Part 14

1597 Words
Setelah melunasi utang yang harus Jina tanggung seorang diri, Sunny kembali datang ke rumah Dean untuk mengatakan hal ini pada Jina. Kali ini, Jina tidak lari seperti saat pertama kali bertemu, tapi Sunny tidak merasa ada perubahan baik di antara dirinya dan Jina.    Jina tampak tersenyum setelah mendengar ucapan dari wanita yang duduk di hadapannya. Jina pikir masalah ini akan sedikit membaik setelah ia memblokir nomor dari wanita yang mengaku sebagai ibunya, tapi wanita itu malah meneleponnya dengan nomor baru dan sekarang muncul lagi di hadapannya untuk mengatakan semua kebaikannya.    "Lalu? Kau ingin aku bereaksi seperti apa? Berterima kasih?" Jina bicara dengan nada dinginnya.    "Jina, aku ibumu. Kau harus memanggil ibumu dengan sebutan ibu. Ibu tidak mengharapkan terima kasih darimu, tapi ibu hanya kau ikut dengan ibu. Semua ini tidak benar, jadi kau harus menghentikan kegilaan ini. Ayo pergi bersama ibu." Sunny terus merayu Jina agar mau ikut dengannya.    "Ibu akan membayar uang penalti pada Dean karena kau melanggar kontrak." Sunny kembali bicara pada Jina. Sunny ingin Jina tinggal bersamanya apapun yang terjadi. Ia akan menyingkirkan semua penghalang yang membuat Jina tidak bisa bersamanya.   "Lalu, bagaimana dengan anak yang sekarang aku kandung?" tanya Jina.    "Ibu serahkan keputusan itu padamu. Kau ingin mempertahankannya atau tidak, itu terserahmu," jawab Sunny.    "Lalu, kenapa dulu aku dibuang? Kenapa kau memilih untuk melakukan itu padaku? Orang bilang, ibu harus menghormati, tapi, apa aku juga harus menghormati seorang ibu yang telah membuangku?" pertanyaan kembali keluar dari bibir Jina.    Untuk pertanysan Jina yang satu ini, Sunny tidak bisa menjawab secepat tadi. Itu adalah pertanyaan yang tidak pernah ingin Sunny dengar, tapi ia tahu betul kalau Jina pasti akan mempertanyakan hal itu ketika bertemu dengannya.     "Ibu terpaksa melakukannya. Ibu sangat ketakutan dan tidak tahu bagaimana cara membesarkanmu. Ibu tidak punya siapapun untuk bisa berbagi beban itu, karena ayahmu lari dari tanggungjawab. Maafkan ibu karena melakukan itu padamu. Tolong berikan ibu kesempatan untuk memperbaiki semuanya." Sunny meneteskan air matanya di depan Jina.   Di sisi lain, ada Dean yang hanya bersama dengan ibunya sembari menunggu Jina selesai bicara dengan Sunny. "Apa akan baik-baik saja membiarkan mereka bicara berdua saja?" ujar Jessica.   "Jina yang setuju untuk bicara dengannya, jadi seharusnya baik-baik saja." Dean yakin kalau Jina dan Sunny akan baik-baik saja, tapi ia justru takut kalau Jina ingin mengakhiri semua kontrak dengannya karena bujukan Sunny.    Sedangkan Jina terlihat menahan tangisannya karena setelah sekian lama akhirnya ia tahu alasan kenapa dirinya dibuang. "Jadi, aku adalah beban untukmu?" inilah yang Jina tangkap dari cerita itu.    "Bukan seperti itu maksud ibu, Jina. Tolong pahami kondisi ibu."   "Aku yang ditinggalkan dan dan aku juga yang dibuang. Jadi, kenapa aku yang harus memahami semua ini?" Jina pergi setelah mengatakan ini. Tidak ada terima kasih, sebab Jina merasa itu tidak perlu untuk dikatakan. Jika wanita itu memang benar ibunya, maka apa yang dia lakukan hanyalah penebusan dosanya, jadi tentu tidak perlu berterima kasih.   "Jina, dengarkan ibu. Ini tidak benar, kau harus menyudahi kegilaan ini. Bagaimana kau bisa menjual anakmu sendiri?" Sunny bicara sembari mengikuti Jina.    Langkah Jina terhenti, lalu ia kembali menatap wanita yang mengaku sebagai ibunya. "Anak ini akan tinggal bersama ayahnya dan hidup dengan nyaman, bukan ditinggalkan di depan panti asuhan saat hujan salju. Pernah membayangkan bagaimana jika tidak ada yang membuka pintu saat itu? Aku akan mati kedinginan!" Jina menekankan kalimatnya. Jina mengetahui itu dari ibu pengurus panti asuhan dan itu karena ia bersikeras ingin tahu masa lalunya. Sekarang, Jina menyesal telah menanyakan hal itu, sebab tidak ada gunanya mengetahui hal itu atau tidak.    "Lalu, apa bedanya apa yang kau lakukan dengan yang ibu lakukan? Kau juga membuat dirimu menjadi ibu yang buruk." Ucapan Sunny yang satu ini membuat Jina terdiam. Begitu terdiamnya Jina hingga dia pergi tanpa mengatakan apapun lagi.    Jina masuk ke kamarnya dengan kalimat Sunny yang terus memenuhi benaknya. Tidak peduli betapa sering Jina mengatakan apa yang ia lakukan tidak sepenuhnya salah karena anaknya akan tinggal dengan Dean, bukan ia tinggalkan begitu saja. Namun, itu tidak akan membuatnya berbeda dari orang yang telah membuangnya.   "Aku berbeda. Aku tidak sama dengannya." Jina bicara seorang diri.  ••••   Setelah Jina bertemu dengan Sunny, Dean belum bicara lagi dengannya karena Jina hanya diam di kamar dan tidak mau bicara meski sudah berulang kali diajak bicara. Kali ini, Dean harap Jina cepat kembali ceria sebelumnya. Tidak apa-apa jika Jina sedikit bertingkah, daripada dia diam dan mengurung diri seperti ini.    Dean benar-benar penasaran dengan apa yang dibicarakan oleh Jina dan Sunny, tapi ia tidak bisa langsung bertanya bahkan setelah Jina keluar dari kamar untuk makan malam. Dean takut akan mengeluarkan pertanyaan yang akan menyinggung Jina. Astaga, Dean tidak tahu sejak kapan ia peduli pada perasaan Jina.    "Bagaimana dengan pembicaraanmu tadi?" karena Dean tidak kunjung bertanya, maka Jessica yang bertanya pada Jina.    Jina meninum air yang ada di hadapannya, lalu menjawab pertanyaan Jessica. "Tidak ada yang istimewa. Dia mengatakan sudah membayar utangku pada Minhyuk ...."   "Minhyuk? Apa yang kau maksud adalah Oh Minhyuk?" Jessica menyela kalimat Jina.    "Ya, dia kakak Dean, kan? Aku pernah mendengar itu ...."   "Mari jangan membahas hal itu. Jika wanita itu sudah membayar utang itu, lalu, apa keputusanmu selanjutnya? Apa kau mencoba untuk berkhianat padaku?" kini giliran Dean yang menyela kalimat Jina.    Seperti yang sudah Jina duga, wajah Dean akan sangat menakutkan jika sudah menyangkut pengkhianatan, itu cukup untuk sedikit menciutkan nyali Jina. "Tidak, aku tidak pernah memikirkan hal itu. Kau pikir, aku mau menerima semua kebaikannya, lalu tinggal dengannya? Aku tidak akan melakukan hal itu aku tetap perlu uang dari kontrak itu untuk mengembalikan uang wanita itu." Jina berkata seperti ini bukan karena takut, tapi memang inilah yang ada di dalam benaknya.   "Baiklah, aku akan selalu mengingat apa yang kau katakan hari ini. Jika kau berani berkhianat dan mengakhiri kontrak secara sepihak, maka bukan pinalti saja yang harus kau bayar, tapi sesuatu yang lebih besar. Mengerti?" Dean memperingati Jina. Untuk hal yang satu ini Dean tidak akan pernah bersikap lembut pada Jina.    "Tapi, tentang Minhyuk ..." Jessica ingin membicarakan tentang Minhyuk, tapi Dean memberikan isyarat padanya untuk diam.   Tadinya, Jina ingin membalas ucapan Dean, tapi melihat gerak-gerik Dean dan Jessica membuatnya memilih untuk diam. Entah sebesar apa rahasia keluarga Dean yang tidak diketahui oleh banyak orang, termasuk dirinya. Jina penasaran, tapi mungkin akan lebih baik untuk tidak mengetahui sesuatu yang bukan urusannya.  ••••   "Jadi, Jina berhubungan dengan Minhyuk? Kenapa kau memilih seseorang yang berhubungan dengan anak itu?" tanya Jessica yang saat ini hanya berdua saja dengan Dean.    "Mereka berhubungan karena utang, tidak lebih dari itu. Kenapa itu sangat penting?" ucap Dean yang sudah bersiap untuk berangkat bekerja.   "Tentu saja itu penting. Bagaimana jika hubungan itu mendatangkan masalah untukmu?"    Dean menghela napas karena ibunya yang terlalu berlebihan. Kalau memang terjadi masalah seperti sebelumnya, ia yakin bisa mengatasi masalah itu. "Tidak akan terjadi apa-apa. Tapi, kapan Ibu akan kembali ke Amerika?"    "Kau mengusir ibu?" tanya Jessica.    "Tidak. Aku hanya bertanya," jawab Dean.    "Setelah mengetahui kegilaanmu, ibu tidak berencana untuk meninggalkan Korea dalam waktu dekat." Dan Jessica pergi meninggalkan Dean.    Ya, itulah alasan ibunya ada di sini. Selama ibunya tidak melakukan apapun untuk mengacaukan semua rencananya, maka Dean tidak masalah dengan hal ini. Sesuatu yang sudah ditetapkan, maka itu harus terjadi.  ••••   Di sebuah rumah mewah, seorang pria tengah terbaring lemah di ranjang tempat tidurnya. Wajahnya terlihat pucat bahkan pria ini tidak bisa duduk sendiri hingga harus dibantu oleh anaknya. Pria itu adalah Lee Jaehan, pria lanjut usia yang merupakan ayah dari Sunny dan kakek dari Jina.    "Ayah sudah minum obat?" tanya Sunny sembari membenarkan selimut sang ayah.    "Ya, ayah sudah meminum obat ayah. Bagaimana dengan Jina? Kapan kau akan membawanya pulang? Ayah merasa sangat bersalah karena baru mengetahui tentang dirinya," ucap Jaehan dengan nada lemahnya.   Beberapa bulan yang lalu, sebelum hanya bisa terbaring di tempat tidur, Jaehan menemukan beberapa foto bayi disimpan oleh Sunny saat membantu sang putri mencari kalung yang diberikan oleh mendiang istrinya. Awalnya, Jaehan mengira itu adalah foto bayi teman Sunny, tapi di belakang foto itu ada sebuah tulisan [Lee Jina, putriku]. Hal itu membuat Jaehan sangat terkejut, lalu bertanya dengan sangat tegas pada Sunny tentang Jina. Dari sanalah Jaehan tahu kalau Sunny pernah hamil dan melahirkan bayi ketika ia sibuk mengurus bisnis di luar negeri, sedangkan Sunny ada di Korea.   Jaehan begitu terkejut mengetahui hal itu hingga membuat kesehatannya memburuk dan akhirnya menjadi seperti ini. Jaehan merasa gagal sebagai seorang ayah karena ia terlalu sibuk pada bisnis hingga tidak tahu apa yang terjadi pada putrinya. Jaehan juga merasa sangat bersalah pada Jina dan meminta Sunny untuk mencari keberadaan Jina, lalu membawanya pulang.    "Aku akan terus mencarinya, lalu membawanya pulang. Aku janji," ucap Sunny. Sunny memilih untuk tidak mengatakan apa yang terjadi pada Jina saat ini, karena itu bisa memperburuk kesehatan ayahnya.    "Jangan buat ayah kecewa lagi. Ayah bahkan masih tidak bisa mengerti kenapa kau bisa melakukan semua itu pada putrimu sendiri." Jaehan terlihat menangis. Di hari tuanya, Jaehan begitu ingin pergi dari dunia ini setelah melihat putrinya menikah, tapi ia malah mengetahui hal ini.    "Saat itu, aku sangat ketakutan ayah."   "Jika ayah tidak memintamu melakukan ini, kau tidak akan pernah mencari keberadaan putrimu, kan? Kau bahkan tidak peduli bagaimana dia bertahan hidup di luar sana. Kita hidup dengan nyaman di sini, tapi Jina ... kita bahkan tidak tahu apakah dia makan dengan baik atau tidak."    Sunny langsung mengambil tisu untuk mengusap air mata ayahnya. "Jangan menangis, Ayah. Lebih baik Ayah istirahat." Sebenarnya, Sunny tidak pernah ingin membahas Jina lagi sampai kapanpun. Jika mengingat Jina, maka Sunny akan mengingat masa lalunya yang begitu buruk. Namun, demi ayahnya ia harus mencari Jina bahkan melakukan segala upaya untuk membawanya ke rumah ini. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD