Soleh merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ada sebentuk senyum di bibirnya saat teringat ucapan Cantika tentang selisih usia mereka yang membuat mereka tidak mungkin menikah.
Ada rasa pedih di hatinya saat pertama mendengarnya, tapi sekarang ia bisa tersenyum. Entah kenapa justru cara Cantika yang sangat polos saat mengatakannya yang terasa lucu baginya.
'Cantika cantikku tersayang, aku juga tidak berharap bisa menikah denganmu. Bagiku cukuplah bisa melihatmu bahagia, dengan siapapun pria pilihanmu. Hhhh tinggal satu minggu lagi, semoga Allah membuka hati Cantika, agar ia bisa melihat siapa kandidat yang terbaik untuk jadi teman hidupnya.
Ya Allah
Aku hanya ingin Cantikaku bahagia. Itu saja, aamiin'
Mata Soleh menatap langit-langit kamar. Masa lalu saat Cantika kecil seperti film usang yang diputar kembali.
Bagaimana ia berusaha membuat Soleh dan Wirda menjadi dekat.
"Paman Soleh ay lap yu kak Wilda, kak Wilda ay lap yu Paman Soleh"
Soleh tersenyum mengingat ucapan Cantika kecil tentang 'ay lap yu'. Ay lap yu yang membuat Salim babak belur karena berkelahi dengan Bayu dan Wahyu.
"Cantika cantik...Paman Soleh ay lap yu sama Cantika, hhhhhh biarlah ay lap yu Paman Soleh hanya Paman dan Allah yang tahu" gumam Soleh, jemarinya menghapus dua titik air yang hampir jatuh di sudut matanya.
--
"Cantika!"
"Ya Amma"
"Sudah mandi sayang?"
"Sudah Amma"
"Sudah sholat ashar?"
"Sudah Amma"
"Antarkan pais buta ini ke rumah Paman Soleh ya"
"Kenapa tidak Paman Solehnya saja yang disuruh ke sini Amma?"
"Abba bilang, Paman Soleh hari ini kurang enak badan, dia pasti lagi istirahat sekarang"
"Ooh"
"Kamu jalan atau naik motor?"
"Jalan saja Amma"
"Bawa payung, langit sudah gelap karena mendung, ayo cepat nanti keburu hujan!"
"Iya Amma"
Cantika membawa plastik berisi rantang kecil dengan isi pais buta yang baru diangkat Tari dari kukusan.
Tepat saat ia tiba di rumah Soleh, hujan mulai turun.
"Assalamuallaikum"
Tidak ada sahutan, Cantika memutar handel pintu, tidak terkunci.
Samar ia mendengar suara Soleh tengah berbicara dengan seseorang.
"Ooh, kapan mau ke Banjar?"
"..."
"Kak Tari pasti senang kalau kamu mampir ke rumah mereka Niken"
Klontang..
Rantang yang terbuat dari stainless di tangan Cantika terlepas, saat mendengar Soleh menyebut nama Niken.
"Cantika!"
Soleh mengejar Cantika yang ingin lari ke luar rumah. Soleh menangkap tangan Cantika.
"Cantika!"
"Paman Soleh nggak boleh nikah sama Tante Niken! Paman Soleh jahat, telpon-telponan sama Tante Niken! Cantika benci sama Paman! Lepasin, Cantika mau pulang, Cantika tidak mau ketemu Paman lagi!"
Cantika berusaha menarik lengannya dari genggaman Soleh. Tapi Soleh menariknya, dan membawa Cantika ke dalam pelukannya. Dan ini untuk pertama kalinya ia melakukan hal seperti ini pada seorang wanita.
Satu tangan Soleh memeluk punggung Cantika, yang satu lagi mendekap kepala Cantika di dadanya.
"Kamu salah paham sayang, cuma Cantika yang Paman sayangi, cuma Cantika yang Paman cintai, jangan benci Paman ya sayang. Paman tidak akan bisa hidup dengan menanggung kebencian dari Cantika" Soleh mengecup puncak kepala Cantika. Ia tidak menyadari kalau ia baru saja mengungkapkan rasa cintanya pada Cantika.
"Paman jangan nikah sama Tante Niken! Paman jangan tinggalkan Cantika, Cantika sayang sama Paman hikss..hikss"
"Paman juga sayang sama Cantika" sekali lagi Soleh mengecup puncak kepala Cantika.
Cantika mendorong tubuh Soleh agar menjauhinya.
"Bukan mahrom nggak boleh pelukan Paman"
"Ooh maaf" Soleh menjaga jarak dari Cantika. Lalu ia memungut rantang yang jatuh.
"Aduuh panas, apa ini sayang?"
"Pais buta, kata Abba Paman sakit, tapi ternyata telpon-telponan sama Tante Niken!" Kembali wajah Cantika cemberut.
"Paman cuma kurang enak badan, ehmm Cantika mau minum apa sayang? Hujan begini enak makan pais buta panas dengan teh hangat"
"s**u coklat ada tidak Paman?" Cantika duduk di sofa ruang tamu Soleh.
"Ada, tunggu Paman buatkan ya"
"Ikut!" Cantika berdiri dari duduknya.
"Ikut? Paman cuma ke dapur, bukan ke mall sayang"
"Nanti di dapur Paman telpon-telponan lagi sama Tante Niken, Cantika ikut ke dapur!"
Soleh dan Cantika masuk ke dapur.
"Kenapa Cantika tidak suka Paman sama Tante Niken?"
"Enghh jangan sebut namanya!"
"Kenapa?"
"Paman nggak boleh nikah sama Tante Niken"
"Terus Paman harus nikah sama siapa?"
"Sama ... sama ...."
"Sama siapa?"
Soleh berdiri berhadapan dengan Cantika. Wajah Soleh menunduk, sedang wajah Cantika mendongak menatap wajah Soleh. Matanya mengerjap, ditelitinya wajah Soleh dengan seksama.
Tangan Cantika terangkat, disentuh wajah Soleh dengan jemarinya.
"Paman ganteng, belum kelihatan tua" gumamnya, membuat hati Soleh berdesir, dan jantungnya berpacu dengan sangat cepat.
Soleh meraih jemari Cantika lalu membawa jemari itu ke bibirnya.
"Cantika cantik, sekarang sudah dewasa, bukan anak-anak yang suka ikut naik motor lagi"
"Paman, Cantika kan sudah bisa bawa motor sendiri" Cantika menarik jemarinya dari genggaman Soleh.
"Bukan mahrom Paman, nanti kalau sudah jadi mahrom, baru Paman boleh peluk dan cium Cantika"
Deg!!!
Jantung Soleh mendadak berhenti berdetak.
Matanya tanpa kedip menatap Cantika yang sedang membuat s**u coklat hangat.
"Bagaimana kita bisa jadi mahrom, Cantika kan tidak mau nikah sama Paman Soleh?"
"Iya ya hihihi ... ya sudah nanti Cantika peluk ciumnya sama suami Cantika saja, tapi siapa ya Paman?"
Rasanya hati Soleh yang sudah mengembang seperti adonan roti langsung kempes tiba-tiba mendengar pertanyaan polos dari Cantika.
"Pilih seseorang yang membuat hati Cantika merasa aman dan nyaman bersamanya, saat berada di dekatnya"
"Paman, Cantika mana pernah dekat-dekat dengan mereka. Yang paling dekat dengan Cantika ya Paman Soleh. Ummm ... sebentar, Cantika sholat istikharah kan"
"Hmm ...."
"Terus sejak itu ...ehhmmm"
"Sejak itu apa?"
"Sejak itu cuma wajah Paman yang terbayang-bayang"
"Terus ...."
"Cuma nama Paman yang ada dalam ingatan"
"Lalu?"
"Cuma suara Paman yang terngiang-ngiang"
"Terus" Soleh menunggu dengan tegang apa yang akan diucapkan Cantika selanjutnya. Apakah Cantika akan memahami arti dari semua itu.
"Lalu apa sayang?"
"Lalu, hihihihihi ... kata-kataku sudah seperti puisi saja ya Paman, Paman tahu tidak, Cantika pernah diberi puisi sama cowok, uuh cowoknya ganteng Paman, namanya ... bla ... bla ... bla ...."
Soleh menarik napas panjang, lalu ia hembuskan dengan perlahan.
Apa yang membuatnya penasaran, tidak akan terjawabkan sekarang.
'Apa aku mulai berharap untuk menjadi suaminya? Apakah itu salah? Apakah ... Astaghfirullah hal adzim. Jaga hatimu Soleh ... jaga!'

***BERSAMBUNG***