar kan gitu, bisa antar jemput."
"Oh, itu pacar kamu? Saya kira GetCar, habis mobilnya beda-beda."
Buset, bukan cuma tahu kapan aku pulang, Bu Dino bahkan tahu aku turun dari mobil bentukan bagaimana. "Pacar saya emang mobilnya banyak," dengusku sombong sekalian.
"Oh... Gitu..."
Cuma dari oh-nya saja aku tahu itu bermakna tertentu, akan lebih jelas jika wajahnya tidak tertutup masker burung hantu. Aku bisa bayangkan bibir Bu Dino mencebik ke bawah saat mengatakannya.
"Jadi, ini kamu cuma beli gas melon ini aja?"
"Iya, itu aja." Jika Mama tidak memikirkan 'kerukunan tetangga' aku lebih rela belanja sedikit lebih mahal ke supermarket daripada belanja di sini.
Aku langsung pamit pergi begitu Bu Dino memberiku uang kembalian. Aku berjalan sedikit terseok lantaran tabung gas ini lumayan berat. Semeter lagi sampai rumah, aku berpapasan dengan Bu Nuri yang tampaknya hendak menuju ke warung Bu Dino sambil menyuapi anaknya bubur di gendongan.
"Eh, Son, tumben kelihatan, Son."
Aku memaksa senyum setulus mungkin. "Hai, Mahira, lagi mam, ya?" aku memilih menyapa anaknya saja.
"Iya nih, Aunty Son, biar aku cepet besal dan cantik kayak Aunty Son." Tentu yang menjawab bukan si batita Mahira.
"Mari, Bu, mau lanjut masak," kataku bermaksud melanjutkan langkah. Namun sebuah sedan menepi di depan rumahku.
Kemudian seorang lelaki jangkung dan berbadan kerempeng keluar dari sana.
"Pacar kamu, Son?" tanya Bu Nuri.
Lelaki mengangkat bahu seolah bertanya kenapa aku menatapnya seperti itu.
Aku mendesah pendek. "Iya."