Part 15

2018 Words
"Bagaimana dengan Lai? Kapan dia akan datang?" Jina bertanya pada Dean.    Dean kira isi pikiran Jina hanya tentang Sunny, tapi Lai sepertinya masih mendominasi pikiran Jina. Dean yang sedang merapikan rambutnya karena baru saja selesai mandi, kini menoleh pada Jina. "Kau menerobos masuk ke kamarku hanya untuk menanyakan hal itu? Jangan pikir aku melunak padamu, lalu kau bisa keluar masuk ke kamarku sesuka hatimu," kesal Dean.    Jina berdecak. Entah kenapa Dean suka sekali membuang-buang waktu. Pria itu hanya perlu menjawab pertanyaannya saja, tapi Dean malah mengatakan hal yang sangat tidak penting seperti itu.    "Tidak bisakah kau hanya menjawab pertanyaanku saja? Kau sungguh terlalu banyak bicara." Jina terlihat lebih kesal dari Dean.    Tidak ada gunanya bicara pada Jina, pikir Dean. "Aku ingin membawa pria itu ke hadapanmu secepatnya, tapi tidak bisa karena dia memiliki jadwal yang padat. Manajernya akan mengatur jadwal agar kau bisa bertemu dengannya." Dean akhirnya menjawab pertanyaan Jina.   "Aku harus menunggu berapa lama?" gumam Jina.    "Keluarlah dari kamarku." Dean menyuruh Jina segera keluar dari kamarnya karena ia harus segera memakai bajunya. Ya, saat ini, Dean hanya memakai handuk untuk menutupi tubuh bagian bawahnya.    Jina tidak mengatakan apapun, tapi ia segera melangkah pergi. Namun, Jina menginjak pulpen yang terjatuh dari jas kerja Dean, itu membuatnya nyaris jatuh, dan tangannya refleks mencari pegangan agar tidak jatuh. "Hampir saja. Kenapa kau biarkan pulpen itu ..." Jina menghentikan kalimatnya selama beberapa saat setelah sadar apa yang sudah ia lakukan. Jina salah mengambil pegangan, karena ia meraih handuk yang Dean pakai hingga membuat handuk itu terlepas dan memperlihatkan sesuatu yang seharusnya tidak Jina lihat.    "Akkkhhh!!!!" Dean dan Jina kompak berteriak.   Dean langsung memakai kembali handuknya, sedangkan Jina langsung berbalik hingga posisinya membelakangi Dean. "Kau sudah gila?!" bentak Dean setelah ia memakai kembali handuknya.   "Aku pasti sudah gila!" Jina pergi dari kamar Dean sembari mengutuk dirinya sendiri yang bisa-bisanya menarik handuk seorang pria.    Sedangkan Dean terlihat sangat kesal, sekaligus tidak percaya kalau seorang wanita bisa melakukan ini padanya. "Sial! Aku sangat malu." Dean bahkan tidak tahu bagimana cara menghadapi Jina setelah apa yang baru saja terjadi. ••••   Keesokan harinya, Dean dan Jessica sudah ada di meja makan untuk menikmati sarapan mereka, sedangkan Jina memilih untuk sarapan di kamar saja. Jessica sempat bertanya kenapa Jina tiba-tiba makan di kamar padahal biasanya selalu di meja makan dan Dean hanya mengatakan tidak tahu. Sebenarnya, Dean merasa alasan Jina makan di kamar merasa malu setelah apa yang terjadi semalam, tapi tidak mungkin untuk mengatakan itu pada ibunya, karena hal itu juga memalukan untuknya.   "Apa Jina baik-baik saja? Bagaimana jika terjadi sesuatu pada kandungannya?" ucap Jessica khawatir. Bahkan jika Jessica tidak menyukai kegilaan Dean ini, tapi ia sangat menyayangi darah daging Dean yang saat ini dikandung oleh Jina.    "Dia pasti baik-baik saja. Jika terjadi sesuatu padanya, maka pelayan yang tadi mengantar makanan ke kamar Jina pasti sudah melapor padaku. Aku akan pergi sekarang." Dean langsung pergi ke kantor setelah menjawab pertanyaan ibunya.    "Apa lagi sekarang? Mereka seperti pasangan yang tidak mau saling tatap muka setelah bertengkar." Jessica terdengar bergumam. Jina dan Dean bukanlah pasangan, tapi semakin hari mereka terlihat seperti pasangan.    Jessica tentu tidak akan suka jika Dean menjadi lebih dekat pada Jina lebih dari yang seharusnya, tapi ia juga tidak bisa mengelak kalau Dean terlihat berbeda saat bersama Jina dan perubahan seperti itulah yang ingin ia lihat dari putranya. Tadinya, Jessica bahkan mengira Dean sangat hancur karena kabar pernikahan Hana, tapi dia terlihat cukup baik. Apa itu juga karena Jina?    Sebenarnya, hari ini Jina ada jadwal pemeriksaan kandungan yang memang rutin dilakukan. Biasanya, Kevin selalu mengantarnya, tapi pria itu sudah tidak ada di sini lagi. Sedangkan Dean sepertinya tidak ingat atau bahkan tidak tahu tentang jadwal itu karena sejak pagi tidak mengatakan apapun. Saat ini, Jina sudah selesai bersiap-siap karena berpikir kalau seseorang mungkin akan datang untuk menjemputnya, lalu mengantarnya ke rumah sakit. Namun, sampai saat ini tidak ada siapapun. Jessica juga sudah pergi entah ke mana, padahal tadinya Jina sempat berpikir kalau Dean mungkin berpesan pada ibunya untuk mengantar ia ke rumah sakit.   "Dia tidak ingat atau tidak tahu? Ayah macam apa dia?" gumam Jina.    "Aku sedang malas keluar, jadi, apa tidak perlu diperiksa saja? Tapi entah kenapa aku merasa bersalah padanya. Setidaknya, aku harus bersikap layaknya seorang ibu meski hanya untuk sesaat." Jina bicara seorang diri sembari mengelus perutnya.    Walau masih merasa malu karena yang terjadi semalam, Jina tetap menghubungi Dean untuk memberitahu pria itu tentang jadwal pemeriksaan kandungannya, tapi teleponnya tidak jawab. Dua kali Jina mencoba dan hasilnya tetap sama.    "Aku pergi sendiri saja." Ini adalah keputusan terakhir Jina karena Dean seperti tidak bisa diharapkan.   Namun, Jina tidak benar-benar pergi sendiri karena supir yang mengantarnya. Supir keluarga Dean sebenarnya takut karena Jina pergi tidak bersama Dean dan ia tidak mendapat perintah untuk mengantar Jina keluar. Tapi, Jina meyakinkannya kalau Dean tidak akan marah karena hari ini adalah jadwal pemeriksaan kandungannya.   Sedangkan di kantor, Dean tidak menjawab telepon Jina karena ia sedang ada rapat penting. Setelah rapat pun Daen tidak memeriksa ponselnya, sebab ia harus segera bertemu dengan seseorang. Ini adalah hari sibuk untuk Dean dan jika sudah sibuk, maka pria itu jarang bermain ponsel.  ••••   Waktu terus berlalu dan Dean telah menyelesaikan pertemuan bisnisnya dengan seseorang. Saat ini, Dean sudah duduk di ruangannya. Pria ini mengambil ponselnya dan melihat panggilan tidak terjawab dari Jina. Setelah melihat hal itu, Dean langsung menelepon Jina, tapi kini giliran Jina yang tidak menjawan teleponnya.    "Kenapa tidak diangkat?" gumam Dean dan ia kembali menelepon Jina, tapi tetap saja tidak diangkat.    "Sial! Wanita itu membuatku khawatir saja," kesal Dean.   Karena Jina tidak menjawab telepon, maka Dean kini memutuskan untuk menelepon ibunya. Dean pikir ibunya ada di rumah, jadi ia bisa bertanya apa Jina baik-baik saja. Namun, ibunya ada di luar dan lagi-lagi untuk bertemu teman lamanya.    "Memang apa yang terjadi? Apa Jina kabur?" tanya Jessica.   "Aku melihat panggilan tidak terjawab darinya, tapi saat aku telepon kembali dia malah tidak menjawab. Itu membuatku khawatir," jawab Dean.    "Kau panik hanya karena hal itu? Kau memang sangat perhatian padanya," ucap Jessica lagi.    "Ibu, jangan memulainya. Aku seperti ini karena Jina sedang mengandung anakku. Sudah dulu, aku akan menelepon ke rumah." Dean menyudahi pembicaraan dengan ibunya.  Setelah bicara dengan ibunya, Dean langsung menelepon ke rumahnya untuk mengetahui apa yang terjadi pada Jina sampai tidak menjawab teleponnya. Yang menjawab telepon Dean adalah salah satu pelayan dan pelayan itu mengatakan kalau Jina pergi ke rumah sakit dengan di antar oleh supir untuk pemeriksaan rutin kandungannya.    Sebelumnya, hal itu diurus oleh Kevin, jadi Dean tidak tahu kapan jadwal pemeriksaan kandungan Jina. "Apa dia meneleponku untuk mengatakan hal itu?" gumam Dean setelah ia selesai menelepon.   Karena tidak bisa mempercayakan Jina kepada siapapun, maka Dean memutuksan untuk menyusul Jina. Dean memang tidak tahu kapan jadwal pemeriksaan kandungan Jina, tapi ia tahu di rumah sakit mana Jina biasa melakukan pemeriksaan. ••••   Setelah Jina selesai melakukan pemeriksaan kandungan, ia berniat langsung pulang atau Dean bisa marah besar jika ia pergi ke mana-mana setelah ini. Jina sangat berharap bisa melihat Lai secara langsung, jadi ia tidak akan memancing amarah Dean karena bukan tidak mungkin pria itu batal membawa Lai ke hadapannya.   Namun, langkah Jina kini terhenti saat melihat kehadiran seseorang yang tidak ia harapkan kehadirannya. Jina bahkan tidak mengerti bagaimana orang itu bisa ada di tempat ini. Apa orang itu mengikutinya?    Orang yang Jina maksud adalah Sunny. Sunny ada di sini bukan karena mengikuti Jina, tapi untuk menjenguk seseorang yang ia kenal dan kenalannya itu belum lama ini melahirkan. Seorang wanita juga tampak mendekati Sunny dan mengatakan sudah menemukan ruangan yang dicari, tapi Sunny mengatakan akan masuk nanti karena harus mengambil sesuatu yang tertinggal di ruangan ayahnya.   Dari pembicaraan Sunny dengan wanita tadi Jina tahu kalau ia tidak diikuti oleh siapapun. Sudahlah, untuk apa peduli pada hal itu, pikir Jina. Jina kembali melanjutkan langkahnya untuk pulang. Namun, langkah Jina kembali terhenti karena Sunny meraih tangannya.   "Kau datang sendirian?" tanya Sunny.    "Tidak, aku datang bersama supir," jawab Jina sembari menepis tangan Sunny.   "Bagaimana dengan Dean? Dia yang membuatmu seperti ini, maka sudah seharusnya dia bertanggungjawab padamu," ucap Jessica lagi.    Orang yang tidak mengerti tanggungjawab, tapi kini malah bicara tentang tanggungjawab padanya. Astaga, itu membuat Jina sangat ingin tertawa. Karena tidak ingin membuang waktu untuk untuk hal yang tidak penting, maka Jina memilih untuk pergi tanpa mengatakan apapun lagi.    "Kakekmu masuk rumah sakit. Ibu tahu kau benci pada ibu, tapi kau harus tahu kalau Kakekmu sangat menyayangimu. Kakekmu juga yang membuat ibu mencarimu. Sebelumnya, Kakekmu tidak pernah tahu tentang dirimu, jadi jangan benci Kakekmu. Temuilah Kakekmu, setidaknya sekali saja." Tapi, ucapan Sunny yang satu ini membuat langkah Jina kembali terhenti.    Jina sesungguhnya tidak ingin peduli dengan apapun yang berhubungan dengan wanita itu, tapi ia juga ingin tahu seperti apa kakeknya, setelah tahu kalau ternyata ia masih punya seorang kakek.  ••••   Saat Dean tiba di ruangan di mana Jina seharusnya di periksa, ia justru tidak melihat keberadaan wanita itu. "Seharusnya aku menelepon supir dulu," guman Dean. Untuk memastikan saat ini Jina sudah pulang atau belum, Dean akhirnya menelepon supir yang mengantar Jina. Lalu, supir itu berkata Jina belum kembali ke mobil.   Inilah yang Dean benci. Ketika Jina pergi keluar dan tidak bersama dengannya, maka dia pasti hilang. Dean kini kembali mencoba menelepon Jina dan beruntung kali ini dijawab atau kemarahan Dean akan meledak saat ini juga.   "Kau ada di mana?" tanya Dean.    "Aku dalam perjalanan untuk menjenguk seseorang," jawab Jina.    Setelah mendapat jawaban dari Jina dan tahu keberadaannya, Dean langsung pergi menyusul wanita itu. Jina tidak mengatakan siapa yang dia jenguk dan hanya mengatakan tempat orang itu dirawat.    Saat tiba di ruangan itu, Dean melihat Jina yang berdiri di sebelah ranjang rawat seseorang. Di ranjang itu ada seorang pria lanjut usia yang terbaring tidak berdaya dan tersenyum pada Jina. Di ruangan ini juga ada Sunny, tapi Dean masih belum tahu apa yang terjadi di sini.    "Jina, ayo ..." kalimat Dean terhenti karena Sunny yang menariknya keluar dari ruangan itu.   "Lepaskan aku!" Dean menepis tangan Sunny dengan kasar.    "Jina sedang bicara dengan Ayahku untuk pertama kalinya, jadi jangan menjadi pengganggu." Sunny memberikan peringatan pada Dean.    "Pengganggu? Aku hanya benci drama keluargamu. Jina masih terikat kontrak denganku, jadi aku punya hak penuh padanya." Dean kembali ingin masuk ke ruang perawatan itu. Tapi, Sunny dengan cepat berdiri di depan pintu agar Dean tidak bisa masuk.    "Ayahku belum lama ini tahu tentang Jina, jadi drama apa yang kau maksud? Jika kau masih punya hati, maka diam saja di sini." Sunny akan kembali masuk ke ruangan ayahnya setelah ini mengatakan pada Dean, tapi ia kembali menoleh pada Dean untuk mengatakan sesuatu.    "Tadi, kau bicara tentang hak? Aku dan Ayahku yang paling berhak atas Jina, jadi tutup saja mulutmu." Inilah yang Sunny katakan pada Dean, lalu masuk ke ruang perawatan ayahnya.    Dean tidak ingin peduli dengan apa yang bukan urusannya. Ya, Dean sangat ingin bersikap masa bodoh, tapi pada akhirnya ia hanya berdiri di tempatnya seolah ada sesuatu yang menahannya untuk tetap di sana. Sesuatu itu adalah Dean ragu tentang hak yang ia miliki pada Jina.    "Jina, maafkan kakek karena selama ini tidak tahu apa-apa tentang dirimu. Kakek hanya mementingkan pekerjaan hingga tidak tahu apa yang Ibumu lakukan. Kakek sungguh meminta maaf untuk semua itu." Di dalam, Jaehan terus menyampaikan permintaan maafnya pada Jina dengan begitu lemah.    Jina sampai saat ini belum mengatakan apapun karena ia benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa. Kedatangan ibunya yang secara tiba-tiba, lalu sekarang kakeknya, semua itu membuat Jina sangat terkejut, sedangkan di saat bersamaan ia masih belum bisa menerima semua ini.    "Tinggallah bersama kakek. Kakek akan memberikan semua yang pantas untuk kau dapatkan." Jaehan kembali bicara pada Jina.    "Ibu tahu semua ini terlalu mendadak untukmu dan kebencianmu pastilah begitu besar. Tapi lihatlah kondisi Kakekmu. Tentang kontrakmu dengan Dean, kita bisa mengurus itu nanti yang penting kau mau tinggal bersama kami." Sunny berbisik pada Jina yang hanya terdiam. Awalnya, Sunny mencari Jina karena itulah keinginan ayahnya, tidak lebih dari itu. Tapi saat melihat Jina secara langsung setelah waktu yang lama dan tahu apa saja yang telah dia lewati, hal itu membuat Sunny ingin memberikan kehidupan yang lebih baik pada Jina sebagai penebusan dosanya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD