Chapter 7

899 Words
Adelard langsung terdiam begitu tanpa sengaja melihat Nafisah yang ntah kapan sejak tadi melihatnya. Sejenak, Adelard terlihat membisik sesuatu ke telinga putranya yang masih dalam gendongan. Setelah itu, Adelard menurunkan Rafa dan mendekati Nafisah. Senyuman tulus dan kasih sayang yang tadinya terpancar, akhirnya hilang. Sekarang, wajah Adelard kembali dingin seperti sebelumnya. "Lusa aku akan kembali ke rumah yang dulu dan tinggal disana." "Apa?" Nafisah cukup terkejut mendengar ucapan Daniel yang begitu dadakan. "Mas Daniel-" Tiba-tiba Adelard mencengkram kuat lengan Nafisah. Tubuh istrinya itu sedikit tertarik mendekat ke arah suaminya. "Dan jangan memanggilku nama itu. Aku membencinya! Nama itu sudah mati setelah penghianat mengecewakannya!" Suara Adelard terdengar dingin dan penuh penekanan. Nafisah sampai ketakutan. Aura Adelard benar-benar mengerikan ketika kemarahan masih menyelimutinya. "Apakah Mas Daniel-" Nafisah langsung terdiam, sadar kalau memanggil nama suaminya adalah kesalahan besar. "Maksudku, Apakah Mas mengajakku?" "Semua terserah padamu!" Adelard sedikit mendekatkan wajahnya pada Nafisah. "Kalau kau tidak ikut, aku tidak masalah." "Tentu saja aku akan ikut! Biar bagaimanapun kita pasangan suami istri. Mana bisa terpisahkan lagi.." Adelard masih menatap Nafisah dengan tajam. Setelah itu ia menjauhkan Nafisah dengan sedikit dorongan kasar dan pergi menuju pintu. "Mas mau kemana?" Tapi Adelard hanya diam seribu bahasa bahkan enggan menoleh ke belakang. Setelah Adelard keluar dan memasuki mobilnya, Adelard terdiam. Adelard masih belum bisa bersama istrinya setelah apa yang terjadi. "Kenapa kesalahan itu tidak bisa di maafkan?" Dengan gerah Adelard membuka dua kancing atas bagian kemeja hitam yang di pakainya. Wajahnya masih menyorotkan kemarahan. Ting! Tiba-tiba notifikasi ponsel Adelard berbunyi. Adelard yang tadinya ingin membuka notip tersebut akhirnya tidak jadi begitu melihat layar wallpapernya. Ada foto Rafa disana yang kini memenuhi layar ponselnya. Adelard masih terdiam hingga akhirnya kemarahan itu sirna. "Putraku.." **** Zulfa masih terdiam mengingat kejadian semalam. Rasa bersalah pada Nafisah dan Rafa berhasil tidak bisa membuatnya tertidur nyenyak. Zulfa berjalan mondar-mandir sambil memainkan kedua jarinya. Mencoba berpikir jernih bagaimana cara berbicara yang tepat dan meminta maaf pada bestienya itu. "Ngapain mondar-mandir? Udah kayak setrikaan aja!" Zulfa langsung menghentikan langkahnya. Dengan cepat ia mendekati Nafisah dan tersenyum lebar. Zulfa terlihat menyengirkan bibirnya sambil menggaet lengan Nafisah. "Naf.." "Hm.." "Sorry..." "Maaf buat apa?" "Yang tadi malam. Aku-" "Mending kamu belanja bulanan deh! Daripada ndusel-ndusel kayak kucing. Geli gue!" "Jadi aku di maafkan?" Wajah Zulfa langsung berbinar! Nafisah melirik ke samping menatap Zulfa dengan pandangan datar. "Memangnya kamu sudah sadar kesalahan apa yang kamu perbuat?" "Em itu..." Akhirnya Zulfa menjauh dari Nafisah. Wajahnya terlihat sedih. "Iya aku ngaku aku salah. Tidak seharusnya aku berkata seperti itu. Aku janji tidak akan begitu lagi." "Aku maafkan. Tapi jangan di ulangin lagi, oke? Biar bagaimana pun Rafa-" "Boleh aku ajak Rafa belanja bulanan?" potong Zulfa cepat dengan yakin. Nafisah menghela napasnya. Zulfa selalu seperti itu, memotong ucapannya. "Memangnya kamu yakin bisa?" "Ya yakinlah! Cuma anak kecil sih, urusan gampang." "Aku kok ragu ya? Secara, kamu kan nggak suka anak kecil. Ya kali bisa jagain dengan bener. Salah-salah Rafa malah hilang!" "Janji deh! Insya Allah nggak bakal. Pleaseeee..." Zulfa terlihat memohon pada Nafisah. "Anggap aja ini sebagai bentuk permintaan maaf dariku buat Rafa. Sudah lama banget kan, dia nggak keluar rumah?" Nafisah menimbang-nimbang sejenak. Serius Zulfa mau bawa Rafa jalan ke minimarket? Ganti popok saja dia nggak bisa, apalagi ngejagain? "Nanti deh aku pikirin lagi." Nafisah pergi meninggalkan Zulfa yang terlihat kecewa. Nafisah hanya tidak ingin Rafa ataupun Zulfa kenapa-kenapa di luar sana jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Nafisah mendekati putranya. Terlihat sekali balita menggemaskan itu berdiri di dekat jendela sambil menujuk sesuatu di luar sana. "Sayang? Apa yang kamu lakukan disini, hm?" Rafa terus menunjuk-nujuk ke arah luar. Seperti menyadari maksud Rafa, Nafisah tersenyum penuh arti. "Jadi jagoan Mama ini mau pergi jalan-jalan?" "Yaudah ayo! Pergi sama Aunty. Kita akan borong banyak di minimarket!" Tiba-tiba Zulfa berdiri di belakangnya. Tak hanya itu, bahkan pakaian sahabatnya sudah terganti dengan outfit simpel gamis coklat dan hijab hitam. Zulfa juga memakai cardigan rajut berwarna putih tulang sebagai luaran yang selalu ia suka. "Jadi gimana, boleh kan?" Nafisah ingin menjawab, tapi bel pintu berbunyi. Ternyata ada tamu datang, orang tersebut adalah pemilik villa yang akan menagih uang sewa tahunan pada Nafisah dan Zulfa. Nafisah pun teralihkan hingga tanpa sadar membuat Zulfa memiliki kesempatan besar. Zulfa menggendong Rafa menuju luar Villa. "Hari ini Aunty lagi baik. Kamu jangan nakal atau rewel ya! Oke?" Rafa tertawa dengan menggemaskan. Sesaat, Zulfa terdiam. Hanya menatap Rafa yang tersenyum lebar seperti itu, mengingatkannya pada masalalu. "Sebenarnya kamu ini ganteng. Tapi sayang, wajahmu mirip banget sama Ayahmu. Bener-bener plek ketiplek sama dia!" Tiba-tiba wajah Rafa langsung sendu. Buru-buru Zulfa pun langsung menghiburnya. "Iya iya, maaf deh. Baperan banget sih jadi bayik!" Zulfa menghela napasnya. Ia pun segera membuka pintu belakang mobil untuk mendudukkan Rafa pada Baby Car Seat agar posisinya aman selama di perjalanan. Setelah itu, Zulfa mengemudikan mobilnya menuju minimarket. Sesampainya disana, Zulfa segera keluar dari mobilnya sambil menggendong Rafa menuju deretan troli besar. Zulfa pun meraih troli itu. "Kenapa troli dorong ini susah sekali di tarik?" Zulfa melihat ke sekitar, tidak ada petugas atau karyawan minimarket yang sedang berlalu lalang hanya untuk di mintai tolong. "Rafa, tunggu sebentar ya. Aunty tarik dulu troli ini..." Maka Zulfa pun menurunkan Rafa sejenak. Dengan sekuat tenaga Zulfa menarik troli itu. "Oke, berhasil! Ayo Rafa kita-" Zulfa langsung terdiam. Rafa tidak ada di sebelahnya. Zulfa langsung panik dan menoleh ke sana kemari. Kok bisa secepat itu Rafa hilang? "Rafa! Kamu dimana?!" ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD