Chapter 8

1050 Words
Marcello melihat beberapa deretan minuman kemasan kaleng di dalam lemari pendingin. Setelah memutuskan apa yang akan dia pilih, Marcello segera membuka pintu lemari pendingin itu bertepatan saat ponselnya berdering. "Ya?" "Marcello, kau yakin sudah kembali pulang ke Indonesia? Disana kau tinggal sama siapa? Ibu akan mendatangimu.." Marcello menghela napasnya. Rupanya Eloisa menghubunginya dengan nomor tak dikenal. "Ibu jangan kemari. Ayah pasti akan marah. Tapi jangan khawatir, aku akan tinggal di dekat rumah Adelard. Apapun yang terjadi, sahabatku itu akan membantuku." "Memangnya apa yang akan kau lakukan disana, nak? Ibu benar-benar mengkhawatirkanmu apalagi Ayahmu sudah mencoretmu dari daftar warisan gara-gara kau kabur dari rumah! Kau pikir ibu bisa makan dan tidur dengan tenang sementara putra Ibu saat ini sudah menjadi gelandangan di negara orang?" Bukannya menjawab, Marcello malah sibuk menatap seorang anak kecil yang terlihat duduk sambil menghambur beberapa mainan di rak display yang ada di sebelahnya. "Marcello? Kau mendengar kata Ibu atau tidak?! Saat ini kau benar-benar jatuh miskin. Harta saja kau tidak punya! Ibu benar-benar takut tiba-tiba kau mati kelaparan!" Setelah menyadari siapa sosok anak kecil itu, Marcello menarik sudut bibirnya. "Marcello?? Kau masih disana?" "Tentu saja aku masih punya harta yang paling berharga, Ibu." jawab Marcello penuh keyakinan. "Apa katamu? Kau-" Marcello langsung menutup panggilannya secara sepihak. Dengan langkah pelan ia mendekati bocah kecil itu. Sudah ia duga, balita yang menggemaskan ini adalah Rafa. "Hai jagoan? Apa yang kau lakukan disini? Hm?" Marcello mengusap pelan kepala Rafa. Terlihat sekali Rafa sibuk menghambur semua mainan yang sudah di display pada rak minimarket. Rafa tertawa dengan suara yang menggemaskan hingga akhirnya ia menyadari kehadiran Marcello. "Pa.. Pa.. Pa.." "Apa katamu?" "Pa! Paaaaa!" Tanpa ingin menunda lagi akhirnya Marcello menggendongnya. Bahkan tanpa canggung mencium pipinya. Ntah kenapa Rafa memanggilnya dengan sebutan kata Papa. Semalam ia memanggil Adelard Papa, sekarang Marcello juga sama. "Ah, aku tersentuh kalau jagoan kita memanggilku kata Papa. Sekarang sebagai imbalannya, kau ingin semua mainan itu? Aku bisa membelikannya untukmu!" Tiba-tiba seorang karyawan pria minimarket melewati mereka sembari membawa beberapa stok barang yang akan di display. Marcello memanggilnya. "Em, permisi.." "Ya, Pak ada yang bisa saya bantu?" "Tolong bungkus semua mainan yang ada disini.." Karyawan itu melongo dan terkejut menatap Arvino. Lalu tatapan itu beralih ke arah stok mainan yang ada di pajangan. "Semuanya, Pak?" "Iya, semua. Saya tunggu di kasir sekarang.." Mau heran, tapi ini seorang Marcello yang penampilannya memang terlihat orang kaya. Akhirnya karyawan itu mengangguk patuh dan menjalankan tugasnya. Sekarang, Marcello kembali menatap Rafa. "Sekarang, beri tahu aku. Kenapa anak sekecil dirimu bisa berada di tempat ini sendirian? Kemana Ibumu? Kenapa dia bodoh sekali?" "Bo.. Bo.." "Kau bicara apa?" "Bo.. Doooh.. Bo.. Doh.." Marcello tertawa lepas. "Anak pintar. Tapi jangan katakan pada Ibumu kalau aku yang memberitahukannya padamu." "Astaghfirullah Rafa!!!" Tiba-tiba Zulfa datang dengan wajah yang sudah pucat dan sembap oleh air mata. Tanpa permisi ia mengambil alih Rafa dari gendongan Marcello. Awalnya Marcello terkejut, tapi secepat itu juga ia menyadari sesuatu. "Ah ini dia pahlawan kesiangan kita. Sekarang aku mengerti kenapa anak kecil ini bisa terlepas dari penjaganya.." "Jaga ucapanmu! Kau kan yang sudah diam-diam menculik Rafa? ! Aku bisa saja melaporkanmu ke kantor polisi!" Marcello menarik sudut bibirnya. Ia bersedekap. "Kau tidak berubah sejak dulu, suka mengancamku. Apakah kau tidak kasian denganku kalau aku di penjara lagi?" Tiba-tiba Marcello sedikit mendekat ke arah Zulfa. "Kau tidak lihat kalau beberapa menit yang lalu kita baru saja berkumpul kembali sebagai keluarga kecil?" Dengan kesal Zulfa pun menginjak salah satu kaki Marcello. Marcello sampai mengaduh kesakitan dan mengumpat pelan. Ntah kenapa ucapan Marcello barusan berhasil membuat Zulfa emosi dan sakit di saat bersamaan. "Jadi ini yang namanya tidak tahu kata terima kasih? Apa kata Nafisah kalau kau baru saja teledor menelantarkan anak ini? Apa aku harus menghubungi Adelard-" "JANGAN KAU LAKUKAN ITU!" bentak Zulfa nyaring, hingga tanpa sadar membuat beberapa orang di kanan kiri mereka sampai terkejut menatap keduanya. "Kenapa? Kau takut? Bagaimana bisa seorang Ibu membiarkan putranya-" "Rafa bukan anakku!" "Bahkan aku tidak yakin." "Terserah!" Maka Zulfa pun pergi meninggalkan Marcello dengan perasaan amarah yang besar. Setiap ketemu Marcello, selalu saja otaknya serasa mendidih. Bisa-bisa ia terkena penyakit darah tinggi di usia muda! Tiba-tiba Rafa menoleh ke belakang. Ia merentangkan kedua tangannya seolah-olah tidak ingin berpisah dengan Marcello. Rafa menangis kencang. Marcello tak tinggal diam, ia pun mengejar langkah Zulfa. "Kau yakin akan membiarkannya menangis keras sepanjang jalan?" "Apa perdulimu?! Semua ini gara-gara dirimu kan?! Berhenti bertingkah seolah-olah kau penolong yang baik! Kau pikir aku takut padamu-" Suara tangisan Rafa semakin kencang. Beberapa orang-orang yang lewat berlalu lalang langsung terpusat pada Zulfa. Mendadak Zulfa merasa malu dan kesal. Bahkan hanya untuk menenangkan balita yang sedang menangis saja ia tidak mampu. Akhirnya Marcello tidak tinggal diam, ia pun mengambil alih gendongan Rafa dari Zulfa. "Sayang, kemarilah." dengan pelan Marcello menepuk lembut punggung Rafa. "Anak jagoan tidak boleh cengeng apalagi terlihat lemah. Terutama didepan wanita yang tidak tahu tanda terima kasih.. " Marcello menatap Zulfa dengan tatapan meremehkan, jelas sekali pria Italia ini baru saja menyindirnya. Tapi siapa sangka, Rafa berhasil tenang. Marcello merasa menang. "Kalau kau tidak ingin Nafisah ataupun Adelard tahu bahwa Rafa baru saja menghilang, kau harus mengikuti syaratku. Suka ataupun tidak.." "Kenapa kau terlihat memaksa? Kau sengaja mengambil kesempatan untuk meraih hati Rafa, kan?!" "Jadi kau keberatan?" "Kau-" "Katanya anak ini adalah anak Nafisah. Seharusnya kau tidak keberatan kalau aku berusaha mengambil hatinya. Lagian aku yakin, Aldelard tentu saja tidak akan masalah kalau sahabatnya ini menyayangi keponakannya.." Zulfa mengepalkan kedua tangannya sembari menatap Marcello dengan benci. Kenapa sekarang ia terlihat mati kutu nggak bisa berbuat apapun?! Zulfa mulai berpikir keras, jika Marcello memberitahukan hilangnya Rafa ke Adelard atau Nafisah. Fix! Nafisah akan kembali kecewa padanya atau mungkin marah besar! "Kecuali anak ini memang benar putra kita. Aku masih memaklumi jika kau marah besar begitu aku berusaha mengambil hatinya. Aku tahu, kesalahanku di masalalu tidak mudah di maaf-" "Katakan saja syaratnya apa?! Nggak usah banyak ngomong!" "Oke, jadi begini..." ***** Halooo!! ? Masya Allah Alhamdulillah. Aku kembali up ya Chapter 8 ini? Maaf telat update. Biasanya kan siang, tapi karena ada kesibukan. Jadinya jam gini deh.. ?? Makasih ya udah baca... ❤ Marcello lagi berusaha nih kembali meminta maaf dari Zulfa. Apakah berhasil??? ?? Jgn lupa nantikan chapter 9 Insya Allah hari selasa ya, Terima kasihhh ❤✨ With love, Lia Instagram : lia_rezaa_vahlefii
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD