Part 11

1394 Words
Pertama mengajak Jina pergi untuk membeli ikan, lalu sekarang mendatangkan seseorang yang akan memasak sup hanya untuk Jina. Dean seperti benar-benar mencurahkan seluruh perhatiannya pada Jina, itulah yang ada di benak Jessica saat ini. Sudah lama sejak terakhir kali Jessica melihat Dean seperti ini pada wanita.   Sembari menunggu Bibi Kim selesai memasak, Jina sibuk dengan ikan peliharaannya. Jina terlihat sangat menikmati waktu kebersamaannya dengan ikan kecil yang terlihat cantik itu. "Makanan yang banyak, agar kau cepat besar," ucal Jina.    "Kau bodoh? Ikan itu mana bisa tumbuh lebih besar lagi?" lalu datang Dean yang menyahuti ucapan Jina.   Jina melirik Dean dengan lirikan tajamnya. Saat diajak bicara pria itu malah mengaktifkan mode diam, tapi saat tidak diajak bicara dia malah bicara bahkan mengatainya bodoh. Manusia macam apa itu?    "Jangan merusak suasana hatiku." Jina kembali memberikan ikannya makan.    "Aku bicara kenyataan." Dean lagi-lagi menyahut.    Jina kembali menoleh pada Dean, lalu berkata, "Sepertinya mode diammu sedang tidak aktif. Kenapa?"   "Aku hanya tidak suka melihat kebodohanmu." Dean pun pergi setelah menjawab pertanyaan Jina.   "Aku hanya asal bicara untuk bersenang-senang, kenapa dia malah mengejekku?" kesal Jina yang terdengar sampai ke telinga Dean. Walau mendengar apa yang Jina katakan Dean kali ini tidak menyahut, tapi pria itu terlihat tersenyum kecil untuk pertama kalinya.    "Dean, kita perlu bicara." Ini adalah ucapan Jessica yang saat ini sudah berdiri tepat di depan Dean    "Tentang apa? Jika ini tentang perpustakaan, maka kita tidak perlu bicara. Aku mohon, Ibu, jangan menggangguku untuk hal seperti itu." Dean yakin hal itulah yang ingin ibunya bicarakan.    "Jira sudah lama pergi dan kau harus melupakannya. Lupakan semua hal menyakitkan dari masa lalumu dan tatap masa depanmu. Ibu ingin melihatmu bahagia." Entah sudah berapa kali Jessica mengatakan keinginannya untuk melihat Dean bahagia, tapi putranya masih saja terjebak dalam masa lalunya.   "Supnya sepertinya sudah matang. Ayo kita makan." Dean pun pergi meninggalkan ibunya.    "Dean, dengarkan ibu." Jessica memanggil nama Dean, tapi yang dipanggil tidak mau berhenti dan bicara dengannya.  ••••   Dean masih ingat betapa besar keinginan Jina untuk makan sup buatan Bibi Kim hingga rela antre dan kecewa saat tidak bisa menikmati sup itu. Tapi saat sup itu sudah ada di depan matanya, Jina hanya makan satu suap saja dan mengatakan ingin makan makanan lain. Ini bukan masalah rasa supnya karena Dean sudah mencoba dan rasanya enak, tapi Jina yang memang sudah tidak ingin makan sup itu lagi.    "Aku sampai memanggil Bibi itu ke rumahku untuk memasak sup dan kau hanya makan satu suap saja. Apa kau mempermainkanku?" ucap Dean.   "Lalu, aku harus bagaimana? Aku merasa mual. Aku ingin makan pajeon (pancake khas Korea)." Jina memberikan penjelasan tentang kenapa ia tidak makan sup lagi.    "Itu hal yang biasa terjadi pada wanita hamil. Kau ingin punya anak, kan? Jadi pahami juga hal seperti ini." Jessica yang juga ada di meja makan ikut bicara karena Dean terlihat agak kesal.    "Buatkan dia pajeon." Dean langsung meminta pada pelayan untuk membuatkan Jina pajeon. Dean memang agak kesal karena merasa kalau usahanya tidak dihargai, tapi Jina memang mual, maka tidak ada yang bisa dilakukan, selain memberikan apa yang dia inginkan. Dean berharap Jina tidak akan mual lagi saat makan pajeon.   "Biar aku saja." Jina sudah berdiri saat ini dan ingin pergi ke dapur, tapi Dean dengan cepat menahan tangannya.   "Biarkan mereka yang membuatnya dan kau duduk saja. Aku tidak mau terjadi sesuatu pada anakku," ucap Dean.    "Aku hanya akan memasak, bukan naik gunung. Aku sudah lama tidak memasak dan aku tiba-tiba rindu memasak. Aku juga tidak boleh terbiasa dengan semua pelayanan itu, karena nanti aku harus kembali ke kehidupan asliku." Jina menepis tangan Dean, kemudian pergi ke dapur.   "Kau terlihat sangat perhatian padanya. Ibu memang ingin kau membuka hati lagi, tapi tidak dengan wanita seperti Jina." Jessica memberikan komentar setelah melihat perhatian Dean pada Jina.    "Itu karena dia sedang hamil. Aku juga tidak tertarik lagi dengan sebuah hubungan percintaan, selain cinta untuk anakku." Dean bicara dengan tegas, agar ibunya tidak berharap terlalu banyak padanya.    "Lalu, kau ingin hidup seperti ini untuk seterusnya?" tanya Jessica.   "Ya. Aku tidak ingin terluka lagi." Setelah bicara Dean langsung pergi untuk menyusul Jina.    Di dapur, Jina terlihat mulai menyiapkan semua bahan-bahan untuk membuat pajeon. Pelayan yang ada di sekitar Jina berulang kali meminta wanita itu berhenti dan biarkan mereka yang memasak, sebab mereka takut jika Dean akan marah nantinya. Namun, Jina tidak peduli dan tetap memasak sendiri.    Lalu, Dean datang ke dapur dan membuat pelayan semakin takut. Mereka benar-benar takut kalau Dean akan marah. "Ayo kembali ke meja makan dan biarkan mereka yang memasak," ucap Dean yang saat ini berdiri di sebelah Jina, tapi wanita itu masih saja sibuk dengan pekerjaannya.   "Kau tahu? Di kehidupan asliku, aku harus masak sendiri dan itu membuatku berpikir pasti akan menyenangkan jika ada orang yang memasak dan melayaniku setiap hari. Aku mendapatkan itu, tapi sekarang aku malah merindukan kegiatan rutin dari kehidupan asliku. Jadi, jangan menggangguku!" Jina menyenggol Dean menjauh karena pria itu hanya datang untuk mengganggu saja.    Karena Jina tidak bisa dihentikan, maka Dean hanya bisa berdiri saja sembari menatap Jina memasak. Melihat Jina mengikat rambut tepat di depan matanya dan sibuk dengan pekerjaan dapur adalah hal yang baru untuk Dean. Itu bukanlah sesuatu yang istimewa, tapi Dean tidak mengerti kenapa ia sangat betah menatap Jina.    "Tolong ambilkan aku sendok itu." Jina baru saja meminta tolong pada Dean untuk mengambil sendok yang ada di dekatnya, tapi pria itu tidak merespon ucapannya, dan hanya menatapnya saja. Jina pikir mode diam Dean semakin mengkhawatirkan sekarang.    "Dean!" Jina meninggikan suaranya dan kali ini Dean baru merespon.    "Kenapa kau berteriak dengan memanggil namaku? Sangat tidak sopan!"   Jina langsung berdecak setelah mendengar kekesalan Dean padanya. "Aku tidak akan berteriak jika kau merespon apa yang aku katakan."   "Memang kau bicara padaku?" pertanyaan Dean yang satu ini membuat Jina semakin kesal.    "Lupakan saja." Pada akhirnya, Jina mengambil sendiri sendok yang ia butuhkan karena tidak ada gunanya meminta tolong pada Dean.    Sementata Dean benar-benar tidak sadar kalau Jina bicara padanya karena ia terlalu fokus pada hal yang menurutnya konyol, tapi entah kenapa tidak membuatnya bosan. Setelah yang terjadi tadi, Dean memutuskan untuk pergi dari dapur, karena akan sangat membuang-buang waktu jika terus di sini.  ••••   Setelah menikmati pajeon, Jina bersantai di balkon rumah mewah Dean. Udara malam ini terasa sangat menyegarkan, karena itulah Jina betah lama-lama di sini. "Apa aku bisa punya rumah sebesar ini di masa depan? Kalau saja bisa, maka itu akan sangat menyenangkan," gumam Jina.    Beberapa saat setelahnya, Jina mendapat telepon dari nomor yang tidak ada di daftar kontaknya. Jina enggan menjawab telepon dari orang yang tidak dikenal, jadi ia mengabaikan telepon itu. Namun, Jina kembali mendapat telepon dari nomor yang sama. Karena tidak ingin diganggu terus menerus membuat Jina akhirnya menjawab telepon itu.    "Halo?" ucap Jina, tapi tidak ada suara yang terdengar.   "Ini siapa?" Jina kembali bertanya, tapi tetap orang yang meneleponnya tidak mau bicara.    "Sial! Jangan meneleponku jika kau hanya ingin diam seperti ini!" saat Jina akan mengakhiri telepon itu lawan bicaranya akhirnya bicara.   "Jina, ini ibu."   Jina kembali menatap layar ponselnya untuk melihat lagi nomor yang meneleponnya. "Ini bukan nomor yang sebelummya Ibu gunakan untuk meneleponku. Bagaimana cara Ibu mendapatkan ponsel saat di dalam penjara?" tanya Jina.    "Aku ibu kandungmu." Wanita diseberang sana kembali bicara. Kalimat ini membuat Jina terdiam selama beberapa saat.    "Kau pikir, aku akan percaya karena ucapanmu? Siapa sebenarnya kau?" nada bicara Jina langsung berubah menjadi dingin.    Sementara itu di belakang Jina ada Dean yang tadinya berniat meminta Jina untuk masuk ke kamar karena ini sudah malam, tapi melihatnya masih bicara dengan seseorang ditelepon membuat Dean menunda hal itu.    "Maafkan ibu karena meninggalkanmu begitu saja, tapi berikan ibu kesempatan untuk menebus semua kesalahan ibu. Ibu sangat ingin bertemu denganmu."     Jina terlihat meremas ponselnya ketika telinganya kembali mendengar kalimat dari lawan bicaranya. Ibu, ibu, ibu. Itu membuat Jina muak. Wanita yang dulu meninggalkannya di panti asuhan, kini tiba-tiba mencarinya. Omong kosong macam apa itu?    "Aku bahkan tidak tahu seperti apa wajahmu, tapi kau masih berani mengaku sebagai ibu kandungku. Aku tidak punya ibu kandung. Ibu kandungku sudah mati saat dia meninggalkanku!" Jina langsung mengakhiri pembicaraan itu, lalu pergi dari balkon. Jina melihat keberadaan Dean, tapi perasaannya sangat kacau hingga tidak ingin bicara dengan siapapun.    Dean tidak tahu pasti masalah apa yang Jina hadapi saat ini, tapi setelah mendengar ucapannya tadi dan melihat reaksinya maka pasti itu adalah masalah yang besar. Dean juga penasaran apa masalah Jina dengan ibu kandungnya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD