[1]
Mobil city car berwarna merah memasuki area pekarangan yang dipenuhi banyak orang. Si pengemudi keheranan apa yang sebenarnya terjadi di rumahnya ini. “Ada apa ini?” tanya Miya dengan pandangan heran. Rumahnya mendadak dikunjungi pria berseragam dan masuk tanpa izin darinya. “Hei! Anda tak sopan sekali!” cegah Miya saat salah satu dari mereka mengambil beberapa foto di sisi bagian rumahnya.
“Ah, Nona Miya Ashton.”
Seseorang memanggilnya, membuat Miya menoleh dan mendapati seorang pria paruh baya berjalan tergesa menghampirinya. “Saya Robert Jr. Juru Sita Pengadilan NorthDerm.”
Kening Miya berkerut dengan keheranan yang begitu besar. “Juru sita? Apa maksudnya ini?”
Salah seorang pelayan di rumah Miya menghampirinya. Tampang wanita itu, Nyonya Bern, tampak gusar dan panik. “Rumah ini disita oleh pengadilan, Nona Miya. Tuan Michael bangkrut.”
Rahang Miya rasanya jatuh ke dasar bumi. “Apa?” Lantas matanya beralih pada sosok yang memperkenalkan dirinya sebagai Juru Sita. “Apa … Anda bisa jelaskan hal ini juga?”
Sosok Robert tersenyum tipis lantas mengeluarkan ponselnya. Ia memilih sejenak berita yang tayang hari ini dan dirasa menemukan yang pas, Robert pun memperlihatkan pada Miya. Berita mengenai kebangkrutan yang Ashton grup alami. Di berita itu, tampak sosok yang sangat Miya kenal; ayahnya. Mengatakan beberapa hal di depan wartawan dengan tampang lesu seolah tak memiliki lagi gairah hidup.
“Ayah,” gumam Miya dengan nada yang mulai gemetar. Tangan yang memegang ponsel milik org lain itu juga mulai bergetar. Matanya juga mulai berkaca-kaca.
“Karena berita ini serta beberapa dokumen yang diperlukan untuk melunasi hutang yang dimiliki Tuan Michael Ashton, kami ada di sini, Nona Miya.”
“Ta-tapi … ini terlalu mendadak. Aku belum bertemu ayahku, Tuan Robert.”
Senyum Robert tertarik sedikit. “Saya hanya menjalankan perintah dari pengadilan.”
“Bagaimana ini, Nona Miya?” tanya wanita paruh baya yang tak beranjak dari sisi Miya. Seharusnya hal ini tak perlu ditanya lantaran Miya juga tak memilik jawaban apa pun atas hal yang beru saja terjadi. Sangat mendadak dan tak terduga.
“Aku harus menghubungi Ayah.” Itulah satu-satunya jalan keluar yang bisa Miya pikirkan. Gadis berambut pirang itu mana mengerti tentang bisnis. Hidupnya hanya seputar kampus, bersenang-senang, dan menghamburkan banyak uang yang keluarganya miliki. Hidup bergelimang harta, membuat Miya tak pernah berpikir ada di titik sekarang.
Sayangnya, ponsel sang ayah sama sekali tak bisa dihubungi. Bahkan ia sudah melalukan percobaan ke sekian kali, namun tak ada respon sama sekali dari ayahnya. Miya … ditinggalkan begitu saja? Di tengah kekacauan yang muncul serupa badai di hidup Miya?
Yang benar saja!
“Sialan!” maki Miya yang rasanya ingin melempar ponsel itu ke dinding.
“Nona Miya,” panggil Nyonya Bern yang membuat arah pandang Miya tertuju pada mobilnya.
“Oh, ayolah. Mobilku juga?” Miya segera berlari menghampiri mobil kesayangannya. Seorang petugar memberi label kuning yang menandakan jika mobil tersebut ikut disita. “Kenapa mobilku juga?” protes Miya tak terima. “Ini mobil kesayanganku!”
Tapi petugas itu memberikan tatapan tajam pada Miya dan meminta gadis itu untuk segera mundur. Bersamaan dengan hal itu juga, seseorang yang Miya kenal menghampirinya.
“Oh, Tuan Hans. Anda datang!” Miya rasanya ingin menangis saat melihat pengacara keluarganya datang. “Mereka datang begitu saja dan memberi banyak label pada rumah dan barang-barang yang ada di dalamnya. Aku tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Jika memang berkaitan dengan hutang, apa seluruh isi rumah ini juga dijadikan jaminan? Lalu bagaimana denganku?” cerocor Miya dengan tak sabar.
Hans Handerson, tersenyum tipis dan meminta Miya untuk mengikutinya. Memasuki area ruang tamu yang tampak beberapa orang berseragam masih menginvasi di sana. Mengecek beberapa guci serta pajangan yang tampak mewah dan memberi label di sana. Perut Miya rasanya bergelojak tak terima tapi ia tak bisa melakukan apa pun.
“Kau sudah lebih tenang untuk diajak bicara, Miya?”
Miya menghela panjang. “Bagaimana bisa aku tenang di saat mengalami kejutan seperti ini?” Gadis itu bersandar pada sandaran sofa. “Apa benar seperti yang diberitakan, Tuan Hans? Ayahku bangkrut?”
“Itulah kenyataan yang harus dihadapi.”
Miya mengerang tak terima. “Lantas … kenapa rumah ini disita? Ini adalah properti pribadi, kan?”
“Hutang ayahmu terlalu besar. Bahkan jika rumah beserta isinya ini disita, masih belum bisa menutup semua hutang yang ada.”
Miya benar-benar dibuat tak berdaya dengan kabar ini. “Lalu … bagaimana denganku? Ayahku tak bisa dihubungi, Mr. Hans. Aku butuh beliau mengatakan banyak hal mengenai hal ini.”
“Karena itulah aku ke sini.” Hans mengeluarkan salah satu berkas yang ada di tasnya. “Ini adalah surat untukmu, berisi beberapa pesan sebelum beliau meninggalkan NorthDerm.”
“Dia … kabur?” Miya melotot tak percaya.
“Bukan kabur, Nona Miya. Lebih tepatnya mempertanggungjawabkan apa yang ia perbuat.”
“Sama saja!” Miya merebut surat itu dengan segera. Meski hubungan dengan sang ayah tak terlalu baik, tapi ini menyangkut kepentingan hidup mereka. Kenapa ayahnya begitu tega meninggalkan Miya di tengah kekacauan seperti ini?
To : Miya, putriku yang tangguh.
Maaf meninggalkanmu. Tapi aku berjanji, akan segera memperbaiki segalanya. Tolong bertahanlah.
Miya membolak balik lembaran yang baru selesai ia baca, siapa tahu ada kelanjutannya lagi. Tapi tulisan itu hanya … berisi beberapa kalimat saja. “Hanya ini?” Miya memekik frustrasi. “Argh!”
“Beliau juga meninggalkan ini, Nona Miya.” Satu pouch kecil diserahkan Hans pada Miya yang masih tak menyangka surat peninggalan ayahnya, hanya sesingkat itu.
“Apa ini?”
“Kunci dan kartu debit yang berisi sedikit tabungan,” kata Hans menjelaskan. “Kunci rumah lama milik Tuan Michael karena rumah ini tak bisa lagi ditempati. Anda bisa mengambil beberapa barang yang diperlukan. Juru Sita akan memilah barang mana yang bisa dijadikan jaminan dan mana yang bukan. Jika nanti ada barang yang tak bisa diuangkan, akan segera dikirim ke alamat rumah yang Anda tempati mulai hari ini.”
Bahu Miya terkulai lemah. “Aku … tak punya pilihan lain, kan?”
Hans menggeleng lemah.
***
Dua buah koper besar berisi pakaian yang bisa Miya bawa, satu koper berisi perlengkapan lainnya, sudah ada di sisi kanan dan kiri. Nyonya Bern, Hannah, dan juga Danish, para pelayan yang bekerja di rumah Miya, hanya bisa menatap gadis itu dengan pandangan sendu.
“Aku … tak pandai mengatakan salam perpisahan. Tapi kalian semua sangat baik terhadapku. Terima kasih dan siapa tahu kita bisa berjumpa lain.” Miya sedikit menunduk sebagai rasa terima kasih atas bantuan mereka selama ini.
“Nona Miya, makanlah yang teratur,” kata Nyonya Bern dengan tatapan sendu. Diusapnya pelan bahu Miya agar gadis itu kembali bersemangat. “Aku yakin, Tuan Michael dan Anda pasti kembali ke rumah ini.”
Miya menghela panjang. “Akan kuusahakan menebus rumah ini. Saat itu tiba, kalian harus kembali. Ya?” Ia pun merangsek ke pelukan wanita paruh baya berhati lembut itu. Jika tak ada Nyonya Bern, Miya tak tahu sekacau apa hidupnya saat di rumah sendiri. Nyonya Bern mengurusnya sejak kecil dan tahu bagaimana perangai Miya selama ini.
“Pasti, Nona Miya. Kami pasti kembali. Kami sangat menunggu hari itu tiba,” kata Hannah sembari terisak. Meski Danish tak mengatakan apa pun, wajahnya sudah menyiratkan kesedihan yang mendalam.
“Aku pergi dulu,” kata Miya berusaha tegar. “Jaga diri kalian.”
Hans menawarkan diri mengantar Miya sampai ke rumah peninggalan ayahnya yang terletak di tepian kota. Setidaknya, Hans harus memastikan jika Miya sampai ke tujuannya dengan selamat. Pria paruh baya itu yakin, perasaan Miya pastilah sangat kacau.
“Terima kasih atas bantuannya, Tuan Hans. Dan maaf merepotkan Anda,” kata Miya sesaat sebelum mobil hitam milik Hans melesat pergi.
“Tak masalah.” Hans tersenyum tipis. “Hiduplah dengan baik. Biaya kuliahmu sudah dilunasi sampai ujian akhir. Kau tak perlu khawatir.”
Miya diam saja. Bukan hanya masalah perkuliahan yang ia khawatirkan, tapi banyak hal mendadak berkecamuk di benaknya. Miya memilih menikmati perjalanan itu dengan bungkam sembari mencerna … apa ini mimpi atau bukan?
Sementara di sisi jalan yang berseberangan dengan rumah Miya, mobil mewah berwarna putih terparkir di sana. Sosok pengemudinya sejak tadi memerhatikan apa yang terjadi di dalam rumah tiga lantai itu. Rambut hitam ikalnya sedikit ia benahi agar tak mengganggu pemandangan. Di atas alisnya, terdapat dua tahi lalat yang menjadi ciri khas tersendiri padanya. Satu-satunya yang menginterupsi kegiatannya adalah ponsel miliknya yang berdering nyaring. Segera ia geser con hijau di layar dan berkata dengan nada sedingin es. “Ada apa?”
“Tuan Damian, saya sudah pastikan apa yang Anda inginkan terlaksana,” kata seseorang di ujung sana. “Semua asset milik Michael Ashton sudah disita bank. Siap untuk dilelang.”
Damian tak merespon apa pun karena tahu, itulah yang terjadi. Ia tak butuh informasi seperti itu.
“Saya juga pastikan, Nona Miya Ashton mengikuti keinginan Anda tanpa disadari olehnya.”
Senyum Damian tercipta tipis sekali. “Bagus.” Hanya itu yang ia katakan dan mematikan sambungan telepon itu secara sepihak. Lantas kembali berkendara menuju satu tempat; kantor rektorat tempat Miya berkuliah di pusat kota. “Aku akan mendapatkanmu, Miya.”