Trapped In The Future

1023 Words
Tangannya menggulir beberapa halaman di ponselnya, mencari tahu biografi orang yang duduk di sampingnya. Wajah orang itu tampak frustasi, menutupinya dengan tangannya. Namun, dalam pencariannya, matanya tiba-tiba bertemu dengan lukisan Luciano Whitmore. Wajah di lukisan itu mirip dengan wajah orang di sebelahnya. Seolah-olah ada lautan yang hanya 30% dijelajahi oleh manusia, dan sisanya masih misteri-sama seperti kehadiran tiba-tiba seorang manusia dari masa depan yang terlihat melalui matanya. "Antarkan aku ke Kerajaan Valoria," ucap Lucian, suaranya tegas. Sejak tadi, dia hanya merenung, mencoba menyentuh cermin berkali-kali. Janice berdehem, mencoba menetralkan rasa canggung. "Maaf, Pangeran Luc-Luciano, sepertinya Anda tidak bisa pergi ke sana." Mata dingin Luciano menatap tajam Janice. "Ini perintah." Janice membeku. "T-tapi, tetap tidak bisa, karena-" "Kamu menolak perintah pangeran, ingin mati?" Lucian memandangnya dengan ketegasan. Janice kesal, melemparkan ponselnya ke arahnya. "Pergi saja sendiri! Aku tidak peduli, meskipun kamu seorang pangeran!" Janice meninggalkan ruangan dengan perasaan marah yang memenuhi hatinya. Dia belum pernah bertemu orang yang baru dikenalnya dengan sifat seaneh ini. "Menjengkelkan sekali!" Di sisi lain, Luciano ingin mengejar Janice. Namun, dia terhenyak saat melihat benda persegi panjang yang memunculkan lukisan dirinya. Permukaannya bisa berpindah-pindah, dan itu membuatnya takjub. "Benda apa ini?" Matanya menemukan sebaris kalimat di bawah lukisan tersebut. Pangeran Luciano Whitmore dinyatakan sebagai penghianat kerajaan dan dihukum mati dengan penggalan kepala pada abad ke-15, tahun 1431 Masehi. Matanya membelalak saat membaca tulisan itu. "Apa maksudnya?" Dia bangkit dan mengejar jejak Janice yang menuju belakang ruangan. "Hei, gadis gila!" teriaknya mencari Janice yang tak terlihat. Lucian membuka pintu tertutup, tetapi kosong. Dia terus meneriaki gadis itu hingga terdengar suara dari tempat lain. "Berisik!" Dia mendekati Janice yang sedang membungkus makanan dengan kertas abu-abu dan memasukkannya ke dalam benda persegi besar yang memancarkan cahaya. Dahinya berkerut, benda aneh apa lagi ini? Mengalihkan perhatiannya, Lucian menunjukkan benda persegi itu kepada Janice. "Apa ini?" Janice menatap deretan kata-kata di bawah lukisan dengan malas. "Sekarang kita berada di abad ke-21, tahun 2024." Lucian terhenyak. "Maksudmu aku berada di masa depan?" "Ya, sepertinya," balasnya singkat. Tidak peduli bahwa yang mengajaknya bicara adalah bangsawan yang paling di hormati di negaranya dulu. Laki-laki itu mendesah gusar. "Bagaimana ini?" "Apa aku benar-benar tidak bisa pergi ke Kerajaan Valoria?" Tanyanya lagi. Janice menatapnya sebentar. "Kamu sudah membacanya, kamu adalah seorang penghianat. Jika kamu pergi ke sana, sama saja bunuh diri, atau lebih buruk lagi, kamu akan dianggap orang gila." Lucian merasa frustasi. Bagaimana bisa dia tiba-tiba berada di masa depan? Dan membaca sejarah dirinya di masa lalu yang tak dia mengerti bagaimana bisa dianggap penghianat. Janice mendesah gusar melihatnya. Walaupun dia kesal, tetapi melihat laki-laki itu frustasi, ada setitik empati yang muncul di dirinya. "Sudah lupakan sejenak, apa kamu tidak lapar, Lucian?" Lucian menatap tajam gadis itu. "Kamu tidak sopan memanggil namaku!" "Oh, ayolah, kamu yang tidak sopan tiba-tiba berada di rumahku!" Janice yang merasa kasihan menarik kembali pikirannya tadi. Lucian menatapnya dengan malas. Janice sudah tidak takut lagi; yang ada, dia gemas ingin menendang tubuh Lucian. Beberapa saat terdengar bunyi, yang membuat Janice tertawa. "Perutmu sudah mengatakan lapar, lebih baik makan terlebih dahulu. Kamu butuh energi untuk menghadapi hari esok." Lucian memalingkan wajah. "Mana makananku?" Janice terkekeh kecil. "Duduklah, akan aku siapkan." *** Setiap kali Lucian makan, tak pernah lepas dari perhatian Janice. Benar-benar seperti seorang bangsawan yang sudah diajarkan tata krama sejak kecil. "Bagaimana, enak?" tanya Janice. "Biasa saja," jawab Lucian dengan berbohong. Dia tidak tahu apa yang dimakannya ini, tapi rasanya luar biasa enak. Rasanya ia ingin meminta lebih. Janice yang mengerti tatapan Lucian tersenyum kecil, menambahkan lagi makanan ke dalam piring Lucian. "Jika ingin lagi, katakan saja." Lucian hanya diam dengan wajah datarnya. Gengsi membuatnya enggan mengiyakan. Ia melanjutkan makannya hingga habis tak tersisa. "Ambilkan aku air," suruhnya. Janice mengernyit. "Ambil saja sendiri, aku bukan pelayanmu." Suasana hati Janice kembali buruk lagi. Tersadar bahwa masa ini dirinya bukan siapa-siapa, Lucian merenung frustasi. Bingung apa yang harus ia lakukan ke depannya. Janice ikut-ikutan frustasi. Perasaannya campur aduk, merasa kesal dan kasihan melihat Lucian. Apabila dia mengusirnya, yang ada, dia tidak akan bisa bertahan hidup sehari saja. Dengan pola hidup yang sudah sejak lahir melihat sendok emas, apalagi dengan perbedaan zaman yang sangat berbeda pada jamannya, akan sangat sulit untuk beradaptasi. Setelah berpikir cukup lama, dia memutuskan, "Lebih baik kamu tinggal di sini." Berdehem, "Kamu bisa mengecek cermin itu setiap saat," tambahnya. "Ini bantuanku untukmu hanya sementara hingga cermin-portal itu kembali terbuka." Lucian memandang Janice lekat. "Kamu serius?" Mengangguk kecil. "Ya." "Tidak ada alasan lain?" tanya Lucian, yang membuat Janice binggung. "Maksudmu?" "Bisa saja kamu beralasan seperti itu karena ingin mengambil emas milikku dan membunuhku saat tertidur," ujarnya dengan pikiran buruk. Janice menatap kesal lelaki itu. "Aku sudah berniat baik membantumu. Jika kamu malah berpikir seperti itu, silakan keluar dari rumahku dan cari tempat yang mau menerimamu!" Janice berdiri dari bangkunya, meninggalkan laki-laki itu yang terdiam di bangkunya. Ia melangkahkan kakinya menuju kamar, menutup pintu, dan melemparkan dirinya berbaring di tempat tidur. Sedari tadi dia sudah menahan lemas dan pusing, apalagi ditambah menghadapi pangeran gila itu. Dua kali lipat yang dia rasakan. Akhirnya kesadarannya mulai terenggut, melupakan seseorang yang masih terdiam di dapur dengan segala macam suara di pikirannya. *** Lucian sebelumnya tidak pernah merasa bersalah seperti ini. Orang-orang yang berhadapan dengannya biasanya hanya menunduk takut dan tidak berani menjawab ketika dia mengucapkan kalimat buruk. Dia bingung harus bertindak bagaimana. Akhirnya, dia bangkit dan menuju tempat awal kemunculannya. Saat pintu kamar itu dibukanya, matanya langsung tertuju pada gadis yang terbaring meringkuk di kasur. Ia ingin membangunkan gadis itu, tapi fokusnya malah teralih ke wajah gadis itu yang terlihat sangat cantik. Lucian terpesona menatap gadis itu dengan perlahan. Dan juga, ia salah fokus dengan pakaian yang dikenakan gadis itu: kaos crop top dan celana training yang menurutnya tidak lazim. Sejenak dia berpikir, apakah semakin bertambahnya tahun dan zaman, banyak perubahan yang akan terjadi. Bangunan kerajaannya menggunakan batu bata dan lampunya masih menggunakan lilin serta minyak nabati. Tetapi bangunan di tempat ini terlihat lebih cerah, dan lampunya menyala terang. Lucian bingung, bagaimana caranya lampu itu terus menyala? Dia duduk di samping gadis itu, ingin membangunkannya, tetapi malah kembali terpesona. Tangannya bergerak ingin menyentuh bagian-bagian wajah cantik gadis itu. Tetapi-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD