Saat Kevin tengah bersiap-siap untuk berangkat bekerja, seseorang menekan bel rumahnya padahal ini masih tergolong terlalu pagi untuk bertamu. Saat Kevin membuka pintu, ia melihat seorang wanita yang seperti seumuran dengan ibunya, tapi pakaian wanita itu terlihat sangat rapi dan tubuhnya penuh dengan barang-barang mewah.
"Anda siapa?" tanya Kevin.
"Apa kau benar sahabat Jina?" wanita ini balik bertanya pada Kevin.
"Ya," jawab Kevin singkat. Entah bagaimana wanita itu tahu tentang persahabatannya dengan Jina. Siapa dia sebenarnya?
Wanita ini melepas kaca mata mahal yang ia gunakan, kemudian mengatakan, "Aku Sunny, ibu Jina."
••••
Setelah mendapat telepon semalam, Dean melihat Jina menjadi sosok yang pendiam. Ini tidak seperti ketika Jina marah padanya dam tidak mau bicara dengannya, dan akan lebih baik jika memang seperti itu karena sepertinya lebih mudah mengembalikan keceriaannya saat dia marah. Saat ini, Jina diam karena seperti ada beban yang tidak bisa ia bagi pada orang lain. Hal itu membuat napsu makan Jina menjadi terganggu dan entah apa yang harus dilakukan untuk mengembalikan keceriaannya. Dean hanya takut kalau Jina terus seperti ini, maka itu bisa membawa pengaruh buruk untuk anaknya.
"Makanlah lagi. Kau makan terlalu sedikit." Dean bicara pada Jina yang sudah ingin pergi meninggalkan meja makan.
"Benar, kau sedang hamil, jadi kau harus makan dengan baik." Jessica ikut bicara, karena ia juga melihat kalau Jina hanya makan sedikit.
"Maafkan aku, tapi aku benar-benar sedang tidak ingin makan lagi." Jina pergi meninggalkan meja makan.
"Apa yang terjadi padanya? Dia tidak seperti biasanya. Kalian bertengkar lagi?" Jessica bertanya setelah melihat perubahan besar pada Jina. Jessica memang belum lama mengenal Jina, tapi ia cukup tahu seperti apa sikap Jina biasanya.
"Kami tidak bertengkar, tapi aku juga tidak tahu pasti kenapa dia seperti ini," jawab Dean.
"Bicaralah padanya, agar dia tidak terus seperti ini. Bagaimanapun juga Jina mengandung anakmu dan ibu tidak mau terjadi sesuatu pada cucu ibu," ucap Jessica lagi.
Sebelum pergi ke kantor, Dean memutuskan untuk bicara dengan Jina lebih dulu. Dean mendekati Jina yang sedang memberikan makan ikan peliharaannya. Walau mendekati Jina untuk bicara dengannya, tapi Dean tidak tahu harus memulai dari mana pembicaraan ini.
Melihat Dean yang mendekatinya tanpa mengatakan apapun membuat Jina agak kesal. "Lebih baik kau pergi jika saat ini kau ada dalam mode diam. Aku tidak butuh seseorang yang hanya diam."
"Jadi, Kau ingin teman bicara? Cepat ceritakan masalahmu, agar kau tidak terus seperti ini."
"Kau pasti sangat khawatir pada anakmu sampai rela mendengsr cerita yang tidak penting untuk kau dengar." Jina dengan cepat membalas ucapan Dean, lalu kembali menatap ikannya.
Mendengar ucapan itu dari Jina membuat Dean merasa kalau Jina mungkin butuh seseorang sebagai teman bicara. Seseorang yang mau mendengarkan semua ceritanya karena memang khawatir padanya. Apa ia harus bersikap seperti itu sekarang?
"Katakan semua yang ingin kau ceritakan, aku akan mendengarkannya. Selama kau ada di rumah ini aku tidak akan membiarkanmu menahan semua bebanmu sendirian." Entah penting atau tidak cerita Jina untuknya, Dean tetap ingin mendengar cerita itu.
Jina kembali menoleh pada Dean yang ia ketahui bersikap seperti ini karena khawatir pada anaknya, bukan pada dirinya. Terserah, apapun itu, Jina merasa perlu menanyakan sesuatu. "Semalam, sejauh mana kau mendengar pembicaraanku di telepon?" tanya Jina.
"Tentang keyakinanmu kalau ibu kandungmu sudah meninggal saat dia meninggalkanmu. Apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian?"
"Kau sungguh ingin tahu?" Jina kembali bertanya pada Dean.
"Ya, aku ingin tahu," jawab Dean.
"Baiklah, akan aku katakan," ucap Jina sembari meletakan makanan ikannya di tempat semula.
"Aku tidak pernah tahu seperti apa wajah ibu kandungku atau siapa namanya. Aku tidak tahu apapun tentang dirinya, karena dia meninggalkanku begitu saja di depan panti asuhan saat aku masih bayi. Ibu yang merawatku di panti asuhan mengatakan ada selembar kertas di sebelahku di sana bertuliskan nama Lee Jina dan juga permintaan maaf dari Ibuku. Pihak panti asuhan mencoba mencari tahu siapa orang tuaku, tapi tidak berhasil, sampai akhirnya aku diangkat oleh sepasang suami istri yang ternyata tidak membuatku bahagia." Jina bicara panjang lebar pada Dean untuk menjelaskan secara singkat tentang kisah hidupnya.
"Sekarang, seseorang tiba-tiba meneleponku dan mengatakan kalau dia adalah ibu kandungku. Aku tidak tahu bagaimana harus beraksi untuk hal itu, aku membenci ibu kandungku, tapi di sisi lain aku juga penasaran apakah dia benar ibu kandungku atau tidak. Aku bingung, benci, senang, dan marah. Semua itu sangat menggangguku." Jina kembali bicara. Jina mencoba menahan air matanya selama bercerita karena ia tidak ingin menangisi sosok ibu yang tidak pernah ada untuknya, tapi air matanya malah jatuh begitu saja.
Begitu kelam kisah yang Jina sembunyikan di balik kisah palsu yang Jina ciptakan bersama Kevin. Dean bahkan tidak percaya ada sosok ibu seperti ibu kandung Jina. Entah masalah apa yang ibu Jina hadapi saat itu, tapi sampai membuang seorang anak rasanya sudah sangat keterlaluan dan tidak alasan untuk membenarkan hal itu.
"Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, kenapa wanita itu tidak membunuhku saja? Jika aku mati, setidaknya aku tidak perlu hidup seperti ini. Orang lain yang seusia denganku sudah punya kehidupan stabil, tapi aku malah dikejar oleh utang, bahkan jika aku tidak pernah menikmati uang itu. Aku harus bekerja dari pagi sampai malam agar bisa membayar uang sewa rumah dan agar aku bisa makan. Memang apa salahku sampai aku harus hidup seperti ini?" Jina mengeluarkan semuanya. Sekeras apapun Jina mencari, ia tidak pernah menemukan alasan kenapa dirinya harus hidup seperti ini. Kalau saja bisa memilih Jina tidak pernah ingin lahir ke dunia ini. Untuk apa lahir jika pada akhirnya hanya menderita?
Tubuh Jina kini merosot, ia berjongkok, menundukkan kepalanya, dan menangis. "Kadang, aku ingin menyerah saja. Aku ingin mengakhiri hidupku, tapi aku juga tidak ingin mati dalam keadaan yang menyedihkan seperti ini. Aku juga tidak ingin merepotkan Kevin untuk mengurus pemakamanku."
"Jadi, karena itu kau senang jika aku menangis di pemakamanmu?" tanya Dean.
"Benar. Setidaknya akan lebih baik jika seseorang menangisi kepergianku, agar aku tidak terlihat begitu menyedihkan." Jina menjawab masih dengan kepala yang tertunduk.
"Bangunlah." Dean membantu Jina berdiri.
Setelah kembali berdiri Jina langsung menatap Dean. "Bisa berikan satu pelukan padaku? Sudah lama aku tidak mendapatkan pelukan dari orang lain. Orang lain selalu mendapatkan pelukan saat mereka sedih, tapi aku ..." Jina menghentikan kalimatnya, sebab Dean sudah memeluknya bahkan sebelum ia selesai bicaranya, padahal tadinya ia berpikir ini tidak akan terjadi dengan mudah.
Jessica lagi-lagi melihat bagaimana perbedaan sikap Dean saat bersama Jina dan saat bersama orang lain. Dean tidak pernah menunjukkan perhatian seperti ini kepada siapapun setelah dia dikhianati, tapi untuk Jina, Dean seperti tidak ragu untuk memberikan sebuah pelukan. Apa ini tanda kalau kehangatan dalam diri Dean mulai kembali? Tapi, kenapa harus pada Jina?
Dean tidak memikirkan banyak hal saat memberikan pelukan pada Jina. Dean hanya ingin membuat Jina merasa lebih baik, hanya itu. Lagipula, tidak ada banyak hal yang bisa ia katakan pada Jina karena entah kata-kata apa yang tepat untuk situasi seperti ini.
••••
Saat Dean ada di kantornya dan sedang bicara dengan salah satu manajer di perusahaannya, Suji datang dan mengatakan ada seseorang yang ingin bertemu dengannya. Suji juga mengatakan kalau ia sudah meminta wanita itu pergi dan datang lagi setelah membuat janji dengan Dean, tapi wanita itu bersikeras ingin tetap bertrmu dengan Dean.
"Suruh dia masuk." Dean yang penasaran akhirnya memberikan izin pada wanita itu untuk bertemu dengannya dan menyudahi pembicaraan dengan lawan bicaranya. Setelah pria yang merupakan manajer itu keluar dari ruangan Dean, wanita yang ingin bertemu dengan Dean pun masuk.
"Anda siapa? Dan ada keperluan apa di sini?" tanya Dean karena ia tidak mengenal wanita itu.
"Aku Sunny, ibu dari Jina, wanita yang saat ini tinggal denganmu." Ya, wanita ini adalah Sunny, orang yang sama yang tadi pagi bertemu dengan Kevin. Sunny telah mengetahui semuanya dari Kevin, karena itulah ia ada di sini sekarang.
Dean tidak penasaran dari mana Sunny tahu tentang ia yang tinggal bersama, tapi Dean penasaran untuk alasan apa dia melakukan semua ini. Apa alasan seorang ibu yang dulu membuang anaknya, kini tiba-tiba datang dan ingin menemui anaknya?
"Lalu, apa tujuan Anda datang ke sini?" tanya Dean lagi.
"Aku sudah tahu apa yang kau lakukan pada Jina dan itu tidak benar. Kau memanfaatkan putriku untuk kepentingan pribadimu!" ucap Sunny dengan nada tegasnya.
"Itu terjadi karena kesepakatan bersama, jadi, bagaimana bisa Anda mengatakan bahwa saya memanfaatkan Jina?"
"Jina melakukan itu karena dia terlilit utang dan kau memanfaatkan kesempatan itu untuk membuatnya setuju. Tapi aku tidak akan membiarkan putriku hidup seperti ini lagi. Hentikan perjanjian itu sekarang, karena aku yang akan membayar utang Jina." Sunny membalas ucapan Dean.
"Mari temui Jina terlebih dulu." Dean tentu akan mengatakan tidak untuk pembatalan perhanjian itu, tapi ia ingin Jina bertemu dengan ibu kandungnya. Sejujurnya, Dean merasa ada sesuatu dengan kedatangan ibu Jina setelah puluhan tahun hilang entah ke mana.