Part 6

2132 Words
Pada akhirnya, Dean dan Jina duduk berseberangan di meja makan dan tengah menikmati makan malam mereka. Ya, Dean setuju dengan kesepakatan yang Jina buat, tapi itu bukan berarti ia tunduk pada Jina, tapi semua ini hanya demi anaknya. Dean tidak mau terjadi sesuatu pada anaknya karena ia tidak setuju pada kesepakatan itu.    Sejak tadi, Jina selalu mencoba fokus pada makanannya, tapi ia tidak bisa melakukan hal itu karena Dean yang selalu saja menatapnya. Tatapan pria itu sangat tidak enak dilihat, Jina takut kehilangan napsu makan di saat makanan enak berada tepat di depan matanya.    "Kenapa kau terus menatapku? Kau membuatku tidak nyaman." Jina akhirnya bersuara karena ia tidak tahan lagi dengan sikap Dean.   "Apa yang ada di otakmu hanya uang?" Dean pun merespon ucapan Jina.   Jina tidak mengerti kenapa Dean tiba-tiba menanyakan hal itu. Tapi karena Dean sudah bertanya, maka ia akan menjawav pertanyaan itu. "Ya, untuk saat ini, aku hanya memikirkan uang, karena uang bisa menyelesaikan masalahku." Dan inilah jawaban Jina.    "Uang begitu penting untukmu, tapi uang sebenarnya tidak sepenting itu. Ada masalah yang tidak bisa diselesaikan oleh uang tidak peduli berapa banyak uang yang kau miliki."    Jina sangat tidak berharap mendengar kalimat itu keluar dari mulut Dean, sebab kata-kata itu sangat tidak cocok dengan realita hidupnya. "Kau mungkin benar, tapi jangan membicarakan hal seperti itu denganku, orang yang hidup dengan dikejar oleh utang. Sekarang, aku tidak bisa memahami kalimat itu tidak peduli betapa keras usahaku untuk memahaminya. Kau mengerti?" balaa Jina.    "Aku masih penasaran tentang sejauh mana kau menipuku. Apa kau pernah menghasilkan uang dengan menjual diri?" Dean bicara secara terang-terangan pada Jina. Kalimat itu terdengar cukup menyakitkan, tapi Dean hanya ingin bicara apa adanya.   "Aku pernah memikirkan tentang hal itu, tapi belum sempat aku lakukan. Aku hanya memalsukan latar belakangku saja, tapi tidak dengan catatan kesehatanku, jadi jangan khawatir." Jina menjawab dengan santai dan juga apa adanya. Sejujurnya Jina suka gaya bicara Dean karena pria tidak berbelit-belit dan apa adanya.   "Kau juga berbohong tentang sifatmu." Dean menambahkan kebohongan Jina.    "Tentang hal itu ... aku rasa, itu bukan sepenuhnya kebohongan. Sifat seseorang bisa berubah tergantung situasi, jadi kau tidak benar-benar memahaminya. Jika kau memperlakukanku dengan baik, maka aku juga bisa bersikap lebih manis." Setelah mengatakan ini Jina baru sadar kalau ini pertama kalinya Dean mau bicara banyak padanya. Setidaknya ini bisa mengurangi rasa bosannya.    "Tutup saja mulutmu dan makanlah. Kau terlalu banyak bicara." Dean pun sadar kalau ia terlalu banyak bicara dengan Jina, maka dari itu ia langsung menghentikan semuanya.   "Ini bisa mengatasi rasa bosanku. Semakin sering kau bicara denganku, maka makin jarang aku bertingkah." Jina lagi-lagi bicara, tapi kali ini tidak ada respon dari Dean. Jina rasa pria itu sudah kembali ke mode diam, jadi mau bicara berapa banyak dia tidak akan memberikan respon. Sungguh, Jina ingin melenyapkan mode diam itu dari Dean.  ••••   Tengah malam telah tiba. Rumah Dean yang biasanya memang sepi, kini menjadi jauh lebih sepi. Semua orang sudah tidur, termasuk Jina yang biasanya paling banyak bertingkah. Sedangkan Dean masih minum sendirian di tempat penyimpanan wine yang ada di rumahnya. Orang lain mungkin melihatnya baik-baik saja, tapi itu bukanlah diri Dean yang sebenarnya. Ada luka yang tidak ingin ia perlihatkan pada siapapun.   Setiap teguk minuman yang masuk ke mulut Dean dibarengi dengan kenangan manis bersama seorang wanita yang sampai saat ini tidak bisa pergi dari benaknya. Setelah wanita pergi dan meninggalkan luka untuknya, Dean mencoba melanjutkan hidup dan berusaha melupakan semua kenangan masa lalunya, tapi itu sangat sulit untuk dilakukan bahkan sekarang luka itu seperti dirobek dan dibuat lebih dalam. Dean benci kenangan itu, tapi tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menyembuhkan dirinya sendiri.   Air mata yang selalu Dean tahan, kini jatuh begitu saja di pipinya. Dean terlalu malu untuk menangis hingga ia dengan cepat mengusap air mata yang mengalir di pipinya. Bahkan jika ada banyak orang mengatakan menangis adalah salah satu cara untuk meredakan sakit hati, tapi Dean tidak akan pernah menangis, karena menangis akan membuatnya terlihat lemah.   Setelah banyaknya tegukan masuk ke dalam tenggorokannya, Dean kini keluar dari ruangan itu. Dean tidak bisa berjalan dengan benar karena mabuk hingga membuatnya beberapa kali nyaris jatuh. Di sisi lain, Jina baru terbangun karena ia merasa haus dan tidak ada air yang tersedia di kamarnya. Mau tidak mau Jina harus keluar dari kamar untuk mengambil air, meski ia merasa malas untuk melakukan itu.   Saat akan berjalan ke dapur, Jina melihat seseorang yang tergeletak di lantai. Jina tidak tahu pasti siapa orang itu karena saat ini cukup gelap. "Apa itu maling? Tidak mungkin! Kenapa maling tidur di sini?" guman Jina.    Setelah Jina menyalakan lampu barulah diketahui siapa yang terbaring di lantai, itu adalah Dean. Melihat Dean dalam keadaan seperti ini membuat Jina langsung mendekati pria itu karena takut terjadi sesuatu pada pria itu. Sudah jelas jika terjadi hal buruk pada Dean, maka uangnya bisa berada dalam bahaya, dan Jina tidak ingin hal itu terjadi.    "kenapa kau berbaring di sini? Bangun!" Jina mencoba membangunkan Dean, tapi pria itu hanya bergumam tidak jelas tanpa membuka matanya.   "Apa dia mabuk?" Jina kini mendekatkan wajahnya ke wajah Dean dan aroma minuman beralkohol tercium dengan jelas dari mulut pria itu.    "Kenapa dia minum sampai seperti ini? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tidak bisa membawanya ke kamar sendirian. Sial! Dia benar-benar merepotkan. Apa aku tinggalkan saja? Dia juga tidak mungkin mati hanya karena tidur di lantai. Ya, abaikan saja." Setelah bicara panjang lebar dengan dirinya sendiri, Jina melanjutkan langkahnya ke dapur.   Setelah meminum air, maka Jina tentu kembali ke kamarnya untuk tidur. Jina sempat terdiam selama beberapa saat di dekat Dean, lalu setelahnya ia pergi meninggalkan Dean. Jina sungguh tidak ingin peduli pada Dean, tapi Jina ingin memastikan hal buruk tidak terjadi pada pria itu. Dean pingsan beberapa jam yang lalu dan kondisi kesehatannya sedang tidak baik saat ini, lalu sekarang dia terbaring di lantai dalam keadaan mabuk. Semua hal itu memunculkan pertanyaan dalam benak Jina. Apa Dean sungguh akan baik-baik saja jika dibiarkan seperti itu?    Jina yang tadinya pergi begitu saja, kini kembali dengan membawa bantal dan selimut. Jina memastikan kepala Dean nyaman di bantal, kemudian menyelimutinya. Jina juga tidak langsung pergi setelahnya, sebab ia memilih untuk duduk di dekat Dean dan terus menatapnya untuk memastikan kalau tidak ada hal buruk terjadi padanya.    "Demi uang aku harus melakukan semua ini. Hidupku sangat buruk." Jina bergumam seorang diri.    Jina duduk dengan memeluk kedua lututnya sembari terus menatap wajah Dean. Bahkan dari wajah saja sudah terlihat kalau Dean adalah sosok yang misterius. Dean adalah seorang pengusaha sukses dan masuk daftar orang terkaya di Korea, hanya itu yang Jina tahu tentang pria itu. Kehidupan pribadi Dean benar-benar menjadi misteri.   Makin lama, Jina semakin tidak bisa menahan rasa kantuknya. Jina pun akhirnya bersandar di sofa dan tertidur di sana. Jina merasa tidak bisa meninggalkan Dean begitu saja setelah tahu betapa buruknya cara Dean menjaga dirinya sendiri.  ••••   Saat pagi tiba, pelayan yang mulai bekerja terkejut melihat Dean yang tidur di lantai dan ada Jina di dekatnya yang tidur dengan bersandar di sofa. Mereka tidak berani membangunkan Dean, makanya hanya Jina saja yang saat ini mereka bangunkan. Salah satu pelayan itu menggoyangkan tubuh Jina dengan pelan sembari memangil namanya dengan tambahan nona di depannya.  Tidak perlu waktu lama Jina telah membuka matanya. Jina mengeluhkan tubuhnya yang terasa sakit karena posisi tidurnya yang tidak nyaman. Namun, perhatian Jina langsung beralih pada Dean. Wanita cantik ini langsung mendekati Dean untuk mengecek kondisinya dan semuanya terlihat baik-baik saja.    "Sebenarnya, apa yang terjadi? Kenapa Anda dan Tuan tidur di sini?" pelayan yang membangunkan Jina baru saja bertanya.    "Dia mabuk, jadi aku menemaninya di sini agar tidak terjadi sesuatu padanya. Ini bukan karena aku perhatian padanya, tapi untuk ..." Jina menahan kalimatnya, sebab Dean melarangnya memberitahu siapapun tentang kontrak itu.   "Pokoknya begitu." Jina melanjutkan kalimatnya dengan seadanya.    Dean mulai membuka matanya tepat setelah Jina bicara. Kepala Dean terasa agak sakit sekarang, lalu ia dibuat bingung oleh pelayan dan Jina yang kompak menatapnya, dan tentang di mana ia tidur saat ini. Terakhir kali yang Dean ingat adalah ia minun di tempat penyimpanan wine, bukan tidur di lanti.    Dean langsung berdiri, begitu juga dengan Jina. "Apa yang terjadi?" Dean bertanya pada Jina.    "Kau mabuk dan tertidur di sini. Aku bahkan harus membawakan bantal dan selimut, lalu ikut tidur di sini untuk memastikan kau baik-baik saja. Kau benar-benar merepotkan." Jina menjawab sembari mengerutu kesal dan pergi meninggalkan Dean.    "Nona Jina sangat perhatian," ucap salah satu pelayan.   "Tidak perlu banyak bicara dan bereskan saja semua ini." Dean dengan cepat membalas ucapan pelayan itu. Dean tahu untuk apa Jina melakukan semua ini, apalagi jika bukan uang. Tapi harus Dean akui kalau belum pernah ada orang yang sampai seperti ini padanya.  ••••   Sembari menunggu sarapan siap, Jina mengisi waktunya dengan duduk santai di sofa sembari menonton TV. Sejak dulu, Jina menginginkan kehidupan yang seperti ini, di mana ia tinggal duduk santai dan orang lain menyiapkan makanan untuknya, tapi lama-lama hal ini membosankan karena Dean seperti memenjarakannya. Tapi daripada keluar dan berurusan dengan Minhyuk, Jina tidak masalah untuk tetap diam di sini.    Jina terus mengganti siaran karena ia belum menemukan sesuatu yang menarik. Lalu, ada berita yang cukup menarik perhatiannya, yaitu berita tentang pernikahan seorang aktor terkenal dengan seorang wanita yang berprofesi sebagai seorang dokter. Foto prewedding mereka juga diperlihatkan dan itu terlihat indah, tapi itu tetap tidak membuat Jina tertarik dengan pernikahan.   "Ada banyak orang menikah akhir-akhir ini. Apa pernikahan memang sebagus itu?" gumam Jina, kemudian seseorang tiba-tiba merampas remote yang ada di tangannya, dan mematikan TV.    "Kau memang menyebalkan," kesal Jina setelah melihat siapa orang yang mengganggu waktu santainya, siapa lagi kalau bukan Dean.    "Menonton berita seperti itu tidak ada gunanya. Pergilah sarapan dan minum susumu," ucap Dean.    Jina terlihat kesal, meski begitu ia tetap bangkit dari duduknya, dan pergi ke meja makan. Tapi langkah kaki Jina kembali terhenti, lalu menatap Dean yang masih berdiri di sana dan terus saja menatapnya. Pria itu sudsh memakai pakaian rapi karena akan berangkat bekerja, tapi Jina perlu memastikan satu hal.    "Apa kau sudah sarapan?" tanya Jina.    "Urus saja dirimu sendiri," jawab Dean dengan begitu dingin. Dean melempar remote yang ada di tangannya dan ingin berangkat kerja, tapi Jina tiba-tiba saja berdiri di depannya.  "Kau ingin sakit lagi? Tidak masalah jika kau sakit, tapi tidak untuk sekarang dan sampai aku mendapatkan uangku. Ayo, kita sarapan bersama." Jina sudah meraih tangan Dean, hanya saja pria itu dengan cepat menepis tangannya.    "Sudah aku bilang, aku tidak akan mati semudah itu. Aku juga bisa mengurus diriku sendiri." Dean kembali melangkah setelah mengatakan ini, tapi Jina kembali menghalangi jalannya. Dean tidak mengerti kenapa akhir-akhir Jina sangat sering bertingkah.   "Jika kau tidak makan, maka aku juga tidak akan makan." Jinak kembali mengeluarkan ancamannya.   Dean menghela napas kesal. Ini menyebalkan sekali. Dean rasa tidak mudah untuk menghindari hal ini karena Jina akan tetap berulah sebelum mendapatkan apa yang dia inginkan. Sebelum Jina semakin banyak bertingkah kekanak-kanakan, Dean memutuskan untuk sarapan walau ia sedang tidak ingin makan. Ini demi anaknya, bukan karena ia tunduk pada ancaman Jina.  ••••   Saat berada di kantor dan tengah begitu fokus pada pekerjaannya, Dean mendapat telepon dari ibunya yang saat ini tinggal di Amerika sembari mengurus bisnis fashionnya. "Halo, Ibu," ujar Dean setelah menjawab telepon ibunya.   "Ibu sudah melihat berita itu. Apa kau baik-baik saja?" wanita yang biasa dipanggil Jessica ini bertanya pada putranya.   "Ibu, aku tidak ingin membahas hal itu."    "Ibu hanya khawatir padamu. Dia menikah dengan aktor terkenal, jadi beritanya akan ada di mana-mana," ucap Jessica.  "Bukankah di Amerika sudah larut malam? Lebih baik Ibu istirahat. Selamat tidur." Dean pun langsung mengakhiri telepon dengan ibunya.    Dean meletakan ponselnya di atas meja dengan sedikit kasar. Berusaha keras ia mengalihkan pikirannya dari kabar pernikahan sialan itu dengan bekerja, tapi ibunya malah mengingatkannya. "Sial!" kesal Dean.    Dean mencoba kembali fokus bekerja, tapi saat ini terlalu sulit bagi Dean untuk tetap fokus. Dean memutar kursi yang ia duduki, agar ia bisa menatap keluar jendela besar yang ada di belakang meja kerjanya. Biasanya ini cukup untuk sedikit menjernihkan pikirannya, tapi sekarang tidak ada gunanya.    Jika Dean pikir lagi sebenarnya ia bisa sejenak lupa pada berita menyebalkan itu ketika melihat tingkah menyebalkan Jina. Ya, hal menyebalkan harus disingkirkan dengan yang menyebalkan juga. Tapi, Dean tidak mau mengemis untuk hal itu.    "Aku bisa mengurus diriku sendiri." Dean bicara seorang diri.    Beberapa saat setelahnya ponsel Dean kembali berdering dan itu lagi-lagi telepon dari ibunya. Dean ingin mengabaikan telepon itu, tapi setelahnya ia harus mendengarkan nasihat panjang lebar dari ibunya tentang seorang anak yang sudah seharusnya menjawab telepon ibunya. Karena tidak ingin hal itu terjadi, maka Dean menjawab telepon itu.    "Kenapa Ibu menelepon lagi? Istirahatlah ...."  "Ibu ada di rumahmu sekarang." Jessica menyela kalimat Dean.    "Apa?" Dean begitu terkejut hingga hanya kata ini yang bisa keluar dari mulutnya.    "Siapa wanita itu? Kenapa dia ada di rumahmu?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD