[7]

1553 Words
Di sinilah ia sekarang. Di ruangan yang didominasi warna putih, bau obat-obatan yang meski disamarkan lewat pengharum ruangan tapi tetap saja tercium memuakkan. Beberapa alat medis tergeletak di salah satu rak susun di salah satu tepian ranjang. Belum lagi monitor yang baru saja digunakan untuk melakukan pengecekan. Terhadap siapa? Siapa lagi jika bukan Miya Ashton. "Kondisimu baik-baik saja," dokter wanita paruh baya itu berbicara lembut sambil menatap Miya dengan senyum menenangkan. "Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa rahimmu dalam keadaan sehat, tidak ada kelainan atau masalah yang perlu dikhawatirkan." Miya mengangguk pelan, meskipun kegelisahan menggelayut di pikirannya. Ia menatap monitor yang masih menampilkan hasil pemeriksaan tadi, seolah mencari penegasan lain dari apa yang baru saja didengar. “Aku sehat,” katanya dalam hati. "Artinya…?" Miya akhirnya bersuara, suaranya sedikit bergetar. "Artinya, tidak ada halangan bagimu jika ingin memiliki anak. Tubuhmu berada dalam kondisi yang ideal untuk hamil," jawab dokter itu dengan nada meyakinkan. "Kau dan …” Sarah Paulina, nama dokter kandungan itu sedikit melirik pada sosok pria bersetelan hitam yang duduk tak jauh dari tempat mereka bicara. “Tuan Sawyer tidak perlu khawatir. Proses ini seharusnya bisa berjalan dengan lancar, tentunya dengan perhatian dan perawatan yang baik. Aku akan merekomendasikan beberapa vitamin untuk menambah kesuburan untukmu." Miya menarik napas dalam-dalam, mencoba mencerna informasi itu. "Terima kasih atas penjelasannya, Dokter," katanya berusaha untuk tenang. “Kita akan sering bertemu, Miya. Aku harap kau nyaman dengan kedatanganku nantinya.” Setidaknya, ia diawasi oleh seorang dokter yang ramah dan hangat. Tak bertemu dengan dokter yang irit bicara, cukup menjelaskan keadaannya tanpa terlibat obrolan basa basi, dan terlihat kaku saat memberi informasi padannya. “Aku senang jika dokter yang merawatku nanti adalah dirimu, Sarah.” Sarah tersenyum lebar, tangannya merapikan berkas yang diinginkan pria berkemeja hitam itu. “Tuan Alex, ini hasil pemeriksaan yang diinginkan Tuan Sawyer. Aku juga akan segera menghubunginya, menjelaskan secara langsung hasil pemeriksaan siang ini.” “Baik, Dokter.” Pria bernama Alex segera menerima berkas yang harus ia laporkan pada tuannya. Jangan sampai ada sesuatu yang tertinggal jika berkaitan dengan sang tuan. Termasuk memastikan pengamanan ketat selama sosok gadis berambut pirang ini keluar area mansion. Perintahnya seperti itu, Aelx tak berani bertanya meski sebenarnya ia cukup penasaran. Siapa gadis ini? Tak biasanya seorang Damian Sawyer menawan seorang gadis di salah satu kediamannya. Namun Alex tak punya nyali untuk bertanya, terutama yang berkaitan dengan urusan pribadi tuannya. “Kalau begitu, urusan di rumah sakit ini sudah selesai?” tanya Alex sembari berdiri yang dijawab oleh anggukan dari Sarah. Miya hanya bisa tersenyum pasrah, tak mungkin juga ia berlama-lama di ruangan ini, kan? “Baiklah,” Ia pun segera menyambar coat panjang yang tersampir di punggung kursi. “Aku permisi.” “Kuharap kita segera kembali bertemu.” Senyum Miya masih terulas di bibir. Jika mereka kembali bertemu, itu artinya … Miya bisa saja dalam keadaan hamil. Ah, bicara mengenai hamil membuat bulu kuduknya merinding. Miya tak tahu harus merasa bersyukur atau ini sebuah kemalangan tersendiri untuknya. Semalam. Saat Victor meninggalkan Miya sembari meminta pelayan serta orang-orang yang bekerja di rumah ini untuk melayani gadis berambut pirang itu dengan baik, telepon pria itu berbunyi. Miya sebenarnya tak peduli sampai teriakan Victor membuatnya, tidak, hampir semua orang yang tak jauh dari ruang itu menoleh. “Bagaimana itu bisa terjadi, Marcus? Damian sudah tahu mengenai hal ini.” “…” “Aku akan segera ke sana.” Victor segera memutuskan sambungan telepon itu lantas berkata dengan lantang. “Josh, siapkan motorku. Dua katana yang ada di ruang latihanku bawakan juga. Dan beberapa orang yang standby di sini, ikut denganku. Hubungi Ricardo, minta pria itu menuju Catterpilar Klub. Damian menunggu di sana dan usahakan tiba dalam waktu lima menit.” Josh, yang segera menghampiri Victor menatap pria berambut cokelat itu dengan herannya. “Apa yang terjadi, Tuan Victor?” “Kenzo tewas di perbatasan.” Josh melotot tak percaya. “Kenzo … kaki tangan Tuan Marcus? Dia … tewas?” “Kondisi terakhir dia masih bernapas tapi lukanya … parah. Berdoa saja dia selamat, jika tidak, Marcus bisa mengamuk dan membuat kita dalam masalah besar.” Victor menggulung lengan kemejanya. “Cepat bersiap. Jangan sampai ada yang tertinggal.” Ia pun segera melangkah cepat keluar dari mansion namun, seperti seseorang yang baru saja tersadar akan hal penting, ia pun berbalik. Melangkah tergesa menuju tempat di mana Miya duduk. Miya, yang sangat terkejut dengan pergerakan Victor, serta pembicaran yang membuat ia takut, sedikit beringsut ke sudut sofa. “Ada apa, Tuan Victor.” “Jangan pernah meninggalkan mansion ini apa pun yang terjadi. Desi dan Alex sudah kuminta untuk selalu ada di dekatmu. Damian tak suka jika peliharaannya tak menurut.” Miya menggeram kesal. “Aku tahu.” “Kau beruntung, Miya. Mungkin untuk beberapa hari ke depan, Damian tak akan menemui. Tapi saat dia memiliki waktu senggang, persiapkan dirimu.” Victor bicara dengan mata yang menatap tajam manik Miya yang ketakutan. “Paham?” Miya hanya menjawab dengan anggukan. Victor kembali melesat pergi, kali ini langkah yang terburu-buru itu diiring beberapa orang berseragam hitam, tubuh mereka tinggi tegap dan menyeramkan, serta orang yang bernama Josh membawakan dua katana bersarung putih yang diminta Victor. “Apa yang akan mereka lakukan?” tanya Miya penuh kebingungan. “Mereka ada urusan yang cukup berbahaya,” kata Desi sembari meletakkan secangkir teh chamomile untuk Miya. Beberapa camilan juga Desi siapkan sebagai peneman camilan malam ini. “Saya tidak terlalu memahami kesukaan Nona Miya. Tapi saya berusaha untuk membuat Anda nyaman.” Senyum Miya mau tak mau terulas tipis. “Ini sudah lebih dari cukup.” “Aku juga sudah meminta koki untuk membuatkan Anda makan malam. Anda keberatan?” Miya menggeleng segera. “Kau sangat perhatian.” “Sudah menjadi tugas saya untuk melayani Anda, Nona Miya.” “Kau bilang, mereka ada urusan berbahaya. Apa … menyangkut nyawa seseorang?” tanya Miya dengan penuh hati-hati. Rasa penasaran yang ia miliki cukup besar. Pembicaraan Victor entah dengan siapa, membuat ia tak nyaman. Apalagi benda yang dibawakan pria bernama Josh. Miya tak buta apa benda itu dan kegunaannya. Jika ada di tangan seorang ahli pedang, dua benda itu sangat berbahaya. “Akan lebih baik Anda mengabaikan apa yang baru saja didengar. Saya hanya bisa mengatakan seperti apa yang sebelumnya saya katakan.” Miya berdecak sebal jadinya. Ia pun mengambil cangkir tehnya dan mulai menikmati, meski matanya melirik tak suka pada sosok gadis yang berdiri tak jauh darinya. Tampangnya datar, minim ekspresi, sepertinya agak kaku dalam bersikap. Meski mengenakan seragam khas pelayan tapi pergerakan Desi terbiasa bekerja cekatan. Sebenarnya teh yang tengah Miya nikmati rasanya cukup enak, membuat sebagian dari kegelisahan yang ia rasa, perlahan menyingkir. Camilan yang disediakan juga rasanya pas menyapa lidahnnya. Miya yakin, makan malam yang tengah disiapkan rasanya bisa bersanding dengan restoran bintang lima. Dan sepertinya juga, Miya harus mulai terbiasa. Dia sudah ada di sini, tak ada jalan keluar kecuali melakukan apa yang tertera di kontrak. “Anda dijadwalkan bertemu dengan dokter kandungan esok hari, Nona Miya.” Ucapan itu membuat Miya menoleh dan menatap Desi dengan banyak kerutan di keningnya. “Apa yang kau katakan?” “Tuan Damian menginginkan pemeriksaan terakhir Anda termasuk masalah kandungan.” Wajah Miya berubah merah, panas, dan rasa malu mendadak menguasainya. Apa yang diinginkan Damian adalah kewajaran mengingat kontrak seperti apa yang mereka sepakati tapi … “Kenapa dia tak memberitahuku terlebih dahulu?” “Jika Anda lupa, Anda dilarang menggunakan ponsel di sini.” Mata Miya mengerjap heboh. “Kau gila?” Ia pun bangkit dan meminta ponsel yang ada di tangan Desi. Satu hal yang tak bisa Miya abaikan; ponsel. Meski memahami point yang ada di kontrak, Miya juga tak ingin menghubungi siapa pun. Terutama Tessa. Tak mungkin ia katakan kejujuran atas apa yang dipilih sebagai jalan keluar tercepat atas masalahnya. Setidaknya, ia tak buta dengan dunia luar terutama pemberitaan mengenainya. Dan ia juga baru menyadari, jika tas yang selalu ada di dekatnya, tak ada. Ingatan mengenai ta situ … tertinggal di ruang kerja Victor. “Sialan!” decihnya tanpa sadar. “Berikan milikmu. Aku harus bicara dengan tuanmu yang gila itu!” “Anda tak bisa menghubungi di saat Tuan Damian ada urusan.” “Aku tak akan lama.” Miya bersikukuh. “Cepat berikan.” “Tidak, Nona Miya.” Desi mengantungi ponselnya dengan segera. “Silakan Anda kembali menikmati teh dan camilannya. Saya permisi sebentar mengecek persiapan makan malam Anda.” Miya terperangah. “Atau … biarkan aku menghubungi Tuan Victor. Aku butuh bicara dengannya.” Desi hanya menoleh dan menggeleng sembari tersenyum tipis. “Ada pesan yang ingin Anda sampaikan ke Tuan Victor?” Sialan-sialan! Miya kesal sekali malam ini! Kembali pada keadaan di mana Miya mengekori langkah Alex yang berjalan dengan sikap waspada. Miya merasa heran, ingin bertanya, tapi rasa enggan yang ia miliki terlalu tinggi. Miya masih memikirkan mengenai point ‘komunikasi’ yang dibatasi oleh Damian. Jadi … selama masa kontrak, Miya berada di peradaban yang berbeda dari manusia lainnya? Yang benar saja. “Silakan, Nona,” Alex membukakan pintu untuk Miya di kursi penumpang belakang. Miya hanya mengangguk patuh dan duduk menyamankan diri namun sebelum Alex kembali ke kursi pengemudi, Miya pun berkata. “Aku ingin ke Hillarious University. Ada barangku yang tertinggal di sana.” “Tidak bisa, Nona. Kita harus segera tiba di mansion. Tuan Damian sudah menunggu Anda.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD