Part 13

2172 Words
"Dia sungguh datang ke sana?" tanya Jina yang saat ini tengah bicara dengan Kevin lewat telepon. Kevin menelepon Jina dan mengatakan kalau ibu kandungnya datang untuk menanyakan semua hal tentang dirinya dan Kevin memberitahu semuanya.   "Kenapa kau mengatakan tentang hal ini padanya? Bukankah Dean melarang kita untuk mengatakan hal itu?" Jina kembali bicara pada Kevin.    "Karena dia ibumu. Ibu kandungmu sepertinya orang kaya dan dia pasti bisa membantumu lepas dari utang itu. Tidak apa-apa jika aku tidak mendapatkan uang itu selama kau baik-baik saja," jawab Kevin.    "Aku bahkan tidak yakin wanita itu sungguh ibu kandungku atau bukan dan aku tidak ingin menerima apapun darinya!" Jina menyudahi pembicaraannya dengan Kevin.   Tidak peduli betapa besar keinginannya untuk mengetahui siapa ibu kandungnya, Jina merasa kalau mungkin akan lebih baik jika ia tidak pernah tahu siapa ibu kandungnya, sebab saat tahu ia malah merasa tidak bahagia. Jadi, untuk apa tahu jika pada akhirnya menjadi seperti ini?  ••••   Saat Jina duduk termenung dan memikirkan tentang ibu kandungnya, ia melihat Dean pulang dengan seorang wanita yang entah siapa namanya. Melihat gaya berpakaian wanita itu Jina berpikir mungkin dia adalah rekan bisnis Dean. Tapi, Jina belum pernah melihat Dean membawa rekan kerjanya ke rumah.    Jina pun semakin bingung karena Dean membawa wanita ke hadapannya. Jika wanita itu memang rekan bisnis Dean, kenapa harus dibawa ke hadapannya?   "Siapa?" tanya Jina pada Dean.    "Ibu kandungmu. Itu yang dia katakan padaku," jawab Dean dan membuat Jina sangat terkejut.    Jina langsung menatap wanita yang Dean sebut sebagai ibu kandungnya. Melihat wanita itu semakin mendekat padanya membuat Jina langsung bergerak mundur. Jina tidak tahu bagaimana harus menjelaskan perasaannya saat ini, semuanya bercampur menjadi satu. Dulu, saat kecil, Jina pernah berpikir kalau ia pasti akan tersenyum bahagia saat melihat sosok ibu yang telah melahirkannya, sama seperti anak lain saat melihat ibu mereka. Namun, kali ini, tidak ada senyuman yang terlihat di wajah Jina.    "Jina, ini ibu." Sunny bicara sembari terus mendekati Jina yang malah menjauh darinya.   "Ibu akan membebaskanmu dari tempat ini. Ibu akan membayar utang ibu amgkatmu, lalu kita tinggal bersama," ucap Sunny lagi, tapi Jina terus saja menjauh darinya.   "Berhenti di sana!" dan Jina akhirnya bicara untuk pertama kalinya pada Sunny.   "Kenapa kau membawanya ke sini? Ibu kandungku? Aku tidak punya lagi ibu kandung!" Jina bicara pada Dean, lalu lari ke kamarnya.  Sunny mencoba menahan Jina, tapi ia gagal. Melihat reaksi Jina yang seperti ini membuat Sunny dengan cepat kembali ke hadapan Dean, sebab berpikir kalau pria itu ikut andil dalam buruknya sikap Jina ketika bertemu dengannya. "Apa yang kau lakukan pada anakku? Kau pasti sudah tahu kalau aku akan datang, lalu kau membuat Jina benci padaku agar perjanjian itu tetap berjalan." Sunny bahkan mengatakan ini pada Dean.    Dean yakin ada banyak cermin di rumah Sunny, tapi entah itu dipakai atau tidak. "Setelah Anda meninggalkan Jina begitu saja, apa yang Anda harapkan ketika muncul di hadapannya setelah puluhan tahun berlalu?"   "Aku punya alasan kenapa aku sampai melakukan hal itu. Kau pikir, aku bahagia setelah melakukan itu pada putriku sendiri?" Sunny membalas ucapan Dean.   "Jina juga punya alasan kenapa dia bersikap seperti ini. Anda pikir, ini mudah untuk Jina?" ucap Dean.   Apa yang Dean katakan memang benar dan karena itulah kali ini Sunny tidak bisa membalas ucapan pria dengan cepat seperti tadi. Semua ini pasti tidak mudah untuk Jina dan ini tidak akan selesai dalam sekali pertemuan.  "Jangan pikir kalau kau mau menang. Aku akan merebut putriku darimu dan kau akan menanggung akibat atas semua perbuatanmu!" Sunny terlihat seperti mengancam Dean, kemudian pergi dari rumah pria itu.   Dean bahkan tidak peduli dengan ancaman Sunny karena menurutnya itu sangat tidak penting. Dean hanya memikirkan Jina saat ini, karena itulah ia langsung pergi ke kamar Jina. "Buka pintunya, Jina. Wanita itu sudah pergi, jadi kau tidak perlu bersembunyi lagi," ujar Dean karena pintu kamar itu terkunci.    Tidak lama setelah Dean bicara pintu pun terbuka dan memperlihatkan Jina yang terlihat marah. Tentu saja Jina marah, ia bercerita pada Dean bukan dengan harapan pria itu akan membawa orang itu ke hadapannya. "Kenapa kau membawanya ke hadapan itu? Apa yang sebenarnya kau inginkan?" dan Jina kembali bertanya pada Dean.    "Bukankah kau ingin bertemu dengannya? Kau juga harus tahu seperti apa ibu kandungmu," jawab Dean.    "Itu hanya keinginan masa laluku. Sekarang, kau tahu apa yang aku pikirkan saat melihat wajahnya? Bukan kebahaigaan, tapi itu seperti mengingatkanku kalau aku sangat tidak diinginkan dalam hidupnya hingga dia membuangku, padahal aku sangat tidak ingin mengingat hal itu!" Jina kembali menutup dan mengunci pintu kamarnya setelah bicara pada Dean.    "Jadi, kau tidak akan membatalkan perjanjian meski diberikan kesempatan, kan?" Dean tetap bicara pada Jina meski pintu telah tertutup.   Jina tentu mendengar apa yang Dean katakan, itulah alasan kenapa ia kembali membuka pintu kamarnya. Tatapan Jina masih penuh dengan kemarahan, tapi kali ini kemarahannya terlihat lebih jelas dari sebelumnnya.   "Itu alasanmu membawanya kemari? Kau hanya ingin melihat reaksiku agar kau tahu harus menyusun rencana apa selanjutnya? Aku pikir, kau punya sedikit kepedulian untukku, tapi kau memang manusia berhati dingin." Setelah mengatakan ini Jina pun kembali menutup, lalu mengunci pintu kamarnya.    "Bukan seperti itu maksudku, aku hanya ..." Dean tidak bisa mencari pembelaan apapun, sebab sadar kalau ucapannya tadi memang keterlaluan. Bahkan jika ia sangat ingin menanyakan hal itu, Dean pikir seharusnya bisa menjaga diri karena suasana hati Jina sedang tidak baik saat ini.    "Aku sudah keterlaluan. Aku minta maaf untuk hal itu." Dean kembali bicara, tapi tidak ada respon dari Jina.    Setelah lari saat ibunya datang, Jina terus mendapat telepon dari ibunya hingga ia harus memblokir nomor itu agar ia berhenti ditelepon karena itu sangat mengganggu. Sungguh, Jina lebih suka hidupnya ketika ia tidak tahu siapa ibu kandungnya, tidak, Jina tidak ingin mengakui wanita itu sebagai ibunya. Ibu macam apa yang membuang anaknya sendiri?    Di sisi lain, Jessica yang baru kembali setelah bertemu dengan seseorang, kini melihat Jina yang sedang duduk termenung di pinggir kolam renang sembari memangku akuarium yang berisi ikan yang sebelumnya dibeli. Setelah mendengar pembicaraan Jina dan Dean sebelumnya, Jessica merasa yakin kalau penyebab Jina melamun karena masalah tentang ibu kandungnya.   "Apa dia sudah makan dan minum susunya?" Jessica bertanya kepada salah satu pelayan. Dia yang dimaksud adalah Jina.   "Ya, Nona Jina sudah makan dan minum s**u, tapi Nona Jina lagi-lagi hanya makan sedikit. Saya lihat Nona Jina semakin sering melamun setelah Tuan Dean membawa seorang wanita ke rumah ini," jawab pelayan itu.    "Dean membawa wanita ke rumah ini? Siapa wanita itu?" tanya Jessica lagi.    "Saya tidak tahu pasti, tapi sepertinya, ibu dari Nona Jina. Nona Jina kadang membuat saya khawatir dengan segala tingkahnya, tapi melihatnya melamun seperti ini membuat saya jauh lebih khawatir." Pelayan itu pergi setelah selesai bicara dengan Jessica.    Dean tahu siapa ibu kandung Jina bahkan membawanya ke rumah ini. Itu adalah hal yang mengejutkan untuk Jessica. Tapi, apa yang pelayan katakan tadi memang benar, tingkah Jina memang menyebalkan, tapi saat melihatnya diam dan melamun itu terlihat mengkhawatirkan. Jessica tahu betul betapa sepi suasana di rumah ini sebelum Jina masuk ke sini dan sekarang satu-satunya sumber kebisingan hanya diam dan melamun.    Setelah berpikir selama beberapa saat, Jessica akhirnya memutuskan untuk mendekati Jina. Jessica bahkan dengan sigap mengambil akuarium yang nyaris jatuh karena Jina melamun. "Kau hampir membuat ikan ini mati," ucap Jessica.   Jina baru sadar dari lamunannya setelah mendengar suara yang tidak asing untuknya. "Terima kasih sudah menangkapnya." Jina mengambil akuarium yang ada di tangan Jessica.   "Permisi." Jina juga berniat pergi, tapi Jessica menahannya.   "Aku ingin bicara denganmu." Jessica memberikan alasan kenapa ia menahan Jina.    "Bicara apa?" tanya Jina.    Jessica tampak diam sesaat sembari menatap Jina. Melihat Jina setelah mendengar kisahnya membuat Jessica kasihan pada Jina. Jessica tidak menyangka jika Jina yang menyebalkan itu memiliki kisah masa lalu yang sangat menyedihkan.   "Aku mendengar semua yang kau ceritakan pada Dean. Itu karena ketidaksengajaan, jadi jangan berpikir kalau aku menguping pembicaraan kalian. Setelah mendengar cerita itu aku benar-benar tidak percaya kalau ada ibu yang seperti itu di dunia ini. Aku tahu ini berat untukmu, tapi ..." Jessica berhenti sejenak karena kata-katanya mungkin tidak begitu enak untuk didengar oleh Jina.   "Aku tahu kau sedih, tapi jangan biarkan kesedihan itu merusak pola makanmu. Dean terlihat sangat menyayangi anak dalam kandunganmu dan aku tidak mau dia terluka jika terjadi sesuatu pada anaknya karena kau terlalu larut dalam kesedihanmu." Jessica melanjutkan kalimatnya.   Bahkan sedih pun ia tidak boleh sekarang, pikir Jina. Ini membuat Jina kesal, tapi ia juga tahu kalau yang Jessica katakan memang ada benarnya. "Ya, saya akan sangat menjaga pola makan lagi. Saya juga tidak ingin menjadi ibu yang buruk. Permisi," ucap Jina, lalu pergi.    Jessica tampak tersenyum tipis saat melihat dan mendengar cara Jina bicara padanya. "Itulah dirimu yang asli. Lebih baik kau bertingkah, tapi semuanya baik-baik saja," gumam Jessica.    Di dalam kamarnya, Jina saat ini sedang menatap pantulan dirinya dicermin. Jina juga meraba perutnya dan bersyukur karena cepat menyadari kebodohannya yang terlalu nemikirkan wanita itu sampai mengabaikan kebaikan untuk anaknya.   "Sadar, Jina. Untuk apa kau sedih, marah, atau bingung karena wanita itu? Memang itu akan mengubah sesuatu? Tidak. Kau harus menjaga sesuatu yang paling berharga, yaitu anakmu." Jina bicara pada pantulan dirinya dicermin.   "Jangan biarkan orang tidak penting mengganggu ketenanganmu." Jina kembali bicara pada dirinya sendiri. Ini adalah cara Jina untuk membuat dirinya baik-baik saja.    "Ah, aku ingin pajeon lagi." Lalu, Jina keluar dari kamarnya untuk makan.   Dean masih ingat betul bagaimana Jina melamun dengan perasaan campur aduk karena kedatangan wanita yang mengaku sebagai ibu kandungnya, hingga semua itu mempengaruhi pola makannya. Dean juga ingat tadi siang Jina menatapnya dengan tatapan marah, tapi saat pulang dari kantor, ia melihat Jina yang terlihat sudah baik-baik saja. Wanita itu berbaring di sofa sembari menonton TV bahkan tertawa keras karena adegan lucu dari acara yang dia tonton.   "Kau baik-baik saja?" tanya Dean.  "Ya," jawab Jina singkat dan ia hanya menoleh sekilas pada Dean.    "Secepat itu?" tanya Dean lagi.    Jina kembali menoleh pada Dean, lalu berkata, "Astaga, kau sangat menyebalkan. Bukankah bagus kalau aku baik-baik saja? Lihat ..." Jina menunjuk buah dan pajeon yang ada di atas meja. "Aku juga sudah makan dengan baik, jadi kau dan ibumu tidak perlu bicara ini itu untuk menyuruhku makan dengan baik," ucap Jina lagi dan setelahnya kembali fokus pada TV.    "Ya, itu bagus. Tapi, bagaimana bisa secepat itu?" Dean lagi-lagi bertanya pada Jina.    Jina berdecak karena merasa terganggu karena Dean terus bertanya. Jina yang tadinya berbaring, kini duduk di sofa agar bisa fokus menatap Dean. "Seperti inilah diriku. Aku juga berpikir, apa ada gunanya jika aku terus sedih? Tidak, kan? Dia yang meninggalkanku, lalu kembali setelah sekian lama. Dia tidak bersamaku untuk waktu yang lama, lalu datang dan aku berpikir, kenapa aku harus membusng-buang waktu untuk memikirkannya dan membuat diriku sedih?"   Dean masih tidak percaya dengan apa yang ia dengar, sebab belum pernah melihat orang seperti Jina sebelumnya. Melupakan kesedihan dengan cepat memang bagus, tapi sulit dipercaya bisa secepat yang Jina lakukan.   "Apa Ibuku memberitahumu untuk tidak sedih, lalu kau bersikap seperti ini? Berpura-pura tidak sedih itu tidak baik. Kau hanya akan membuat dirimu tertekan, lalu akhirnya anakku yang akan menjadi korban," ucap Dean yang nasih tidak percaya kalau Jina berubah begitu cepat.    "Astaga, apa yang sebenarnya kau inginkan? Aku sungguh baik-baik saja sekarang. Pergilah dan aktifkan mode diammu. Jangan menggangguku." Jina kembali kembali berbaring dan mengabaikan Dean, karena pria itu benar-benar mengganggunya.   Dean harap Jina memang baik-baik saja. Meski sifat Jina terlihat membingungkan, tapi Dean pikir bagus jika punya kekuatan seperti itu, jadi tidak perlu waktu lama untuk terjebak dalam kesedihan.  ••••   Sunny terus mengulik tentang kehidupan Jina saat ini, usahanya itulah yang membuatnya sampai di hadapan Minhyuk. Awalnya Minhyuk bingung saat mengetahui ada seorang wanita yang ingin bertemu dengannya, hingga akhirnya wanita itun mengatakan siapa dirinya dan kedatangannya adalah untuk membayar utang ibu angkat Jina. Entah kisah macam apa ini, Minhyuk sangat tidak mengerti.   "Utang itu adalah urusanku dengan Jina, jadi biarkan aku menyelesaikannya dengan Jina." Uang memang penting, tapi Minhyuk masih punya ketertarikan pada Jina. Jika utang ini lunas sekarang, maka akan semakin sulit untuk membuat wanita itu tunduk padanya.    "Jina adalah putriku, jadi sudah jelas kalau aku juga terlibat dalam urusan itu. Aku akan memberikan uang ...."   "Bahkan jika kau meletakan uang itu di rumahku, aku tidak akan menganggap utang itu lunas karena aku masih belum menyetujuinya." Minhyuk menyela kalimat Sunny.    Pria berengsek. Itulah yang Sunny lihat dari Minhyuk saat ini. Minhyuk benar-benar ingin memiliki Jina sampai tidak mau menerima uang pelunasan utang. Untuk pria seperti itu memang tidak ada kata lain yang tepat untuknya, selain berengsek.    "Kau tidak akan bisa memiliki Jina. Kau tahu kenapa? Dia sudah terikat kontrak dengan Dean, orang yang sangat kaya. Jina akan mendapatkan uang begitu melahirkan anak Dean, lalu dia akan melunasi utangnya, lalu kau tidak akan bisa menindasnya lagi." Minhyuk sangat terkejut mendengar ucapan Sunny yang satu ini.    "Aku tidak ingin anakku berada di bawah kekuasaan siapapun, karena tugas seorang ibu adalah menjaga anaknya. Aku akan segera mengirimkan uangnya padamu. Aku permisi." Sunny pergi meninggalkan rumah Minhyuk.   "Jadi, seperti itu itu hubungan mereka? Kegilaan macam apa itu?" Mihyuk terdengar bergumam, yang ia maksud kegilaan adalah apa yang Dean lakukan pada Jina.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD