10 | Konsep Jodoh Sonya Reinita

2026 Words
Mesin print berbunyi halus mengeluarkan satu per satu lembar-lembar hasil kerjaku. Aku mengeliatkan badan sambil mengerang kencang tanpa takut ganggung orang, guna melemaskan otot punggung, pinggang, leher, serta sepanjang sekedua lengan yang kaku karena kelamaan duduk mantengin komputer. Sejak empat jam lalu orang-orang di kantor sudah pulang, sementara aku baru selesai berkutat dengan pekerjaan di ruangan ini sendirian. Akhirnya selesai juga. Aku menghela napas panjang, mencoba merangkum kesialan yang kualami sepanjang hari ini. Seolah tak cukup hanya dengan mengacaukan acara pemotongan pita showroom Nitiharta dan harus mendapat amarah atasan serta ledekan teman-teman, aku juga harus mendapati fakta bahwa Pak Anggit mungkin saja tidak se-ndeso yang kukira hingga mau dengan rakyat jelata sepertiku. Mimpi yang baru kumulai, harus kukubur dini. Setelah semua dokumen tercetak, aku mengeceknya sekali lagi demi menghindari kesalahan, dan setelah yakin semuanya seperti yang diinginkan Mbak Eli, aku langsung menaruh map berisi dokumen itu ke meja Mbak Eli dengan notes kuning di atasnya. Jaga-jaga jika seandainya besok dia datang lebih dulu dariku. Aku segera pulang, tubuhku sudah lelah dan perut keroncongan karena hanya sempat makan nasi kuning yang dibungkus Debby dari acara tadi. Putra sendiri sudah dalam perjalanan menjemputku. Aku mau tidur, dan merancang mimpi hal baru lagi. Tentu saja, mimpi yang realistis kali ini. Kantor benar-benar sudah sepi saat aku berjalan menuju lift, aku mengumpat saat mendapati tulisan bahwa lift sedang perbaikan. Lift satunya pun sama, bahkan lift khusus direksi juga. Kenapa perbaikannya harus hari ini, sih? Aku lagi males jalan banyak. Dengan amat terpaksa, aku harus turun meniti tangga darurat dari lantai 4. Ada telepon masuk di saat suasana hati sedang kesal, membuatku bersyukur karena aku bisa menjadikan dia pelampiasan kekesalanku. Dan ketika tahu si penelepon itu Debby, aku bersumpah tidak akan baik hati. "Apaan?!" sahutku cepat, seolah-olah males ngomong sama dia. "Ih, Kak Sonya galak banget." "Ya, apaan? Lo ganggu gue tahu, nggak?!" "Aku telepon karena takut Kak Sonya kesepian di kantor sendirian. Tapi kalau ternyata aku malah ganggu, ya udah deh, aku matiiin aja." "Eh eh eh," cegahku buru-buru. "Enak banget lo udah bikin orang kesal mau kabur gitu aja." Di seberang sana, aku bisa mendengsr helaan panjang napas Debby. "Duh, aku serba salah, deh. Terus Kak Sonya maunya gimana?" "Lo nggak lagi ngapa-ngapain, kan?" desahkku tenang perlahan. "Jangan matiin teleponnya, temenin gue nunggu adik gue jemput." "Nah, itu maksudnya aku tadi. Kak Sonya sih, marah-marah melulu." "Kalau ngomong sama lo bawannya emang selalu bikin emosi, Deb." "Berati sama, dong, kayak Bu Eli tiap ngomong sama Kak Sonya." Aku mendesah. Sepertinya memang nggak berlebihan kalau banyak yang bilang aku dan Debby sebelas dua belas. "Tutup aja deh, Deb. Mending bengong, daripada dengar suara lo. Nyebelin banget, sumpah." Debby terkikik geli. "Jangan bengong, Kak Nya, nanti makin galau, lho. Emang udah ridho lillahi taala ngelepas mimpi jadi istrinya Pak Anggit?" "Yaelah, diingetin lagi," desahku ingin kesal tapi juga ingin curhat jadinya. "Coba mikir dewasa dikit ya, Deb, menurut lo keinginan gue caper ke Pak Anggit emang seenggak tahu diri itu, ya?" "Ehm, gimana ya, Kak. Ya ..., ya iya, sih. Tapi aku anaknya suka mimpi nggak tahu diri juga. Kan, katanya nggak ada yang nggak mungkin selama kita berusaha dan berdoa. Siapa tahu Allah mengetik hati Pak Anggit." "Nggak ada yang nggak mungkin juga katanya mesti realistis, Deb. Kita nggak mungkin sampai ke bulan naik sepeda gayuh." "Iya, juga, sih, Kak. Tapi nggak apa-apa lah mimpi rada nggak tahu diri, daripada nggak berani mimpi. Iya, kan?" Aku tampaknya salah cari tempat curhat, mestinya aku curhat ke Mbak Eli atau siapa pun yang karakternya berseberangan denganku sehingga bisa dapat second opinion. Kalau sama Debby begini, sama aja kayak aku mikir sendiri. "Tahu, ah, gue mau nyerah aja. Gue mau cari cowok kaya lain meskipun bukan CEO. Standar jabatan gue turunin, tapi standar look gue naikin. Gue mau cari yang ganteng juga pokoknya," segahku. "Haha Kak Sonya pakai bahasa cari, memangnya jodoh itu anak kucing yang keleleran di jalan terus bisa dipilih-pilih buat diadopsi? Enggak gitu konsepnya, Kak." Aku nyaris kepleset karena turun tangga sambil teleponan, untung saja aku sigap pegangan teralis pembatas. Aku bukan kucing, nyawaku cuma satu. Aku nggak mau mati konyol ngegelinding di tangga cuma karena teleponan sama Debby. Kalau aku mati, nanti yang bayar kuliahnya di Putra siapa coba? Dia harus jadi laki-laki sukses biar nggak berakhir seperti Papa kami. Aku mencebikkan bibir, mengejek ucapan Debby. "Sok tahu, lo aja belum pernah pacaran. Segala ngomongin konsep jodoh." "Kak Sonya yang udah berkali-kali pacaran belum ngerti juga, tuh." "Heh! Sebarangan!" aku menyentak nggak terima diremehkan begitu. "Gini ya, Debby, gue kasih tahu. Buat Sonya Reinita, konsep jodoh itu memang sama kayak adopsi kucing jalanan, kok." Gantian dari seberang sana si Debby mencibirku. "Halah, buktinya Sonya Reinita gagal adopsi Pak Anggito." "Ya itu, sih, karena Pak Anggit-nya bukan kucing jalanan. Dia kucing ras yang mirip kucing jalanan." "Ekhem!" Aku perlahan menoleh ke belakang, ke arah sumber deheman suara seorang lelaki yang kentara sekali dibuat-buat. Dan di detik itu juga aku berlonjak kaget bukan main, "astagfirullah!" Kalau boleh memilih, aku lebih ingin yang berdehem itu sebangsa hantu, daripada Pak Anggit yang beberapa detik lalu kukatai mirip kucing jalanan. "Ada apa, Kak?!" Selanjutnya, aku tidak bisa dengar seruan Debby lagi ketika kaki kiriku tidak memijak sempurna hingga membuat tubuhku limbung. Kupikir, ketakutanku menggelinding dari tangga akan terjadi. Aku memejamkan mata rapat, bersiap-siap mempermalukan diri di depan Pak Anggit untuk yang kesekian kali. Namun, lebih dari tiga detik berlalu, tubuhku rasanya kayak masih melayang padahal semestinya aku udah nyium ubin lantai. Perlahan, aku memberanikan diri membuka mata. Dan mataku yang masih menyipit kiyip-kiyip seketika melebar saat langsung berhadapan dengan wajah datar Pak Anggit. "Kamu sengaja ingin berlama-lama dipegangi kucing ras yang mirip kucing jalanan ini?" "Eh?" Sebelah alis Pak Anggit terangkat, sesaat kemudian aku baru menyadari situasinya. Buru-buru aku berusaha menegakkan badan untuk cari pijakan mantap, tapi gerakan sembronoku itu justru membuat tubuhku nyaris kehilangan keseimbangan sehingga Pak Anggit harus memegangi lenganku. Setelah aku bisa berdiri tegak, Pak Anggit menarik kedua tangannya dari pinggang dan lenganku. Aku bingung harus bagaimana. "Terima kasih, Pak. Eh, maaf. Aduh, maksud saya terima kasih sudah menolong saya dan maaf buat ucapan yang nggak semestinya Bapak dengar barusan," ujarku menunduk dalam. Pasrah sepasrah-pasrahnya. "Ucapan yang nggak semestinya saya dengar?" Jika ucapanku adalah tulisan, bisa dikatakan Pak Anggit men-highlight bagian itu dengan stabilo warna kuning metalik. "Jadi, selama orang nggak dengar, menurut kamu nggak masalah kamu menyebut orang lain mirip kucing jalanan?" Aku geleng-geleng cepat. "Bukan, Pak, bukan itu maksud saya. Saya ...," aku mendesah di pertengahan, benar-benar tidak tahu harus membela diri seperti apa. Aku menundukkan kepala lagi, kali ini makin dalam. "Maaf, Pak," ujarku akhirnya. Disamping aku sadar ucapanku salah, setahuku di mana-mana Bos tidak boleh dibantah. Beberapa malah nggak mau dibantah. Dan, sekarang aku penasaran, seberapa banyak yang dia dengar? "Sekali lagi, saya minta maaf." Usai mengatakan itu sambil membungkuk 90 derajat, aku secara sadar bersikap tidak sopan lagi dengan pergi lebih dulu. Aku berlari terbirit-b***t menuruni tangga karena aku sudah tidak punya muka lagi berhadapan dengan Pak Anggit. Sesekali aku melirik ke belakang dan mendapati Pak Anggit juga melangkah turun dengan terburu, yang membuat aku merasa seolah sedang dikejar-kejar. Aku heran bagaimana bisa Pak Anggit jalan tapi nggak terdengar langkahnya? Apa karena tubuhnya keterlaluan kurusnya, makanya tiap langkahnya tidak menimbulkan getaran, gema, atau apa pun lah itu namanya. Untungnya, begitu aku keluar gerbang Putra sudah menunggu di sana. Aku langsung meraih helm di cantolan motornya, dan menyuruhnya cepat-cepat pergi. "Ada apa, sih? Kayak dikejar hantu aja," tanya Putra keheranan. Aku menepuk pundaknya kencang, agar dia langsung jalan. "Ini lebih seram daripada hantu." "Hah?" Sekali lagi dan dengan lebih kencang aku memukulnya, Putra mengumpat tapi langsung jalan setelahnya. Aku mengembuskan napas lega. Kulihat Pak Anggit berhenti setelah motor Putra melaju. Kenapa aku jadi makin takut begini? Yang tadi itu, Pak Anggit beneran mengejar aku atau cuma jiwa kegeeranku saja. Entah apa yang akan terjadi besok, biar aku menghadapinya besok saja. Saat hendak menurunkan kedua tangan dari pundak Putra, aku menyadari gelang bermodel rantai yang seharian kupakai, kini tidak ada di pergelangan tangan. Aku mendesah, untung bukan cuma gelang aksesoris dari perak. *** "Puji Tuhan, akhirnya Sonya kembali ke jati dirinya." Mbak Eli berseru heboh saat kebetulan kami tiba hampir bersamaan, dia turun dari mobil suaminya saat aku mengeluarkan dompet buat bayar ojek Putra. Aku mengibaskan rambut yang hari ini merayakan kemerdekaan mereka setelah berhari-hari kuikat seadanya. "Nah, gini, dong, lebih cantik dilihat," ujar Mbak Eli lagi, kali ini sambil menggandengku masuk ke gedung kantor. Aku hanya tersenyum jumawa, sembari terus melangkah ringan. Tiap langkahku meninggalkan bunyi ketukan konstan dari alas high heels 10cm yang kupakai, sepatu ini membuat kakiku tampak jenjang dan punggungku lebih tegap. Dan setiap kali aku memakainya, aku merasa berkali-kali lipat lebih percaya diri. Hari ini aku memakai rok di atas lutut dengan alasan blus lucu yang kutumpuk pakai blezer yang membuat aku kelihatan profesional dan bergaya. Nggak seperti kemarin, aku lebih mirip mahasiswa magang yang belum bisa ngapa-ngapain. Sewaktu dandan tadi, aku saja sampai heran, bisa-bisanya kemarin-kemarin aku keluar rumah dengan wajah polosan. Aku dan Mbak Eli terpaksa berhenti sebentar karena ada mobil lewat di depan kami, dan berhenti tepat di depan teras Nitharta. Sesaat kemudian, sosok Pak Anggit keluar dari pintu belakang mobil sedan itu. Dalam hati aku mengeluh. Ya, memang aku mengaku siap menghadapi apa pun yang terjadi hari ini, tapi ya nggak sepagi ini juga dong, Dir, Takdir. Aku sengaja memelankan langkah agar Pak Anggit jalan masuk duluan, eh aku lupa kalau aku nggak jalan sendirian. Mbak Eli menarik tanganku berusaha menyamai langkah Pak Anggit, hanya untuk menyapanya. "Pagi, Pak." Mbak Eli mencubit pinggangku, sehingga aku mau nggak mau ikut nyapa," pagi, Pak." Pak Anggit menatap kami sambil mesem seadanya, tipis sekali. "Pagi." Sudah, begitu saja. Pak Anggit jalan lebih dulu masuk tanpa menghiraukan kami. Kalau yang kami sapa barusan adalah Pak Dirga, dia pasti akan menjawab lebih ramah, dan tak jaranv malah mengundang basa basi duluan. Memandangi punggung Pak Anggit, aku jadi mikir, apa aku perlu minta maaf pada Pak Anggit atas kejadian semalam di tangga, atau pura-pura bodoh amat saja? Tapi untuk pilihan kedua, aku mesti siap-siap menanggung kemungkinan terburuk. Bos mana, sih, yang mau mempekerjakan karyawan ceroboh dan bermulut tanpa rem sepertiku ini. Ah tapi biar saja lah. Lagipula, aku nggak tahu mesti beralasan apa. Salah, ya salah. "Mbak Sonya," panggil Pak Mul, salah seorang petugas security yang hari ini berjaga di pintu lobby. Dia mengambil sesuatu dari posnya, lalu berlari kecil menghampiriku. "Ada apa, Pak?" tanyaku mulai penasaran. "Ini punya Mbak Sonya, nggak?" katan Pak Mul, sembari mengulurkan sebuah gelang yang sangat kukenali. Gelang perak yang tidak sengaja aku hilangkan kemarin. "Lah, iya, ini punya saya. Kok bisa ada di Pak Mul? Terus, kok tahu ini punya saya?" "Orang yang nemu yang bilang kalau ini punya karyawan namanya Sonya. Lah, satu-satunya Sonya di office, kan, Mbak Sonya Reinita yang cantik." "Ih, Pak Mul pagi-pagi udah genit aja," balasku meningkahi candaannya dengan tawa kecil. "Emang siapa yang nemuin, Pak?" "Pak Anggit." "Hah?!" aku memekik kaget. Pak Mul melirik aku dan Mbak Eli bergantian dengan tampang bingung. "Itu, Pak Anggito, Pak Bos, Mbak Sonya. Tadi malam pas beliau mau pulang, beliau katanya nemu ini. Saya nggak nanya di mana beliau nemunya, dan gimana beliau bisa tahu kalau gelang ini punya Mbak Sonya," terang Pak Mul. Gelang ini pasti terlepas saat aku hampir jatuh semalam, dan Pak Anggit kayak ngejar aku sebenarnya mau mengembalikan gelang murahan ini. Aku memukul kepala, astaga, bisa-bisanya aku kegeeran mengira Pak Anggit sengaja mengejar aku dengan tujuan lain. Aku tersenyum pada Pak Mul hendak mengucapkan terima kasih, tapi di saat yang sama, aku merasakan tatapan Mbak Eli menghujamku dari samping. Dengan takut-takut aku menoleh. "Lo bikin ulah apa lagi, sampai-sampai Pak Anggit tahu gelang itu punya lo?" tembaknya penuh kewaspadaan. Aku meringis, jika kuceritakan kalau Pak Anggit nggak sengaja dengar aku mengatai dia kucing ras mirip kucing jalanan, entah apa yang akan dilakukan Mbak Eli padaku. "Itu..."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD