[8]

1399 Words
“Sial, Victor berbohong padaku!” kata Miya dalam hati. Tangannya saling meremas gelisah. Apa keberuntungannya sudah habis? Oh, tidak. Tuhan hanya mengulur waktu pertemuan mereka. pada dasarnya, Miya memang akan berinteraksi dengan pria itu. Pria yang tampangnya menyeramkan untuk Miya. “Apa yang harus aku lakukan nanti?” Miya menggigiti ujung jemarinya. Tak bisa mengenyahkan rasa gelisah dan takut yang menyelimutinya. “Ugh! Apa aku pura-pura pingsan saja?” Miya memejam kuat, konyol sekali pemikiran itu datang padanya. “Sudahlah!” Miya menepuk cukup keras pipinnya. Membuat konsentrasi Alex yang tengah menyetir, segera terarah pada gadis yang ada di kursi belakang ini. “Ada apa, Nona?” tanyanya agak panik. Meski sejak tadi ia bisa memerhatikan jika gadis berambut pirang itu tampak gelisah, tapi tak terduga sama sekali jika Miya menampar pipinya sendiri. “Tidak ada.” Miya menghela panjang. “Tak perlu mengkhawatirkanku.” Alex masih belum memercayai ucapan Miya, apalagi wajah gadis itu tampak memerah. Jika saat mereka tiba, Damian melihat wajah gadis itu memerah … Alex tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. “Tapi wajah Anda tampak memerah. Saya harus mencari sesuatu untuk meredakannya, Nona.” “Tidak perlu. Anggap saja tanda pemikiranku kembali normal.” Meski tak terlalu memahami ucapan gadis itu, Alex berusaha untuk tenang. melajukan kendaraan yang membawa mereka kembali dalam keadaan stabil. Tak butuh waktu lama, mobil mereka tiba di mansion mewah milik Damian. Alex bergegas membukakan pintu untuk Miya dan membiarkan gadis itu disambut pelayan pribadinya; Desi. “Selamat datang kembali,” sapa Desi dengan senyum singkat. “Anda sudah ditunggu Tuan Damian.” “Aku tahu,” sahut Miya pelan. “Tapi sebelum Anda menemuinya, izinkan saya untuk sedikit merapikan penampilan Anda.” Kening Miya berkerut. “Apa buruk sekali penampilanku? Kau yang memilihkan aku dress ini, kan?” Desi mengangguk masih dengan senyum kaku. “Wajah Anda terlihat agak pucat. Selebihnya, Anda sempurna. Seperti boneka yang begitu cantik.” Tangan Miya terkepal kuat. Ia sangat benci ada orang yang melabeli dirinnya boneka. Meski maksud ucapan Desi mungkin menyiratkan pujian akan kecantikan yang Miya miliki tapi kosa kata itu juga dipakai Victor dengan nada penuh ejekan. Mengukuhkan sikap yang Miya ambil sebagai boneka yang dimiliki Damian lantaran kontrak yang telah disepakati. “Aku bukan boneka, Desi,” kata Miya dengan sinisnya. “Dan antarkan saja aku ke ruang di mana tuanmu berada. Tak perlu mengoreksi penampilanku. Jika aku memang boneka di matamu, di mata orang lain juga sama. Aku yakin, tuanmu juga berpikir seperti itu mengenai diriku.” Desi menangkap gestur tak suka dan tak terima atas pujian yang baru ia katakan. Tak ada yang bisa ia lakukan selain mengangguk dan mempersilakan Miya untuk mengikutinya. Mereka tak saling bicara, hanya ada suara ujung sepatu yang beradu dengan lantai sampai langkah Desi terhenti di salah satu pintu yang berada di sayap kanan mansion ini. Mansion yang dibangun dengan area yang cukup luas dibagi ke dua bagian yang dipisah koridor berdinding kaca. Yang menampilkan pemandangan taman indah tertata rapi serta sebuah kolam renang outdoor yang begitu menggoda untuk segera bisa dicoba. Miya belum pernah ke area sayap kanan yang menurutnya jauh lebih luas dan terasa sekali privasinya. “Tuan Damian ada di dalam ruangan ini.” Desi mengetuk pintu berbahan kayu yang berukir indah itu. “Nona Miya sudah tiba, Tuan Damian.” “Masuklah.” Suara itu membuat Miya menyadari … ia tak bisa lari dari tempat ini. Suara yang terdengar berat dan penuh penekanan, serta terasa intimidasi di sana. Padahal Miya belum bertemu langsung tapi sekujur tubuhnya mendadak kaku dan tak bisa digerakkan. “Saya hanya bisa mengantar Anda sampai di sini.” Sial! Keberuntungannya sudah benar-benar habis. Pintu itu pun terbuka dan menampilkan ruangan yang cukup luas. Kebanyakan ruangan ini didominasi warna cokelat temaram, entah karena penerangannya atau memang dekorasi yang dipilih namun Miya menangkap kesan yang begitu mencekam. Lemari besar berjajar dengan banyak buku yang tersusun rapi. Satu set sofa berbahan kulit mewah ada di tengah ruangan sementara saat Miya menatap sudut ruangan, di salah lah sosok yang menunggunya duduk bersandar nyaman. Namun … Ada dua orang yang terlihat tengah memeriksa pria si pemilik ruangan. “Apa kau hanya bisa berdiri di ambang pintu, Miya Ashton?” Miya berjengit. Suara baritone itu benar-benar membuat bulu kuduknya berdiri. “Ti-tidak.” “Kemarilah.” Miya mengigit bibir bawahnya, berusaha agar langkahnya stabil, dan ia memiliki kekuatan lebih untuk melewati hari ini. “Sudah selesai, Tuan. Pastikan luka Anda untuk sementara waktu tak terkena air.” Salah satu dari pria yang ada di dekat Damian bicara. Salah satu lainnya, merapikan kotak yang tak jauh dari meja. “Saya meminta Dokter Cedric untuk datang segera, Tuan Damian. Jangan sampai Anda melewatkan pemeriksaan lanjutan. Kondi—“ “Keluarlah,” kata Damian sembari mengancing kemejanya kembali. “Tapi, Tuan Da—“ “Aku tak suka mengulang perintah, Berengsek!” Miya kembali berjengit. Langkahnnya terhenti lantaran makian itu terdengar seperti auman singa jantan yang menyeramkan. Tuhan! Jika Miya mati sekarang karena serangan jantung, setidaknya ia tak melihat berita yang menjatuhkannya hanya karena perundungan. Meski mati di ruangan ini juga terkesan tak elite sama sekali. “Baik, Tuan.” Dua orang itu kompak mempercepat urusannya, lantas langkahnya bergegas meninggalkan Damian dan tamu yang baru saja memasuki ruangan. Mereka sama sekali tak ingin memperpanjang urusan di ruangan ini, setidaknya tak semakin memancing amarah si pemilik ruangan. Sementara langkah Miya terhenti di ujung sofa yang cukup jauh dari keberadaan Damian. Ia bingung dan tak tahu harus menyapa seperti apa pria yang tampak serius dengan ponselnya. Kemeja yang tadi dikancing, tak sepenuhnya menutup tubuh atletis yang Damian miliki. Jika boleh Miya ungkap sebuah kejujuran, wajah Damian tak berubah. Sama sekali. Masih sama seperti saat ia tak sengaja bertemu di pertemuan bisnis itu. Iris sehitam jelaga yang dingin dan tajam menatap lawan, juga masih sama. Rambut sedikit ikal yang jatuh di dekat pelipis kanannya, menambah kesan tampan namun tak mudah untuk didekati. Selain memiliki tubuh atletis, sepertinya tinggi Damian jatuh di atas Miya. Mungkin pria itu jika berdiri di hadapan Miya, seperti raksasa yang siap menenggelamkan gadis itu tanpa sisa. “Mau sampai kapan di situ?” Damian meletakkan ponselnya. Melipat tangannya di d**a dan menatap Miya dengan pandangan lurus tanpa minat. “Duduk.” Miya menelan ludah gugup. “Baik.” Hanya itu yang bisa Miya katakan. Meski kakinya berat melangkah tapi Miya tak bisa mengelak dari perintah Damian, kan? Ia mendudukkan bokongnya di tempat yang Damian inginkan. Di sisi sofa panjang yang berada tepat di depan Damian. “Kau tak perlu aku jelaskan mengenai apa yang kuinginkan, kan?” Miya memejam kuat. “Iya.” “Apa kosa katamu sangat terbatas, Miya?” Damian bangun dari duduk ternyamannya. Agak meringis lantaran nyeri yang ia rasakan di sekitar pinggang. Sialan Barto! Meski pria sialan itu sudah menerima balasan tapi luka yang Damian rasa membuat gerak pria itu terbatas. Padahal keinginannya adalah membuat Miya tak berdaya di bawah kukungannya di hari pertama mereka bertemu. Sial! Pria itu pun mendekat pada gadis berambut pirang yang tampak terkejut. Matanya melotot tak percaya saat Damian semakin mencondongkan tubuhnya, mengikis jarak di antara mereka. “Tu-tunggu sebentar,” kata Miya penuh gugup sembari berusaha menahan agar Damian tak terus mendesaknya. Embus napas hangat bercampur aroma nikotin mengenai wajah Miya saking dekatnya jarak mereka. “Apa lagi?” Damian berdecak dan menatap manik mata Miya dengan sorot tak suka. Apa yang ingin ia lakukan terinterupsi. Damian paling tak suka gangguan, sekecil apa pun itu. “Apa … apa kita akan melakukannya sekarang?” Damian sedikit memiringkan wajahnya, dahinya berkerut, namun sejurus kemudian … dia tertawa. Dan karena itu juga, wajah gadis yang ada di dekatnya ini memerah. Entah malu atau tak suka ditertawakan, Damian tak peduli. “Apa kau segitu ingin segera mengandung anakku, Miya?” Damian menarik dagu Miya agar semakin dekat dengan jangkauannya. Mata Miya menatapnya penuh takut tapi Damian menyukainya. Mata yang bersinar sehangat mentari pagi, ia tatap tanpa berniat dialihkan ke mana pun. “Sayangnya untuk saat ini, aku tak bisa melakukannya.” Ujung hidung Miya ia kecup singkat, membuat gadis itu menutup matanya dengan cepat. Seringai licik tercipta di bibir Damian. “Aku terluka, Miya,” kata Damian tepat di atas bibir Miya. Lembut sekali bibir itu beradu dengan bibir Damian. “Saat aku sudah lebih baik, kupastikan kau menyesal menyapaku dengan pertanyaan tadi.” Dan bibir itu Damian lumat dengan lembut namun penuh tuntut.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD