[5]

1782 Words
Miya menjatuhkan sebagian tubuhnya ke ranjang yang tak terlalu besar yang ada di kamarnya sekarang. Suasana kamar ini sangat berbeda dengan kamar yang ia tempati sebelumnya. Meski nyaman tapi … semuanya menurut Miya kurang. “Apa sejak kemarin hidupku dimulai dengan banyak kesialan?” Miya menutup sebagian penglihatannya yang tengah menikmati langit-langit kamar dengan punggung tangan. Berulang kali menghela panjang berusaha untuk menenangkan diri meski sangat sulit. Ancaman Veronica tak mungkin main-main, apalagi w************n itu sampai mendatanginya sekadar mengonfirmasi, jika Miya akan menghadapi tuntutan hukum. Ditambah, selama sebulan ke depan ia tak bisa mengikuti perkuliahan lantaran menjalani hukuman Tuan Victor. Diperparah oleh telepon yang belum lama ia terima; hutang peninggalan ayahnya masih terlalu banyak. “Bagaimana caraku keluar dari masalah ini?” tanya Miya dengan gumaman pelan. Tanpa sadar, air matanya menetes. “Kenapa hal ini harus terjadi padaku?” Satu-satunya yang menjadi teman isak tangis Miya adalah bunyi detak jam yang ada di dinding kamarnya. Terbiasa hidup bergelimang harta, menghadapi permasalah yang begitu pelik dan tak terduga, membuat Miya benar-benar tak berdaya. Bahkan sekadar untuk memikirkan makan saja, ia sudah tak berselera. Yang ia inginkan hanyalah segera keluar dari jerat masalah yang mencekik ini. Punggung tangannya perlahan ia singkirkan. Ia merasa perutnya perih dan cukup untuk membuatnya meringis kesakitan. Miya memilih duduk di tepian ranjang walau agak sulit untuk bergerak. “Apa yang terjadi padaku?” Miya merasa di sekitarnya tampak berputar tak keruan, pandanganya juga sedikit memburam. “Ah, perutku sakit.” Ia ingat-ingat kapan terakhir makan dengan benar? Pantas saja. Terakhir ia makan dengan benar adalah sepulang kampus, sebelum kembali ke rumah. Sebelum mendapati dirinya bukan lagi Miya Ashton yang banyak uang. Sebelum semua permasalahan terjadi di kampus. Dan saat bersama Tessa, ia ingat, hanya meminum Iced Lemonade. Lantas … segera kembali ke rumah untuk menenangkan diri. Meninggalkan Tessa yang beberapa kali menawarkan diri untuk mengantarnya. “Aku harus makan. Jangan sampai jatuh sakit di saat seperti ini.” Miya mulai memaksakan diri untuk melangkah. Seingatnya, masih ada beberapa lembar roti di meja makan. Nanti malam, mungkin ia bisa keluar ke supermarket terdekat. Membeli bahan makanan yang bisa mengenyangkan perutnya, serta … obat pereda nyeri. Benar saja, beberapa lembar roti memang masih ada di sana. serta satu jar selai yang tersisa separuh. Segera Miya santap dengan tak sabar, berharap nyeri di perutnya segera menghilang. Wajahnya sedikit berkeringat tapi rasanya jauh lebih baik dibanding sebelumnya. Ingatkan Miya jika keadaan perut yang terisi, akan lebih baik dibanding hanya terisi minuman dengan cita rasa masam. Digigitan terakhirnya, Miya mulai berpikir. Apa yang sebaiknya ia lalukan untuk melanjutkan hidup dengan beban seperti ini. “Apa sebaiknya aku mencari pekerjaan?” Ia mengetuk meja dengan ujung kukunya yang terawatt indah. “Tapi pekerjaan apa yang cocok untukku? Aku tak bisa melakukan pekerjaan kasar.” Apa yang Miya katakan bukan tanpa alasan. Terbiasa mendapatkan pelayanan terbaik di rumahnya, membuat Miya bergantung dengan beberapa pelayan. Termasuk Hannah dan Nyonya Bern. Mereka sangat terampil mengurus segala kebutuhan Miya. Bahkan sekadar menyiapkan pakaian yang akan ia pakai hari itu, adalah pekerjaan Hannah. Dan sekarang? Semua harus Miya lakukan sendiri, tanpa bantuan siapa pun. “Tidak, tidak.” Miya menggeleng keras. “Aku tak boleh menyerah. Aku harus bekerja. Uang di kartu peninggalan orang tua berengsek itu tak banyak. Tak cukup sampai satu tahun ke depan apalagi aku yakin, permasalahan hutang itu tak sesimple pemberitahuan di telepon.” Gadis berambut pirang itu terdiam sejenak. “Tapi sebelum itu, aku harus bersiap menghadapi tingkah gila Veronica. Apa aku terima saja bantuan Tessa? Aku yakin ayahnya bisa membantuku.” Lantas ia pun mengambil ponsel yang selalu ada di dekatnya. Menghubungi satu-satunya orang yang bisa ia andalkan dan percaya. Begitu tersambung melalui telepon dengan Tessa, beberapa obrolan ringan menjadi peneman mereka. Sampai … “Ehm, penawaran mengenai bantuanmu apakah masih berlaku?” tanya Miya sembari menggigit bibir bawahnya. “Meminta ayahku mencari pengacara yang kompeten untuk membelamu?” tanya Tessa dengan penuh semangat. “Aku tak pernah menarik kata-kataku, Miya. Kau bisa mengandalkanku.” Miya menghela lega. “Terima kasih. Aku hanya berjaga-jaga siapa tahu Veronica memang segila itu bertindak.” “Dia pasti akan melakukan segala hal untuk menjatuhkanmu, Miya,” desih Tessa di ujung sana. “Selama ada kesempatan untuk menyudutkanmu, seorang Veronica Lodge akan melakukannya dengan senang hati. Termasuk kejadian tadi.” “Kau benar,” kata Miya sembari menghela panjang. “Dan selama sebulan aku diskorsing, aku akan meminjam semua catatanmu.” “Tenang saja.” Tessa terkekeh. Dan obrolan mereka berlanjut seputar Veronica, kampus, serta Rhett. Satu hal yang dilupakan Miya lantaran ia tak mau mengingat hal konyol itu; kontrak yang disodorkan Victor padannya. *** Paginya, Miya bangun seperti biasa. Berusaha untuk merapikan rumah agar tetap layak ia tinggali. Meski kesulitan pada awalnya, tapi Miya yakin akan terbiasa melakukan tugas membersihkan rumah seperti saat ini. Peluhnya sudah membasahi sebagian wajahnya. Kaus yang ia kenakan juga sudah lembab lantaran keringat, tapi pekerjaan membersihkan rumah memang cukup menguras energi. “Astaga, kapan selesainya?” keluh Miya sembari mengusap dahinya. “Kenapa Nyonya Bern sangat mahir membersihkan rumah?” Punggung Miya rasanya nyeri sekali. Ia memilih untuk mengistirahatkan sejenak tubuhnya di sofa. Pekerjaannya kali ini hanya tinggal merapikan ruang tamu. Ada banyak benda lama dan sepertinya tak terpakai yang harus Miya pilah dan buang. Sembari melepas lelah, Miya menatap layar ponselnya yang ternyata dibanjiri banyak notifikasi. Ia tak tahu apa yang terjadi sampai … matanya melotot tak percaya. Miya berulang kali memastikan apa yang ia lihat tidaklah salah. Seorang mahasiswa tak mencerminkan diri sebagai pelajar yang baik. Melakukan penyerangan terhadap teman satu angkatannya hanya karena masalah sepele. Menderita luka sobek di bagian pelipis, membuat Veronica tak bisa menjalani kesehariannya akibat Tindakan kasar yang dilakukan Miya Ashton padanya. Miya Ashton, putri Tunggal dari keluarga Ashton menyerang Veronica Lodge lantaran kesal keluarganya mengalami kebangkrutan. Beredar video perundungan sadis di Universitas Hillarious yang terkenal disiplin dan banyak menelurkan orang-orang berbakat dari berbagai aspek. “Kami menuntut Miya Ashton untuk dikeluarkan dari Universitas. Dia sudah mencoreng nama baik Hillarious dan membuat trauma mendalam bagi Veronica Lodge.” Begitu pengacara keluarga Lodge memberitahukan langkah apa yang akan mereka ambil dalam permasalah ini. Miya tak tahu harus berkata apa dengan ini semua. Bahkan akun-akun yang sering kali menampilkan berita gossip pun, ikut menyebarkan video pergulatan mereka tanpa sensor. Wajah Miya begitu terlihat jelas di sana. Dan sudah bisa dipastikan, akun media social Miya mendadak penuh hujatan bahkan ada yang memintanya untuk mati saja. “Ini … terlalu gila untuk aku hadapi,” katanya sembari memijat pelipis dengan rasa yang teramat frustrasi. Miya tak tahu apa karena permasalahan ini telinganya mendadak sensitive, atau memang di luar gerbang rumah kecilnya ini, beberapa orang terdengar memanggilnya? Ia pun segera menuju jendela yang langsung menghadap ke area depan. Di mana banyak orang dengan kamera sudah menunggunya. Mereka terus mengarahkan kamera ke rumahnya. Berharap Miya segera keluar dan mungkin … memberi klarifikasi? “Tapi mereka tahu dari mana aku tinggal di sini?” Miya panik. Ia harus berpikir cepat, apa yang bisa dilakukan dalam kondisi sekarang. Meski berhasil keluar lewat pintu belakang dan agak memutar dari jalan utama, tapi ke mana tujuannya sekarang? “Sudahlah, tak ada waktu berpikir. Yang paling penting, aku harus keluar dari rumah ini dulu. Dan siapa tahu saja, Tessa sudah menemukan pengacara untukku. Menghadapi gadis gila itu tak cukup muncul di berita utama tanpa pembelaan!” Ia pun menyambar tas kecilnya. Memasukkan beberapa hal penting serta hoodie hitam agar ia tak mudah dikenali. Serta memastikan penampilannya tak terlalu berantakan. Penuh perjuangan bagi Miya untuk menghindari serbuan wartawan yang tampak menggila itu. meski hanya di luar pagar, tapi Miya belum pernah menghadapi situasi seperti ini. berkali-kali ia bersungut dan ingin memaki Veronica lantaran Tindakan gilanya. Berpikir apa yang bisa ia lakukan untuk membalas perbuatan Veronica. Lantaran berita ini, sudah jelas nama Miya semakin buruk dan semakin terkait dengan pemberitaan jika keluarganya bangkrut. Napasnya terengah, mengumpulkan seluruh keberaniannya sebelum mengetuk pintu kayu dengan ukiran elegan. Menandakan pemilik ruangan di balik pintu ini adalah orang yang memiliki selera tinggi. Namun sebelum niat itu terlaksana, pintu itu sudah terbuka … dengan sang pemilik berada di sana. Menatap Miya dengan sorot tanya. Miya menarik napas panjang sebelum bicara, “Saya … ingin bicara dengan Anda, Pak Victor.” “Tentu.” Victor tersenyum tipis sekali. “Tak mungkin kau mendatangi ruanganku dengan penampilan seperti ini tanpa ada keperluan, kan?” Miya menggigit bibir bawahnya. Otaknya sudah tak bisa lagi berpikir normal. Sepanjang jalan menuju area kampusnya, ia tak tahu lagi bantuan seperti apa yang dibutuhkan. Lantaran terlalu besar permasalahan yang ia terima. “Masuklah,” kata Victor mempersilakan Miya untuk kembali memasuki ruang kerjanya. Meski tampak ragu, tapi gadis itu masuk dengan kesadaran penuh. Seperti apa yagn diharapkan tuannya; Damian Sawyer. Hal itu membuat Victor tersenyum kembali, kali ini senyum itu penuh makna; apa yang ia rencanakan tak pernah ada kata gagal. Agak lama Miya diam saja dan duduk dengan gelisah. Sesekali mengalihkan pandangannya ke rak berisi banyak buku koleksi Victor. Tapi si pemilik ruangan belum ingin mengajaknya bicara. Pria itu lebih memilih menikmati cangkir tehnya. “Jadi … ada apa, Miya?” Ucapan itu bersamaan dengan bunyi cangkir yang diletakkan di meja beralas kaca oleh Victor. Mata cokelat terang milik pria itu menatap lekat gadis yang ada di depannya. “Jangan membuat aku membuang waktu.” “Tidak, maafkan saya.” Miya harus bisa menguasai dirinya, kan? meski tangannya saling meremas, tapi ia harus bicara. “Apakah …” Miya memejam kuat. Berusaha menahan diri namun inilah jalan keluar yang terbaik. Tak mungkin pria itu tak memiliki pengaruh untuk melindunginya. “Apakah kontrak itu masih berlaku?” “Jika kau bertanya seperti itu, aku asumsikan kau tak memiliki jalan keluar untuk masalah yang datang ke hidupmu?” Miya semakin menunduk. Ia seperti berjalan menuju rayuan iblis yang sangat kuat. “Kontrak itu masih ada di tanganku, Miya. Tuan Sawyer belum mengetahui jika kau pernah menolaknya.” Victor beranjak menuju mejanya, mengambil bekas yang ia simpan di salah satu laci. “Kau harus berterima kasih padaku karena belum menyerahkan ini pada Tuan Sawyer.” Berkas itu pun kembali datang pada Miya. “Bacalah dengan baik-baik, Miya. Sekali kau menggoreskan pena di sana, kau tak bisa lari dan menghindar ke mana pun.” Miya menelan ludah gugup. “Sebelum aku baca dan memutuskan … apa aku bisa meminta sesuatu?” Victor menatap Miya dengan penuh minat. “Apa itu?” “Pulihkan nama baikku.” Ucapan itu membuat Victor tertawa. “Hanya itu?” Mata Miya mengerjap tak percaya. “Bacalah berkas itu baik-baik, Miya. Kau akan mendapatkan apa yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Jangankan hanya membersihkan namamu, mengembalikan hidupmu yang carut marut beberapa hari belakang juga Tuan Sawyer mampu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD