09 | Bangun Dari Mimpi Siang Bolong

2209 Words
Tantangan terbesarku dalam menarik perhatian Pak Anggit adalah kesempatan. Pekerjaan kami nggak berhubungan langsung sehingga hampir mustahil kami saling bersinggungan, kalau enggak di kantin, paling-paling di lorong lift, itu pun kecil sekali kemungkinannya. Makanya, aku nggak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Hari ini, Nitiharta akan meresmikan satu lagi showrooom furnitur kami. Ini showroom kedua yang kami miliki di kota yang sama, sebab Pak Hartawan ingin merajai pasar furnitur dalam negeri juga. Dan keinginan itulah yang coba diwujudkan Pak Anggit sekarang dengan kepindahannya ke kantor ini yang memang berfokus untuk suplay pasar dalam negeri. Di depan cermin lebar wastafel toilet perempuan, aku memepakkan bibir, meratakan lipstik yang baru kupoles di bibir. Lalu lanjut merapikan rambutku yang hari ini kuikat ala ekor kuda. "Lo makin hari makin aneh," komentar Mbak Eli yang sedari tadi lirik-lirik ke arahku selagi merapikan penampilannya sendiri. "Masa, sih?" sahutku asal-asalan, lalu menoleh pada Debby yang berdiri di sisi kiriku. "Menurut lo gue aneh, Deb?" Debby menyengir lebar. "Cantik banget sampai-sampai kelihatan nggak normal, Kak." Aku tersenyum puas. "Nah, itu dia. Terima kasih penilaian objektifnya, Debby baby." Masih melalui pantulan cermin, aku melihat Mbak Eli memutar bola mata malas. "Kalian berdua memang sangat cocok," dengusnya seolah lelag menghadapi kami berdua. "Ingat, ya, Sonya, besok gue nggak mau dengar lo ngeluh kalau gue galak. Lo sendiri yang merengek minta ikut ke sini. Besok pagi, sebelum gue datang, laporan yang gue minta harus udah ada di meja karena jam 11 mau gue bawa meeting sama Pak Dirga." "Iya, iya, tenang aja," jawabku setenang itu. Mbak Eli kemudian keluar toilet lebih dulu, sehingga kini cuma ada aku sama Debby. Itulah yang tadi aku bilang nggak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Peresmian showroon ini akan dihadiri langasung oleh Pak Anggit, tentu saja aku ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk berkeliaran sesering mungkin di sekitarnya. Kehadiranku di sini sebenarnya tidak penting, tadinya Mbak Eli hanya mengajak Debby untuk jadi asistennya sehari, tapi aku bersikeras ingin ikut meski aku ada deadline pekerjaan yang harus selesai malam ini juga. "Kak Sonya nekat banget," bisik Debby. "Oh, ya harus itu. Berlian nggak didapat dari metik di pohon." Debby terkikik geli. "Emang rencana Kak Sonya apa nanti?" "Nggak ada. Cuma ingin nampang wajah biar di-notice Pak Anggit aja kalau sering ketemu." "Yaaa, gitu, doang?" Aku mendelik, wajahku kubuat segarang mungkin. "Nggak ada yang namanya 'gitu doang' Debby Baby. Semua ini namanya proses, yang natural memang makan waktu panjang. Tapi gue percaya, semua bakal indah pada waktunya. Debby meringis. "Ya udah, iya, deh, Kak," jawabnya kentara sekali meragukanku. Obrolan kami terjeda ketika salah satu dari empat bilik closet di belakang kami terbuka, dan seorang wanita berrok di atas dengkul keluar dari sana. Aku sedikit bergeser lebih merapat ke Debby untuk memberinya ruang lebih lebar untuk menghadap wastafel. Wajahnya asing bagiku, tapi kalau dia bisa berada di sini, artinya dia masih bagian dari Nitiharta. Aku dan Debby sempat melembar senyum kecil demi sopan santun, tapi tampaknya dia tidak butuh itu. Dia bahkan tidak melirik kami sedikit pun, lalu usai mencuci tangan, dia langsung keluar. "Cantik banget, sayang kelihatan judes," celetuk Debby dengan suara berbisik ala Bu Dino kalau lagi gosip. "Hush! Nggak boleh asal julid gitu, siapa tahu dia lagi ada masalah," ujarku berbaik sangka. "Tapi iya, sih, kelihatan judes banget. Nggak peduli ada masalah apa, mestinya itu nggak boleh mekpengaruhi kehidupan sosial dia." "Yeee, malah Kak Sonya yang lebih julid," cibir Debby. Makin hari makin berani meledek aku anak ini. Aku hanya tertawa kecil. "Dah, ah, nggak usah mikirin hidup orang. Mikir aja gimana ini caranya narik perhatian Pak Anggit." "Dah, ah, Kak Sonya pikir aja sendiri. Aku nggak mau ngurusin hidup orang." "Heh!" Aku menyelak marah, yang hanya dibalas Debby dengan juluran lidah mengejek. Aku berkacak pinggng melihatnya keluar duluan sambil ketawa-ketawa, nih anak baru semenit makin parah kurang ajarnya. *** Acara sedikit molor karena Pak Anggit mendadak ada urusan yang tidak bisa ditinggal, dia baru datang jam 12 siang. Sebuah tumpeng, balon-balon yang nantinya akan diterbangkan, serta ita merah membentang di depan pintu showroon sudah dibentangkan. Kini, semua orang telah berkerumun di depan di luar showroom. Aku memanjangkan leher untuk mencari-cari posisis yang kiranya bisa lebih mudah dijangkau jarak pandang Pak Anggit. "Mau ke mana?" Mbak Eli menahan lenganku, tepat saat aku akan berpindah ke sisi samping. Kalau di belakang begini, mana mungkin Pak Anggit melihatku. "Mau ke sana, di sini nggak kelihatan." "Di sini aja, bukan lo yang potong pita juga." "Ih, gue kan mau lihat gunting pitanya," dalihku keras kepala. "Nggak usah. Di sini aja bantu tepuk tangan nanti." Sayangnya, bosku ini sepertinya tidak pernah suka melihat anak buahnya mencari kebahagiaan sederhana. Aku menghentakkan kaki kesal, Mbak Eli memelotot yang mana tandanya aku harus jaga sikap karena di sini banyak orang dan masih dalam ruang lingkup tempat kerja. Untungnya, perhatian Mbak Eli cepat teralihkan saat MC dadakan yang juga karyawan Nitiharta memberi aba-aba bahwa pemotongan pita siap dilakukan. Diam-diam aku menyelinap, ke barisan paling depan. Aku tersenyum puas saat aku akhirnya kini bisa melihat Pak Anggit tanpa terhalang punggung-punggung orang lain. Dengan sengaja aku melirik ke arah Mbak Eli yang sedang celingukan mencariku, dan saat dia melihat keberadaanku, aku nyengir lebar sambil mengacungkan jari membentuk huruf V. Mbak Eli pasti akan mengomeliku, tapi biarkan itu jadi urusan nanti. Aku mengalihkan lagi perhatian ke depan, saat itu tanpa sengaja aku menyikut seseorang di sebelahku. "Oh, maaf, nggak sengaja," ujarku merasa bersalah. Orang itu ternyata adalah perempuan yang disebut Debby judes di toilet tadi. Dan apa seperti yang dilakukannya di toilet, dia membalas permintaan maafku yang sepenuh hati ini dengan lirikan tak minat dan terganggu. Aku meringis makin merasa bersalah, meski lebih banyak perasaan kesal. Memangnya siapa, sih, dia? Sok penting sekali. "... Pak Anggito siap?" Pak Anggit hanya tertawa sambil mengacungkan ibu jari. "Oke, Pak Anggito sudah samgat siap. Yang lain, siap?" "Siap!" aku berseru kencang, atau mungkin malah paling kencang? Ah, sepertinya tidak sekencang itu, tapi kenapa beberapa kepala di sekitarku sampai menoleh padaku, termasuk si judus di sebelahku yang sampai garuk-garuk telinga. Si MC tertawa kencang. "Mbak Sonya kayaknya udah nggak sabar, ya?" Aku tersenyum semanis mungkin karena sadar sedang jadi pusat perhatian sesaat. Akhirnya Pak Anggit juga memberikan perhatiannya padaku, meski hanya sekilas saja. "Baiklah, karena semuanya sudah siap, mari kita semua hitung mundur. Tiga, dua, sa—" Bruk! Tubuhku seperti terdorong dan tersungkur ke depan tepat pada saat hitungan MC tiba di angka satu. Riuh sekitar mendadak senyap, confetti beterbangan di sekitarku, dan tepat dibawah kedua telapak tangan yang kupakai menopang tubuh, ada seutas rangkaian bunga melati. Deg. Dengan takut-takut aku melirik sekitar, dan kutemukan wajah-wajah heran dan jengkel. Aku menoleh ke arah Pak Anggit, dia menatapku dengan bibir menipis, persis seperti waktu aku tidak sengaja menumpahkan air ke meja hingga mengenai celananya. Sungguh, aku ingin menangis sekarang juga. *** "Nih, Kak, makan dulu." Aku mendelik galak ke Debby. Di ini bodoh atau tidak bisa membaca situasi, di saat seperti ini, siapa yang akan peduli dengan nasi kuning. Aku mengacau di depan petinggi-petinggi Nitiharta, di momen yang tidak bisa dibilang biasa-biasa saja. Acara yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari hingga ada tim panitianya sendiri. Barusan, mereka memarahiku habis-habisan. Acara tidak bisa ulang karena confetti sudah telanjur diledakkan dan balon-balon sudah dilepas ke udara tepat pada hitungan ketiga. Acara ini sudah direncanakan akan masuk surat kabar. Namun karena aku, semuanya jadi gagal. Di saat semuanya berkumpul untuk makan nasi tumpeng, aku melipir ke samping gedung yang berangin dan berdebu. Ingin menjauh sejauh-jauhnya dari keramaian, padahal di dalam, Pak Anggit ikut makan bersama. Menyerah menyodoriku makanan, Debby akhirnya duduk di sebelahku. "Kok bisa, sih, Kak?" "Ck, lo nggak hitung berapa banyak orang tang nanya itu tadi dan jawaban gue apa?" semburku kesal. Aku curiga Debby benar-benar tidak punya kepekaan sikon. "Ya, maaf, Kak...," desahnya lalu tutup mulut, tanpa beranjak dari sebelahku hingga menit-menit berlalu. Aku nggak tahu apa yang terjadi. Aku cuma merasakan dorongan, entah terdorong atau dikorong, entah pula dorongan itu disebabkan oleh seseorang atau sesuatu. Yang jelas, aku nggak mungkin sengoblok itu mempermalukan diri, di saat aku ingin terlihat baik di mata Pak Anggit. Saat ini pun, aku sebenarnya sedang mempersiapkan diri dimarahi Mbak Eli. Aku sangat yakin aku tidak akan lolos dari terkamannya kali ini. Meski begitu, aku merasa bersyukur punya manajer seperti Mbak Eli. Saat tadi panitia memarahiku, Mbak Eli memang tidak membelaku, tapi dia yang membuat panita mau bersabar sebentar untuk marah-marahnya pindah tempat tertutup. "Di sini kamu ternyata." Tanpa menoleh, aku sudah tahu suara siapa itu. Sesaat kemudian, Mbak Eli berdiri di depanku dengan tangan berkacak di pinggang. "Kejadian, kan. Dari lo maksa mau ikut, feeling gue udah nggak enak. Dan ternyata..., nggak tanggung-tanggung ulah lo, ya." Aku mengembuskan napas panjang, kepalaku masih menunduk dalam. "Maaf, Mbak." "Kenapa, sih, Nya, lo suka sekali bikin masalah di depan Pak Anggit?" Aku menyenut nama Tuhanku dengan batin nelangsa, 'suka bikin' Mbak Eli bilang tadi? Sungguh itu tuduhan paling keji. "Mbak Kiranya aku sengaja berulah di depan Pak Anggit?" tanyaku ingin berbaik sangka, barang kali aku salah paham. "Ya, habisnya dari awal pertama kali ketemu Pak Anggit, lo udah nggak sopan ngatain jerawatnya itu penyakit. Terus lo bikin dia kesal karena numpahin air tapi bukannya diberesin, malah kelabakan sendiri. Terus ini yang lupa mau gue tanya, kata security dekat lift, lo kemarin nyemprot parfum kena mukanya Pak Anggit. Terus yang barusan tadi...," Mbak Eli menjeda seolah nggak tahu lagi mau ngomong apa. "Astaga, Nya. Siap-siap aja udah, Pak Anggit sampai manggil gue buat tanya siapa nama lo." "Pak Anggit nanya nama gue, Mbak?" Debby menyenggol lenganku. "Ciye, Kak Sonya, akhirnya di-notice Pak Anggit." Aku melotot, baru mau kusembur si Debby, Mbak Eli ternyata mendahului. "Di-notice-nya ya mesti lihat-lihat dalam konteks apa kali, Deb. Kalau di-notice jelek-jelek, ya itu malah lebih parah daripada dianggap nggak ada." Nah, itulah yang mau aku katakan tadi. "Ih, perasaan dari tadi aku salah ngomong mulu, deh," keluh Debby yang kedengerannya seperti bergumam sendiri. "Deb, kalau Sonya nggak mau makan. Balikin lagi ke dalam. Kita balik ke kantor sekarang." "Siap, Bu." Dengan sigap Debby menjalankan perintah Mbak Eli. Sekali lagi Mbak Eli memandang aku sambil menghela napas. "Udah, Nya, sekarang hentikan ide konyol lo yang ingin jadi istrinya Pak Anggi itu." Aku terkesiap kaget. Perasaan, selain pada cermin, aku nggak pernah bilang ke siapa-siapa. Kecuali si Debby. Tunggu, jangan bilang si tukang ember itu ... "Pasti si Debby, ya, yang ngadu?" tebakku, sembari mengingatkan diri untuk memberi bocah itu perhitungan nanti. "Halah, sebelum maksa Debby buat cerita, gue udah bisa baca gelagat nggak jelas lo. Apa lagi pas lo ubah gaya dandanan, nih anak pasti lagi ngerencanain sesuatu. Ya nggak apa-apa, mau ngejar laki, tapi mbok ya lihat-lihat lakinya siapa. Ini Pak Anggit lho, Nya, yang kamu kejar. Pak Anggito, Anggito Hartawan, CEO kita." Aku mendecakkan lidah kesal. Iya, kesal pada diri sendiri karena sekarang aku pasti kelihatan bodoh banget di mata Mbak Eli. "Emangnya kenapa kalau CEO? Pak Anggit orangnya sederhana, dia nggak akan mandang kasta." "Sesederhana-sederhananya CEO, tetap aja mereka CEO, Nya. Pengusaha kelas kakap, tuh, Nya, biasanya cari istri itu nggak mandang cinta. Mereka milih keluarga mana yang kiranya bisa bikin bisnis mereka makin besar. Udah lah, yang realistis-realistis aja cari calon suaminya," tukas Mbak Eli enteng. "Lo waktu itu minta gue cariin calon suami, jelek nggak apa-apa asal kaya, kan? Tenang, nanti gue kenalin sama seseorang. Sekarang, bangun dari mimpi siang bolong, dan ayo balik kerja. Belum jadi mantu Nitiharta lo udah malas-malasan." Aku mencibikkan bibir sedih dan tidak berdaya. Ucapan Mbak Eli terdengar masul akal hingga aku malu mau coba menyangkal demi melindungi sedikit sisa harga diri yang kupunya. Aku pasrah saja sewaktu Mbak Eli menarik tanganku buat berdiri dan berjalan menuju mobil Mbak Eli terparkir. Kami menunggu Debby sebentar karena nggak tahu kenapa dia mengembalikan piring nasi kuning saja lama sekali, aku jadi curiga jangan-jangan dia makan lagi. Dan benar saja, saat dia tampak keluar dari pintu showroom, aku melihat dia menenteng kantong plastik bening yang isinya ada tiga kotak steroform makanan. Benar-benar mahasiswa kere nggak mau rugi. Mbak Eli yang sudah bersiap dibalik kemudi pun mengelus d**a melihatnya. "Untung dia cuma mahasiswa PKL." Di belakang Debby, ada tiga orang menyusul keluar. Dia adalah Pak Anggit dan sekretarisnya, lalu satu orang lain yang kini tampak ngobrol akrab sambil jalan beriringan di sebelah Pak Anggit adalah wanita judes di toilet tadi. Siapa dia sebenarnya? Karyawan biasa, tidak mungkin berani ketawa lebar sambil pukul-pukul manja lengan Pak Anggit. "Nah, lo lihat itu, Nya?" Mbak Eli tampaknya juga memperhatikan apa yang membuatku penasaran. "Lo tahu siapa cewek yang lagi jalan sama Pak Anggit itu?" Aku menggeleng lemah. "Namanya Metha Yoesman. Nggak asing, kan, namanya?" Kali ini aku mengangguk lemah. "Iya, Yeosman yang itu. Anak bungsu pengusaha Tirta Yeosman yang punya mall di seberang kantor kita dan belasan mall dan hotel lain seindonesia. Dengar-dengar, Bu Hartawan punya grup arisan bareng istrinya Tirta Yoesman dan udah ramai orang bilang kalau mereka bakal besanan. "Sekarang, lo masih mau lanjut tidur apa bangun?" "Bangun," lirihku sedih. Seperti ada tombak yang menghujam dadaku. Padahal baru ngayal babu, tapi kok, udah sakit, sih?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD