Untungnya, saat aku coba jelaskan pelan-pelan dan runtut kronologinya, Mbak Eli langsung mengerti. Dia percaya aku sudah kembali ke 'jati diri' dengan kembalinya penampilanku seperti biasanya. Mbak Eli menyuruhku fokus kerja saja, masalah jodoh, nggak perlu terlalu dikejar biar jadi kejutan tahu-tahu datang.
Kedengerannya bijak, sih, tapi aku kurang sepakat. Mbak Eli bisa gampang ngomong begitu karena dia udah nikah sama her SMA's sweetheart. Dua tahun kerja, mereka nikah, nggak lama terus punya anak. Dan sekarang, di umur dia yang baru awal 30-an, bisa dibilang dia udah settle dalam segala hal. Lah, aku?
September nanti umurku 27, karir masih begini-begini saja, jodoh nggak tahu ngumpet di mana. Mana aku tulang punggung keluarga. Ibaratnya, semua beban aku tanggung sendirian. Aku sangat ingin punya cowok hebat yang meskipun nggak bisa selalu aku andalkan, paling tidak di saat tertentu bisa aku ajak berbagi beban. Makanya aku kayak takut banget sendirian setelah putus dari Aldo.
Tapi, ya, sudah lah. Biar itu jadi masalahku, Mbak Eli nggak perlu tahu.
Aku bersama Mbak Eli, Debby, dan Mbak Lia berjalan sama-sama ke kantin buat makan siang. Bukannya mau besar kepala, di tempat ramai ini, melalui ekor mataku aku melihat beberapa orang secara terang-terangan menatapku. Nggak tahu apa yang ada dalam benak mereka, mungkin karena penampilanku yang berbeda drastis dari kemarin. Terlebih, dalam kurun waktu pendek belakangan, banyak hal memalukan yang menimpaku. Kayak perubahan penampilanku, insiden bau terasi, dan yang terakhir kejadian kemarin itu. Aku tidak ambil pusing karena yakin lama-lama mereka akan lupa.
Keningku nyaris terantuk cepolan hijab Mbak Lia saat di belakangku, Debby terus menerus mendorong aku tiap yang depanku segarak selangkah. Aku berdecak sebal dan mendelik padanya tajam. "Lo duluan, deh, takut amat nggak kebagian."
Debby menyengir dan kami pun bertukar posisi. "Aku tadi belum sarapan, Kak Nya, maklum—"
"Iya, gue tahu," potongku terlampau hapal sama isi kepala Debby.
Mendengar suara mengendus-endus dari arah meja-meja makan, aku pun memutar kepala mencari sumber suara.
"Bu Siti perasaan nggak bikin sambal terasi hari ini, tapi kok kayak bau tetasi, ya? Hmm ..., baunya sedap-sedap mantap," ujar Andre seolah sedang bicara sama teman-teman semejanya, lalu semeja bercanda dengan kata terasi yang menurutku nggak ada lucu-lucunya.
Andre karyawan departemen lain yang kebetulan aku kenal karena dulu kami direkrut bersamaan. Kami dulu lumayan akrab karena memang seumuran dan sama-sama karyawan baru. Tapi sekarang udah nggak terlalu sejak dia ngasih tanda-tanda suka ke aku, tapi akunya pura-pura nggak ngerti, jadinya nggak pernah aku tanggapi.
Aku memutar bola mata dan meluruskan pandangan ke depan.
"Dih, cowok lemes banget mulutnya," gumam Debby seolah mewakili aku.
"Nggak usah dilihat terus, dia sengaja caper ke gue," kataku pelan, sambil mendorong kepala Debby agar kembali lurus ke depan. Debby menungguku sampai aku mendapat makananku, lalu kami menyusul Mbak Eli dan Mbak Lia yang sialnya mereka duduk di meja belakang Andre.
"Eh, ada Sonya," sapa Andre saat aku mendekat ke meja.
Aku menatapnya, tapi hanya sekilas. "Eh, ada Andre," balasku berusaha keras menunjukkan antuasias.
"Keren, nih, kemarin dia ikutan Pak Anggit potong pita." Video kejadian nista itu sejak semalam beredar di grup-grup chatting kantor, aku tidak tahu pasti siapa yang pertama kali menyebarkannya, aku bahkan nggak berani nonton saking malunya.
Aku mengendikkan bahu enteng, meski dalam hati dongkol bukan main. "Ya gitu, deh," jawabku sambil ribet menyuruh Debby pindah kursi supaya aku bisa duduk di kursi yang dia duduki, kursi itu posisinya memunggungi meja Andre sehingga aku nggak perlu lihat muka dia.
"Duduk sini aja, Nya."
"Enggak, deh, nanti lo keganggu bau terasi," ujarku yang disambut gelak tawa orang-orang di sekitar tanpa sungkan, seolah aku memang menista diri supaya mereka ketawa.
"Lah, emangnya lo nggak mandi sampai-sampai bisa bau terasi?" Berhubung terpisah meja, Andre mengatakannya lumayan kencang. Tentu, dengan nada meledek tentunya.
"Karena gue mandinya pakai air terasi. Puas, lo?!" Ini orang-orang pada kenapa, sih? Masa semakin aku sewot, semakin kencang pula mereka ketawa.
"Nggak usah diladenin, Kak," bisik Debby. Cuma dia satu-satunya yang nggak ketawa, bahkan Mbak Eli dan Mbak Lia saat kulirik mereka terlihat seperti menahan tawa.
Aku berusaha melakukan apa yang dikatkan Debby, yaitu nggak menghiraukan Andre sama orang-orang di belakang yang sedang haboh bahas kok bisa aku sampai disiram Bu Yuni air terasi. Lalu nggak lama tawa mereka hilang, meja belakang mendadak sangat tenang.
Aku menatap Debby dengan kening terangkat, seolah tahu maksudku, Debby bergumam tanpa suara. "Pak Anggit." Itulah yang k****a dari gerak bibirnya.
Sontak aku menoleh ke belakang, dan tepat di belakangku aku melihat punggung jangkung Pak Anggit. "Mari," ujar Pak Anggit yang membuat Andre dan Melinda serta semua yang ada di meja panjang itu cengengesan nggak nyaman tiba-tiba CEO makan semeja dengan mereka padahal beberapa detik sebelumnya asyik bercanda.
"Yee, si Bapak duduk di sini. Dibilangin di sana aja biar bisa sambil rokokan juga." Pak Dirga datang menyusul sambil mengomel. Dia membalas sapa senyum kami dengan balas lempar senyum hangat.
"Kejauhan," jawab Pak Anggit pendek.
Aku pun meluruskan pandanganku lagi.
"Eh, ada apaan tadi? Kayak seru banget yang dibahas," tanya Pak Dirga santai.
"Bahasan nggak penting, Pak. Itu, kejadian si Sonya yang kena apes."
"Oh, yang jatuh di acara pemotongan pita kemarin?"
"Bukan, ada yang nggak kalah apes dari itu. Kapan hari dia disiram pemilik warung di jalan belakang pakai air yang kata satpam baunya kayak terasi."
"Hah? Yang bener?" seru Pak Dirga kaget, tapi sedetik kemudian ketawa-ketawa.
Aku mengembuskan napas, mulai kehilangan selera makan. Aku sedang bersusaha menjejali mulutku dengan makanan demi bertahan hidup, tapi di saat bersamaan telingaku di siksa hingga aku rasanya ingin lompat dari atas gedung.
"Nya, gimana tuh, ceritanya?" seru Pak Dirga padaku.
Demi kesopanan pada atasan, aku tetap memutar badan sambil tersenyum paksa. "Tega banget, masa Bapak suruh saya cerita keapesan saya sendiri."
"Oh, iya ya. Maaf-maaf, kalau gitu Andre aja yang cerita, Ndre."
Dan Andre benar-benar menceritakan semuanya, aku saja sampai heran bagaimana dia bisa tahu sedetil itu. Mulai dari aku yang ngasih makan kucing sampai mandi di kantor.
"Nya, Sonya...." Mbak Eli geleng-geleng kepala prihatin, tapi sambil nahan tawa. "Nama lo sekarang udah nggak ada elegan-elegannya."
"Emang," sahutku sedih. Kucing jalanan sialan, terasi sialan, caper sialan, Anggito sialan.
Seperti wanita kebanyakan, aku pastinya sangat sensitif dengan penampilan. Terutama yang menyangkut bau badan. Bahkan sebelum punya gaji sendiri, aku selalu menyisihkan uang untuk beli parfum berkualitas. Bukan yang dijual sembarangan di minimarket yang hanya tahan menempel beberapa jam saja di badan. Bisa bayangkan betapa tertekannya aku sekarang ketika semua orang melihatku, mereka langsung teringat dengan bau terasi.
Walaupun mungkin bagi mereka itu hanya candaan, tapi jika mereka melakukannya berulang kali, apalagi di tempat umum yang banyak orangnya, tetap saja itu memalukan.
Aku menyelesaikan makanku dengan cepat, supaya bisa segera pergi. Saat aku mendoronh kursi untuk berdiri, punggung kursiku membentur punggung kursi yang diduduki yang secara kebetulan juga didorong. Kami sama-sama kaget, pun dengan orang-orang di dekat kami.
Dengan canggung aku melirik Pak Anggit sambil meringis kecil. Pak Anggit hanya melihatku sebantar, lalu beranjak. Aku sengaja memberi jarak, sebelum mengembalikan alat makan ke tempatnya.
"Cepet banget lo makan, Nya," komentar Mbak Eli.
"Iya, gerah di sini."
Paham maksudku, Mbak Eli sudah nggak komen apa-apa lagi.
"Udah mau balik, Nya?" tanya Andre.
"Iya. Duluan ya," ujarku buru-buru sebelum makin kegerahan telingaku. "Mari, Pak Dirga, saya duluan," pamitanku dibalas acungan jempol oleh Pak Dirga.
Di tempat menaruh alat makan, tanpa terduga Pak Anggit masih ada di sana. Dia tampak berbincang dengan petugas kantin yang hendak memindahkan alat-alat bekas makan ke tempat pencucian yang letaknya di dalam dapur. Kalau sedang berbicara dengan karyawannya, Pak Anggit benar-benar mirip bos. Tapi kalau diam nggak ngapa-ngapain, aku jamin nggak akan ada yang menyangka kalau dia seorang CEO.
Dengan hati-hati, sebisa mungkin tanpa menimbulkan suara agar tidak menganggu bincang mereka, aku meletakan nampan, piring, serta sendok garpu di bagian-bagian masing-masing.
"Saya memindahkan mereka ke tempat penampungan kucing."
"Eh?" Aku terperanjat karena tiba-tiba suara Pak Anggit terdengar dekat. Dan benar saja, dia berdiri dua langkah di sebelahku. Maka, kuasumsikan kalimat barusan ditujukan padaku. "Ehm...."
"Saya cuma ngasih tahu, jadi kamu nggak perlu khawatir sama mereka sekarang."
"Ah ...," gumamku tidak tahu harus merespon apa. Lebih tepatnya, belum bisa membaca situasinya. Ini maksudnya, Pak Anggit mengira aku memberi makan kucing-kucing jalanan itu karena tulus? Begitu kah?
Saat dia bergeming, aku berbicara, "Oh ya, Pak. Teriima kasih sudah nitipin gelang saya ke Pak Mul. Dan Maaf juga buat yang nggak seharusnya Bapak dengar. Ah, maksud saya, maaf buat kata-kata yang nggak seharusnya saya katakan itu."
Pak Anggit kemudian hanya mengangguk. "Oke, nggak apa-apa. Entah itu kucing ras atau kucing jalanan, bagi saya keduanya nggak ada bedanya."
Aku menundukkan kepala penuh sesal.
"Asal kamu kedepannya bisa lebih berhati-hati lagi. Dengan kecerobohan kamu itu, kalau kamu bekerja di bawah saya langsung, saya nggak akan mikir dua kali buat mengeluarkan kamu dari tim saya. Kamu beruntung karena Bu Elisia lah atasan kamu," Pak Anggit berkata lagi lalu beranjak pergi. Ingatkan aku untuk berterima kasih juga ke Mbak Eli setelah ini.
Aku memandangi punggung Pak Anggit yang kian menjauh lalu mengembuskan napas panjang. Takdir sepertinya sedang mempermainkan aku. Giliran kemarin-kemarin mau caper, nggak pernah ketemu. Sekarang, ketika aku sebisa mungkin menghindari, malah nggak sengaka ketemu melulu.
Sejujurnya, aku juga nggak nyangka. Dari sekian pencitraan yang kulakukan, ternyata ada satu yang berhasil menipu Pak Anggit. Walaupun tanpa tujuan, aku nggak bohong kalau aku senang.
Saat aku hendak memalingkan pandangan dari punggung Pak Anggit, aku nggak sengaja melihat ke arah Pak Dirga yang sedang memandang ke arahku dengan senyum miring di wajahnya. Aku nggak tahu artinya apa, yang jelas dia seperti sedang memikirkan sesuatu.
***
Kejadian di kantin tadi sangat mempengaruhi mood-ku, 'bau terasi' yang disematkan padaku membuatku tersugesti seakan-akan tubuhku memang menguarkan aroma seperti itu. Aku mendadak tidak percaya diri, yang mana itu bukan Sonya Reinita sekali.
Aku bahkan tidak berani ikut dengan yang lain masuk ke dalam lift dan memilih turun lewat tangga darurat, meski jalanku harus ekstra hati-hati, sebab aku memakai high heels.
Aku sedang nunggu ojekku datang di halte depan kantor sambil nyemil sosis. Jalanan di depan sedang padat merayap, biasa jam pulang kerja. Melihatnya saja sumpek sekali. Pasti menyenangkan punya mobil sendiri, meski macet di mobil berpendingin aku bisa karaokean, ngeroll poni, atau sambil teleponan biar nggak bosan sendirian. Aku begidik merasakan geli di punggung kakiku, ternyata yang merusak khayalanku adalah kucing jalanan yang buruk rupa. Aku memindahkan kakiku, tapi dia terus mengikuti sambil meong-meong sok manis.
Maaf, maaf aja, ya, Cing, kamu aku cuein. Aku masih trauma sama makhluk sebangsamu. Gara-gara kalian, aku sekarang punya julukan Duta Terasi.
Karena si kucing makin menganggu, aku mendecakkan lidah kesal. Tadinya mau marah-marah, untungnya aku cukup waras buat nggak mempemalukan diri dengan berantem sama kucing di tempat ramai begini. Aku menghela napas. Aku nggak ngerti kenapa Tuhan menciptakan kucing dengan mata bening yang bikin nggak tegaan begini, sih?
Akhirnya aku menciul sosisku dan menaruhnya di depan kucing jelek ini, serta mesta dia berhenti cari-cari kakiku dan ganti menjilati sosis itu.
"Nasibmu kok beda, sih, sama Pak Anggit? Dia juga kurus dan jelek kayak kamu, tapi dia nggak bakal kelaparan." Karena nggak tega, akhirnya aku ngasih semua sisa sosisku. "Aku sebenernya masih trauma ngasih makan kucing, tapi ya udah lah, ini yang terakhir," aku berbicara pada si jelek sambil mengelus kepalanha yang besarnya nggak sampai sekepalan tanganku.
Sebuah mobil menepi di depanku, aku mendongakkan wajah penasaran, tapi badan masih membungkuk mengelus kepala kucing. Kemudian, kaca depan mobil diturunkan, dan seketika mataku melebar karena aku melihat tampak samping wajah Pak Anggit, sejurus kemudian wajah Pak Dirga nongol, badannya melintang di depan Pak Anggit yang duduk di kursi penumpang depan. "Sonya, ngapain kamu ngobrol sama kucing?" seru Pak Dirga bertanya.
Sontak aku menegakkan badan. "Eh, kucingnya caper ke saya, Pak," jawabku sambil cengengesan, lebih karena bingung mau jawab apa.
Pak Dirga ketawa sambil geleng-geleng. "Ada-ada aja kamu. Masih nunggu jemputan? Maaf, ya, nggak bisa nawarin tumpangan. Lagi buru-buru."
"Iya, Pak, nggak apa-apa. Silakan lanjut."
Pak Dirga lalu kembali ke posisi duduknya dan Pak Anggit kelihatan lega karena nggak terganggu sama kepala Pak Dirga. Sebelum kaca benar-benar menutup, Pak Anggit sempat menoleh padaku dan mengangguk kecil.
Aku menggaruk kepala, rasanya sedikit aneh. Bukankah insiden terasi itu terjadi saat aku berusaha agar Pak Anggit melihatku diam-diam memberi makan kucing jalanan kayak barusan?
Ah, siapa yang peduli sama bagaimana penilaian Pak Anggit terhadapku sekarang. Kaya, sih, kaya. Tapi kalau jelek dan kaku begitu orangnya, buat apa?
***
Ojek yang aku tumpangi tiba mengantarkan aku selamat di depan rumah saat hari menjelang petang. Saat aku berjalan masuk ke rumah, sejenak aku menghentikan langkah karena headphoneku di dalam tas berdering, aku merogohnya dan terkejut menemukan nama kontak Pak Dirga berkedip-kedip di layar.
Selama bekerja, Pak Dirga tidak pernah menghubungiku pakai nomor pribadinya, ya karena memang nggak ada kepentingan atau urusan aja. Terlebih, saat ini sudah lewat jam kerja.
Waduh, ada apa ini?