Cantika memukul-mukulkan pulpen di tangan ke atas buku di hadapannya. Di atas buku tertulis nama-nama kandidat yang sudah melamarnya.
"Pilih yang mana ya? Hmm masa Paman Soleh? Paman Soleh'kan tidak ada di daftar, lagi pula Paman Soleh sudah tua, tapi Paman Soleh ganteng, baik, sayang sama aku. Hhhhh ... Abba kenapa sih harus meminta aku pilih sendiri, kenapa tidak Abba saja yang memilihkan," gumamnya sendirian.
"Kata Paman Soleh, dia akan pergi, dan menikah kalau aku menikah. Kata Amma, kalau aku tidak ingin Paman Soleh pergi aku harus memilih pria yang tepat untuk jadi suamiku. Pria tepat itu yang mana?"
Cantika membaca satu persatu nama yang tertulis di bukunya.
Lalu ia menuliskan nama Soleh di sudut atas buku tulisnya. Tanpa sadar, ia membuat lingkaran berbentuk hati untuk melingkari nama Soleh.
"Kata Amma, boleh memilih pria manapun, tanpa harus terpaku pada peramal, eeh ... pelamar, jadi aku boleh pilih Paman Soleh, umm ... masa Paman Soleh siihh ...."
Cantika mencoret-coret bukunya dengan nama Soleh.
"Hasil istikharah, wajah Paman Soleh terus yang terbayang. Apa Allah ingin menunjukan kalau Paman Soleh yang harus aku pilih?"
Cantika mengetuk-ngetuk ujung pulpen ke atas meja.
"Jadi kesimpulannya.... "
Cantika mengambil tas sandang kecilnya, lalu segera ke luar dari ruangan kantornya.
Suasana kantor sudah sepi. Para karyawannya sudah pulang sejak pukul 16.00 tadi. Sekarang sudah pukul 17.00. Satu jam ia habiskan untuk memikirkan suami pilihannya.
Cantika menjalankan mobilnya dengan santai saja.
Tiba di lampu merah simpang empat Loktabat, ia menghentikan mobilnya, karena lampu merah yang menyala.
Tanpa sengaja ia menatap sebuah mobil yang terhalang sebuah mobil darinya.
Cantika mengenali mobil itu adalah mobil Soleh. Dan dari kaca mobilnya yang terbuka, ia bisa melihat Niken duduk di sebelah Soleh.
Mata Cantika yang membesar tiba-tiba jadi berkaca-kaca. Terasa ada yang tengah menusuk-nusuk perasaannya.
Suara klakson di belakangnya membuat Cantika tergeragap, cepat ia menjalankan mobil. Ia memilih melewati jalan berbeda dengan yang dilewati Soleh.
Dibelokkan mobil menuju jalan tol (jangan membayangkan jalan tol di Banjarbaru seperti jalan tol di Jawa ya, beda jauh).
Cantika menepikan mobilnya. Ia menelungkup kan wajah di atas setir mobilnya. Ia menangis sejadinya. Rasa sakit yang luar biasa tengah menghantam perasaannya. Rasa sakit yang tidak ia mengerti apa maknanya.
Cantika menyandarkan punggung, di hapus air matanya. Tapi setiap dihapus, air matanya kembali jatuh lagi. Ia kembali menelungkup kan wajahnya.
'Ya Allah
Tolong katakan padaku, perasaan apa ini. Kenapa sakitnya luar biasa.
Ya Allah
Aku tidak tahu ada apa dengan hatiku?
Kenapa terasa begitu sakit saat melihat Paman Soleh dengan Tante Niken.
Ya Allah
Jangan biarkan Paman Soleh jauh dariku.
Aku rela menikah dengan Paman Soleh meskipun dia tua. Asal aku bisa tetap bersamanya.
Ya Allah
Jaga Paman Solehku, jangan sampai dia pegang-pegangan sama Tante Niken.
Aamiin'
Cantika membersihkan wajahnya dengan tissue, lalu ditariknya napas panjang, lalu dihembuskan dengan perlahan.
"Paman Soleh! Pamanlah suami pilihan Cantika. Meskipun Paman tua tidak apalah, asal Paman tetap bersamaku. Kata Abba, suami itu pasangan hidup, teman hidup dalam suka dan duka. Dalam tangis dan tawa. Kata Amma, carilah pasangan yang membuatmu merasa aman dan nyaman saat berada di sisinya. Selama ini hanya Paman Soleh yang paling tahu aku, tahu semua kekuranganku yang orang lain tidak tahu. Hanya Paman Soleh yang membuatku merasa aman dan nyaman. Hanya Paman Soleh yang dipercaya Abba dan Amma untuk membantu mereka menjagaku, hmmm kalau perasaan cinta ... aku tidak tahu rasa cinta itu yang seperti apa"
Cantika kembali menarik napas lalu menghembuskannya. Ditengoknya jam di pergelangan tangannya.
17. 35
"Uuuhh ... aku sudah 30 menit di sini, aku harus segera pulang."
Cepat Cantika menyalakan mobilnya, dan segera menuju untuk pulang.
---
Cantika sengaja tidak mau dekat dengan Soleh. Masih ada perasaan marah di dalam hatinya. Tapi ia sudah memutuskan untuk memberitahu pilihannya malam ini juga, pada kedua orang tuanya.
Ia tidak ingin terlambat mengatakannya, yang mungkin saja ia akan kehilangan Soleh untuk selamanya.
"Abba, Amma, Paman Soleh. Ada yang ingin Cantika katakan pada semuanya," ujarnya saat mereka sudah duduk di ruang tengah usai pulang dari musholla.
"Ada apa sayang?" Tanya Tari.
"Cantika sudah memutuskan Amma."
"Memutuskan apa?"
"Memutuskan, pria mana yang akan Cantika pilih untuk jadi suami Cantika"
Deg!!!
Jantung Soleh serasa berhenti berdetak.
Nadinya serasa berhenti berdenyut.
Bumi baginya seperti berhenti berputar.
Rasanya ia ingin terperosok ke dasar bumi saja.
Atau menghilang dari hadapan mereka semua.
Kepala Soleh menunduk.
'Semuanya akan segera berakhir, kasih sayang dan kemanjaan Cantika akan segera terenggut dari hidupku. Tapi rasa cinta dan kasih sayangku akan tetap mengiringi langkahnya. Biarlah cintaku dalam diam, hanya akan kuhembuskan dalam setiap doaku. Hanya akan tersimpan rapi di dasar hatiku. Hanya aku dan Allah yang tahu. Cantikaku yang cantik, ay lap yu.
Semoga Allah memberikan suami yang baik untukmu, yang akan membuatmu bahagia baik di dunia sampai di akhirat kelak, aamiin'
"Apa hati Cantika sudah mantap dengan pilihan Cantika sayang?" Tanya Tari menyelidik.
"Iya Amma?"
"Apa menurutmu pilihanmu ini adalah jawaban dari hasil sholat istikharahmu?" Tanya Raka.
"Ya Abba"
Serrrr....
Hati Soleh berdesir mendengarnya. Perlahan kepalanya terangkat, dengan ragu ditatapnya wajah Cantika. Tepat saat Cantika tengah menatapnya. Cantika membuang pandangannya. Desiran bahagia di dalam hati Soleh sirna seketika, begitu melihat Cantika membuang pandang dari tatapannya.
'Soleh! Sadar, jaga hatimu, jaga keikhlasanmu'
Soleh kembali menundukan kepalanya. Jantungnya berdegup tanpa irama. Kecemasan, kegelisahan, entah perasaan apa lagi yang ada di dalam hatinya saat ini.
"Jadi Cantika sudah benar-benar mantap dengan pilihan Cantika?" Tanya Raka.
"Iya Abba"
"Pria yang akan menjadi suamimu, adalah pria yang akan jadi temanmu di sepanjang sisa hidupmu sayang. Kamu punya kesempatan untuk memilih. Pilihlah yang benar-benar kamu yakini. Pilihan yang datang dari lubuk hatimu"
"Cantika tahu Abba"
Tari mulai harap-harap cemas, ada rasa sesal karena ia tidak membujuk Cantika untuk menikah dengan Soleh saja. Bagi Tari, Soleh adalah pilihan paling tepat untuk menjadi suami Cantika. Tari merasa seperti melihat Opa Safiq nya dalam diri Soleh. Lembut, sabar, dan penuh pengertian. Tidak gegabah dalam bertindak dan mengambil keputusan. Tidak mudah terbakar emosi dan kemarahan.
Tapi Cantika sudah mengambil keputusan. Siapapun yang Cantika pilih, Tari sangat berharap itulah yang terbaik.
"Katakan, siapa pilihanmu sayang?" Kata Raka. Cantika melayangkan tatapannya pada Soleh, yang seperti tengah menghitung jari di kakinya.
Raka dan Tari mengikuti arah pandangan putrinya. Tari menahan napasnya, berharap apa yang tengah dipikirkannya menjadi kenyataan.
"Cantika," panggil Raka, karena Cantika belum bersuara juga.
"Ooh ... Suami pilihan Cantika adalah, Paman Soleh!"
Jawab Cantika mantap.
Hanya Tari yang tidak terkejut mendengar jawaban Cantika. Ia menarik napas lega. Sedang Raka mulutnya terbuka, bingung dengan jawaban putrinya.
Soleh sendiri belum mengangkat kepalanya. Ia pikir yang ia dengar hanya halusinasi saja.
'Soleh ... mimpimu terlalu tinggi, sampai seperti mendengar Cantika mengucapkan 'suami pilihan Cantika, adalah Paman Soleh' hhhh ... sadar Soleh!'
Batin Soleh mengingatkannya.
"Soleh!" Suara Tari yang memanggilnya membuat Soleh mengangkat kepalanya.
"Ya kak Tari, ooh ... siapa tadi yang dipilih Cantika. Maaf aku tidak mendengarnya" geragap Soleh.
"Iya nggak dengar, pikiran Paman pasti lagi ngelamunin Tante Nikenkan! Hayo ngaku, tadi sore pergi ke mana sama Tante Niken? Pegang-pegangan pasti ya! Paman nggak boleh lagi ketemu sama Tante Niken, kecuali Cantika ikut! Amma bilangin sama Uncle Guntur, Tante Niken jangan ganggu Paman Soleh lagi, Paman Soleh sudah jadi calon suami Cantika, Paman Soleh pergi diam-diam sama Tante Niken, Cantika marah sama Paman!"
Cantika berlari menaiki tangga.
Raka menggaruk-garuk kepalanya.
"Aku bingung, Cantika itu kenapa Yank. Dia milih Soleh jadi suaminya, sedang Soleh saja tidak melamarnya. Terus tadi bi.... "
"Hiisssst diam, nanti aku jelaskan" ujar Tari. Soleh yang mendengar gumaman Raka jadi melongo.
'Jadi yang kudengar tadi bukan halusinasi? Aku harus bagaimana?'
***BERSAMBUNG***