Di tempat lain, Jina saat ini sedang berdiri di hadapan seorang wanita yang mengaku sebagai ibu Dean. Jina bahkan baru tahu kalau Dean masih punya seorang ibu dan yang terpenting adalah ia sangat benci tatapan wanita itu. Ibu dan anak tidak ada bedanya, pikir Jina.
Setelah selesai menelepon Dean, Jessica kembali fokus pada orang asing yang ada di rumah putranya. Awalnya, Jessica pikir wanita itu adalah pelayan, tapi apa yang dia lakukan tidak terlihat seperti itu. Tadi, wanita itu bahkan menaikan kakinya ketika menonton TV.
"Sebenarnya, siapa kau?" tanya Jessica.
"Aku Lee Jina. Aku sudah mengatakan itu tadi," jawab Jina.
"Aku ingin tahu lebih dari sekadar nama. Apa hubunganmu dengan Dean? Kenapa Dean membiarkan wanita tidak sopan sepertimu tinggal di rumahnya?" Jessica memperjelas pertanyaannya.
Sebenarnya, tanpa diperjelas pun Jina sudah tahu maksud dari pertanyaan Jessica dan itulah masalahnya. Jina sudah menandatangani kontrak yang salah satu isinya adalah ia tidak boleh mengatakan secara detail tentang bayi tabung itu kepada siapapun. Jina masih berani bertingkah di hadapan Dean, tapi tidak dengan yang satu itu karena Dean bisa saja memotong uangnya. Lagi pula, kenapa Dean tidak mengatakan kalau ibunya akan datang?
"Itu ... aku tidak punya hak untuk menjawab. Tanyakan langsung pada Dean. Dia akan pulang, kan?"
"Tidak punya hak untuk memjawab? Hubungan macam apa itu?" Jessica sangat tidak bisa memahami hal ini.
"Akkhhhhh, perutku sakit. Aku harus ke kamar mandi. Permisi." Dari pada terjebak dalam posisi ini, Jina lebih memilih untuk pergi dengan cara berbohong.
Saat ada di kamar mandi, Jina menghubungi Kevin untuk meminta nomor telepon Dean. Meski sudah tinggal bersama, tapi Jina belum punya kontak Dean. "Kenapa tiba-tiba kau ingin nomor teleponnya?" Kevin bertanya pada Jina.
"Sial! Kirimkan saja padaku. Awas jika tidak kau kirim sekarang juga, aku sungguh akan menghajarmu saat kita bertemu lagi." Jina langsung menyudahi pembicaraan ini setelah mengatakan ini pada Kevin.
Tidak perlu waktu lama bagi Kevin untuk mengirimkan nomor telepon Dean pada Jina. Setelah mendapat nomor telepon Dean, maka tentu saja Jina langsung menghubungi pria itu. Ketika pertama kali menghubungi Dean teleponnya tidak dijawab, begitu juga dengan yang kedua. Butuh usaha lebih bagi Jina sampai pria menjawab teleponnya.
"Siapa ini?" tanya Dean.
"Ini aku," jawan Jina.
"Jina? Dari mana kau mendapatkn nomorku?" Dean lagi-lagi bertanya.
"Apa itu sungguh penting sekarang? Kenapa kau tidak mengatakan kalau ibumu akan datang? Kau membuatku berada dalam situasi yang tidak aku sukai," ucap Jina dengan nada kesalnya.
"Aku juga tidak tahu kalau Ibuku akan datang. Aku sedang dalam perjalanan pulang sekarang, kau jangan bicara apapun pada Ibuku. Aku yang akan menjelaskan semuanya."
"Aku tahu. Cepatlah pulang!" Jina mengakhiri pembicaraan dengan Dean setelah mengatakan hal ini.
Karena ia tidak sedang sakit perut dan Dean juga belum pulang, maka Jina harus diam di kamar mandi tanpa tahu harus melakukan apa. Sebenarnya ini tidak terlalu buruk untuk Jina, tapi semuanya berubah ketika ibu Dean mulai menggendor pintu kamar mandi.
"Kau sudah selesai? Kita perlu bicara," ujar Jessica.
"Aku belum selesai!" Jina meninggikan suaranya agar didengar oleh ibu Dean.
"Aish, menyebalkan!" Jina menggerutu kesal, sebab bahkan setelah ia mengatakan hal itu ibu Dean masih saja menggedor pintu kamar mandi.
Tidak peduli berapa kali pintu itu digedor dan ia minta untuk keluar, Jina tetap tidak membuka pintu atau bicara dengan ibu Dean. Jina yang yang tadinya bingung harus melakukan apa, kini duduk di atas kloset dan bermain game sambil menunggu Dean datang.
Beberapa saat setelahnya, Jina mendengar suara Dean yang memanggil ibunya. "Ibu, ayo ke ruang kerjaku untuk bicara." Inilah yang Jina dengar. Jina membuka sedikit pintu kamar mandi dan setelah melihat Dean pergi bersama ibunya, barulah Jina keluar dari kamar mandi.
Sedangkan di ruang kerjanya, Dean menjelaskan semuanya pada ibunya tentang siapa Jina sebenarnya. Dean ingin menutupi semua ini, tapi itu juga tidak ada gunanya karena nanti ia juga akan tinggal dengan anaknya dan ibunya juga akan mengetahui hal itu.
Jessica tampak terdiam selama beberapa saat setelah mendengarkan penjelasan Dean. Jessica masih tidak percaya dengan semua ini. Jessica tidak bisa memahami bagaimana bisa putranya bisa melakukan hal gila dengan menyewa rahim seseorang dan ia lebih tidak mengerti lagi ada wanita yang mau menyewakan rahimnya. Entah apa yang ada dipikiran Jina hingga semudah itu untuk menjual anaknya sendiri.
"Ibu tahu kau sangat sedih setelah semua yang terjadi padamu, tapi kau tidak harus melakukan semua ini. Apa yang akan orang lain pikirkan nanti? Orang-orang akan membicarakanmu nanti, lalu bagaimana dengan anakmu nanti? Apa yang akan kau katakan padanya di masa depan? Apa kau sudah nemikirkan hal itu?" Jessica bicara panjang lebar pada Dean. Karena melahirkan dan membesarkan Dean membuat Jessica berpikir kalau ia sangat mengenal putranya, tapi itu adalah kesalahan karena pikiran Dean terlalu gila untuk dipahami.
"Aku sudah memikirkan semuanya dengan matang. Aku tidak peduli dengan apa yang orang lain katakan, karena aku hanya ingin seseorang untuk aku berikan semua cinta dan kasih sayangku. Aku akan memberikan semua yang terbaik untuk anakku, hingga dia tidak akan membutuhkan orang lain lagi, selain aku. Aku pikir, itu adalah cara terbaik untuk menyembuhkan diriku sendiri. Ibu juga ingin aku memiliki keturunan, kan? Ibu akan segera mendapatkannya."
Bahkan setelah Dean bicara begitu panjang padanya Jessica masih belum bisa memahami semua ini. Jessica belum pernah melihat hal segila ini terjadi di depan matanya dan bahkan ia tidak pernah berpikir kalau menyewa rahim benar-benar ada di dunia nyata, tapi putranya malah melakukan semua itu.
"Berapa usia kandungannya?" tanya Jessica.
"Sekitar 8 minggu," jawab Dean.
"Belum terlambat untuk menyudahi kegilaan ini."
"Apa maksud Ibu?" tanya Dean bingung.
"Gugurkan anak itu, karena semua ini tidak benar."
"Lalu, apa membunuh cucu Ibu sendiri adalah kebenaran? Kebenaran macam apa itu?" Dean dengan cepat bicara setelah mendengar jawaban dari ibunya.
Jessica tampak terdiam selama beberapa saat setelah mendengar ucapan Dean. Jessica tahu itu tidak benar, tapi mempertahankan anak itu juga tidak benar. "Tidak ada yang benar sekarang. Wanita itu, dia adalah wanita yang buruk. Ibu bisa melihat sifat buruknya ketika menginjakkan kaki di sini. Dia tidak punya sopan santun. Kau ingin wanita seperti itu menjadi ibu dari anakmu?"
"Jina akan pergi setelah anakku lahir, jadi itu tidak penting. Ibu, aku sudah dewasa, bukan anak kecil lagi. Aku tahu harus melakukan apa dan bagaimana cara menjalani pilihanku. Inilah pilihanku dan aku mohon pada Ibu jangan mengganggunya." Dean memohon pada ibunya.
"Ibu tidak menggsnggumu, tapi ibu hanya ingin yang terbaik untukmu."
"Inilah yang terbaik untukku." Dean dengan cepat membalas ucapan ibunya.
Jessica merasa tidak ada gunanya bicara pada Dean sekarang. Semua lukanya di masa lalu telah membuat Dean mengambil tindakan yang tidak benar dan memilih wanita yang salah. Ya, Jessica sangat yakin kalau Jina bukanlah wanita baik-baik.
••••
Ketika malam tiba dan semua orang sudah tidur, termasuk Jina. Tapi di tengah tidur nyenyaknya, Jina mendengar seseorang terus memintanya untuk bangun. Ketika Jina membuka mata, ia merasa silau karena lampu kamarnya yang telah menyala bahkan selimut tidak lagi menutupi tubuhnya dan ada seorang wanita yang berdiri di sebelah ranjangnya. Melihat hal itu membuat Jina langsung duduk di ranjang setelah melihat kehadiran ibu Dean.
"Kenapa ...."
"Sejak tadi, aku ingin bicara denganmu, tapi Dean selalu saja melarangku, jadi mari bicara sekarang." Jessica menyela kalimat Jina.
Gaya bicara Jessica begitu arogan dan Jina sangat membencinya, tapi wanita itu pasti tidak akan pergi sebelum bicara dengannya. Memangnya apa yang harus dibicarakan di jam seperti ini?
Saat ini, Jina duduk di pinggir ranjang, sedangkan Jessica duduk kursi dekat meja rias. Tatapan Jessica begitu mengintimidasi, tapi Jina tidak terlihat terpengaruh oleh hal itu. Jina malah terlihat enggan bicara karena mengantuk.
"Kenapa kau mau melakukan semua ini? Kau adalah seorang wanita dan sebentar lagi akan menjadi seorang ibu, bagaimana bisa kau menjual anakmu sendiri?" Jessica mulai bicara.
"Jika ... aku harus panggil apa? Bibi saja."
"Nyonya Jessica, panggil aku seperti itu karena aku bukan bibimu dan bicaralah lebih sopan padaku," ucap Jessica untuk menjawab pertanyaan Jina.
"Baiklah. Jika Anda, Nyonya Jessica berada dalam posisi saya, maka Anda akan memahami semua ini. Ini juga tidak mudah untuk saya, tapi tidak ada pilihan lain untuk saya." Jina membalas ucapan ibu Dean.
"Aku tidak tahu sebesar apa masalahmu dan aku juga tidak ingin tahu. Tapi aku tidak menyukai semua ini. Kau butuh uang, kan? Aku akan berikan itu padamu, tapi gugurkan anak itu dan pergi dari hidup anakku. Aku tidak ingin punya cucu yang ibunya tidak jelas. Tidak ada jaminan kalau di masa depan masalahmu tidak menyeret nama baik anakku." Jessica baru saja berusaha membuat kesepakatan baru dengan Jina.
"Berapa banyak yang bisa Anda berikan?" tanya Jina.
Jessica tampak tersenyum karena Jina yang terlihat tertarik pada tawaran itu. Uang memang bisa menyelesaikan segalanya, pikirnya. "Sebanyak yang Dean janjikan padamu."