[4]

1474 Words
“Kau seharusnya tahu jika mulai hari ini hukumanmu berjalan, kan?” Miya menggeram kesal tapi tak bisa menyalahkan pengajar yang masuk ke kelasnya di jam ini. Jam pertama, Miya sudah tertinggal. Saat memasuki jam kedua, Miya diminta untuk keluar kelasnya. Mulai menjalani hukuman yang diberikan Victor Wyatt selaku pemilik universitas ini. “Maafkan saya.” Hanya itu yang bisa Miya katakan, menyeret langkah dengan lesunya. Jangan tanya seberapa buruk wajahnya untuk sekadar memberi senyum agar sahabatnya yang sejak tadi memerhatikannya, tak terlalu khawatir. Begitu di depan pintu kelas, Miya menghela penuh frustrasi. “Apa yang harus aku lakukan?” Jika bukan karena pesan yang masuk ke ponselnya, Miya mungkin sudah membulatkan tekad untuk pulang ke rumah. Untuk apa dia berada di sini sepanjang waktu? Tak ada yang bisa ia kerjakan, kan? Pesan itu berasal dari Tessa, yang memintanya untuk menunggu di kafe yang tak jauh dari area kampus. Miya tak mungkin mengabaikan permintaan sahabatnya itu. Selain ia belum berterima kasih, Miya juga merasa harus bicara dengan Tessa. Siapa lagi yang bisa ia ajak bertukar pikiran dan berbagi keluh kesah selain Tessa. Tak mungkin ia menunggu ayahnya kembali, kan? Sementara sampai tadi pagi pun, tak ada kabar sama sekali dari pria paruh baya itu. Langit siang ini cukup cerah, sekumpulan awan menghias langit biru serta sinar mentari tak terlalu terik. Seharusnya hari ini juga Miya sambut dengan riang gembira seperti biasanya. Sayang, kehidupan yang harus ia jalani, tak lagi sama. Miya menengadah menikmati arak-arakan awan yang bergerak tertiup angin. “Berbaik hatilah sedikit, Tuhan. Jangan kirim masalah yang lebih dari ini.” Itu harapan Miya sebelum ia kembali melangkah meninggalkan area kampus, menuju tempat yang diinginkan sahabatnya. Lagi pula ia butuh segelas minuman manis yang dingin dan menyegarkan. Iced Lemonade sepertinya bisa sedikit mengurangi banyak beban pikiran di hari ini, begitu pikir Miya. Ia tak pernah menyadari, ada sepasang manik mata cokelat terang yang mengamatinya dari kejauhan. Tepatnya dari lantai tiga, dekat dengan ruang rektorat tempat sosok itu bekerja. “Kau agak keterlaluan membuat isi kontrak, Damian,” katanya di telepon sembari terkekeh. “Gadis itu ketakutan.” Di ujung sana, Damian berdecak. “Tugasmu untuk memastikan dia mendatangi kontrak itu dengan suka rela. Aku tak ingin mendengar kegagalan.” “Padahal masih banyak gadis lain yang menurutku jauh lebih sepadan denganmu dibanding Nona Ashton.” “Kau tak pernah tahu rasanya berada di titik puas menikmati orang-orang yang tak berdaya di bawah kendaliku.” “Kau memang iblis,” kata si pria bermanik cokelat terang itu dengan tawa yang renyah sekali. “Beruntungnya Hillarious dipimpin olehku, bukan oleh pemilik aslinya yang selalu mengotori tangan dengan banyak hal keji.” “Kau ingin pemecatanmu tak terhormat, Victor?” tanya Damian dengan nada dinginnya. Victor kembali tertawa. “Jika aku tak berada di sini, aku yakin, kau akan sering berurusan dengan hukum. Tidak ada pemain kelas kakap di dunia bawah mengurus hal-hal berbau Pendidikan dan masa depan anak-anak di NorthDerm.” Damian tak lagi bicara, telepon itu diputus secara sepihak. Membuat Victor menatap layar ponsel yang sudah kembali ke tampilan semula, dengan kernyitan heran namun segera saja tawanya terdengar. “Suatu saat ideologi mengenai kemanusiaan dan Kebajikan akan merugikanmu, Damian.” Sekali lagi, Victor menatap ke arah di mana punggung Miya semakin mengecil, menandakan gadis itu sudah semakin menjauh dari area kampus. “Selain hutang yang terlalu banyak, keinginan memiliki bayi, apalagi yang Damian lihat dari sosok Miya Ashton?” Ia mengusap ujung dagunya. “Cantik? Bukankah Renne Katlyn jauh melebihi segalanya?” Nama yang disebut Victor adalah seorang fotomodel yang tengah naik daun. Seorang Damian Sawyer akan mudah sekali mendekati wanita seperti itu mengingat pengaruh pria itu begitu besar di negara ini. “Siang, Pak Victor,” sapa salah satu staf di bagian rektorat. Sedikit menjaga jarak lantaran pria yang ada di depannya ini, memiliki aura yang cukup menyeramkan. Meski Victor Wyatt sering memamerkan senyum lebar, menambah kadar ketampanannya, tapi hampir semua orang yang bekerja dengan pria bersurai cokelat gelap ini tahu … senyum pria itu mengandung makna tersendiri. Sapaan itu membuat Victor menoleh dan tersenyum tipis. “Ada apa, Hellen?” “Ada yang ingin menemui Anda. Katanya dari pihak keluarga Nona Lodge dan pengacara pribadi mereka.” “Ah, sudah datang rupanya?” Victor semakin melebarkan senyumnya. “Tolong antarkan mereka ke ruang meeting di lantai satu. Dan siapkan juga beberapa kopi serta camilannya, Hellen.” “Baik, Tuan.” Lantas Victor berjalan menjauh meninggalkan Hellen begitu saja. Senyum Victor yang semula terpasang di wajahnya, mulai menghilang. Berganti dengan tampang dingin dan tak ingin diganggu, serta ada satu hal yang harus ia lakukan; memastikan gadis yang diinginkan tuannya, masuk ke dalam jebakan. Tanpa sadar, tanpa merasa terpaksa, dan tak akan mudah lepas dari belenggu yang sudah dipasang di sekitarnya. “Malang sekali nasibmu, Miya Ashton,” kata Victor, tapi tak ada nada simpati di sana. “Atau … bisakah aku berharap, semoga Damian tak lagi kesepian?” Pemikiran itu membuat Victor terkekeh. “Mari kita berharap pada waktu yang ada.” *** “Kau tak perlu khawatir tertinggal pelajaran,” kata Tessa sembari mengeluarkan satu buku yang cukup tebal. “Hukumanmu membuat motivasi tersendiri untukku. Untuk pertama kalinya dalam Sejarah hidup perkuliahan Tessa Monroe, dia mencatat dengan baik dan menyimak pelajaran di kelas agar bisa menjelaskan untuk Miya Ashton.” Ucapan Tessa barusan membuat Miya terbahak. Ia tak menyangka sahabatnya bisa melakukan hal segila ini dan … catatannya cukup rapi. Untuk ukuran mahasiswi yang hanya mengerjakan tugas di jam-jam terakhir sebelum tugas tersebut diserahkan ke tim penguji. “Entah apa yang harus kulakukan untukmu, Tessa. Kau sangat membantuku.” Tessa tersenyum riang. Lantas mengusap punggung tangan Miya dengan penuh rasa persahabatan. “Ingat? Kita sahabat. Sahabat harus saling mensupport satu sama lain. Sekarang kau membutuhkan banyak support, siapa tahu di masa depan, hal itu juga aku butuhkan.” “Dan kau tak perlu mencari siapa pun untuk mendukungmu. Cukup aku ada di sampingmu, Tessa.” Mereka tertawa bersama, menyepakati satu hal; persahabata mereka murni tanpa ada latar di belakangnya. “Tapi aku dengar Veronica membawa pengacara keluarganya untuk menuntutmu, Miya,” kata Tessa dengan raut khawatir. “Tenanglah, aku yakin itu hanya gertakannya saja.” Miya berusaha untuk tetap tenang. Meski Sebagian hatinya memungkiri hal itu; ia tahu bagaimana perangai seorang Veronica Lodge. Apalagi pertengkaran mereka tadi bisa dibilang cukup menghebohkan dan memalukan. “Tapi … jika sampai itu terjadi?” tanya Tessa sekali lagi. Belum juga Miya memberikan respon, sosok yang tadi bergulat dengannya di koridor, memasuki area kafe. Berjalan dengan tampang angkuh dan meremehkan. Sorot matanya benar-benar menganggap Miya adalah kuman yang harus dijauhi. Kalau perlu disingkirkan dari dunia ini. “Aku tak pernah main-main memberi ancaman, Miya Ashton.” “Mengenai? Keinginanmu berkencan dengan pria seperti Rhett?” Miya menatap lawan bicaranya tanpa mau kalah. “Silakan saja. Aku tak peduli dengan pria seperti itu. Oh, astaga. Aku tak menyangka betapa rendah seleramu terhadap pria, Bitch.” Miya terkekeh dan kembali menikmati minuman bagiannya. Menyegarkan. “Sayangnya aku tak dilarang berbuat onar sampai kau mendapatkan surat dari pengacaraku, Miya.” Veronica menggeram kesal. “Tunggu saja. Kau pasti akan menyesal!” Ia pun pergi begitu saja, sembari mengentak kesal dan tampangnya terlihat sekali menahan amarah. Sepeninggalan Veronica, Miya menghela napas lega. Jika kondisinya masih seperti Miya yang tak mengalami kebangkrutan, ia tak pernah takut tuntutan apa pun yang mengarah padanya. Tapi kali ini, di saat ia tak bisa melakukan apa pun untuk membela diri, permasalahan datang silih berganti. “Aku akan meminta bantuan ayahku, Miya,” kata Tessa dengan penuh keyakinan. “Aku yakin Papa bisa memberikan jaminan untukmu.” “Oh, tidak perlu.” Miya menggeleng segera. “Bukan aku menolak bantuanmu tapi ini bisa berkaitan dengan bis—” Dering ponsel Miya menginterupsi obrolan di antara mereka. Miya segera merogoh dan mencari ponsel miliknya yang berada di dalam tas. Kening Miya berkerut heran, nomor yang tak ia kenal muncul di layar. “Aku … angkat dulu.” Sebenarnya Miya ragu tapi siapa tahu saja telepon itu penting. Mungkin kabar mengenai ayahnya? Bisa jadi, kan? “Hallo,” sapa Miya dengan suara penuh selidik. “Apa benar saya bicara dengan Miya Ashton?” “Ya,” sahut Miya singkat. “Saya Juru Sita dari pengadilan NorthDerm, ingin memberi informasi pada Anda jika keseluruhan aseet milik keluarga Ashton sudah mulai memasuki tahap pelelangan. Berdasar informasi yang saya berikan sebelumnya, hutang Tuan Michael Ashton sebesar 900 juta dollar menyisakan sekitar 200 juta dollar lagi dan semuanya dialihkan kepada Anda, Nona Ashton.” “HAH?!” Miya sampai menggebrak meja. “Yang benar saja! Aku tak pernah memakai uang sebanyak itu!” “Itulah yang tertera di surat wasiat yang Tuan Michael miliki.” Rasanya … nyawa Miya meninggalkan tubuhnya lantaran ucapan barusan, sangat tak masuk akal. “Kami akan terus menghubungi Anda terkait hal ini. Selamat siang, Nona Ashton.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD