21st-century Knowledge

1105 Words
"Apa yang sedang kamu lakukan, wahai Pangeran Luciano Whitmore?" Janice mendorong tangan Lucian menjauh. Ia bangkit dari tempat duduknya, bibirnya mendecih dengan sinis. "Kenapa masih di sini?" Lucian terdiam, tubuhnya kaku. Begitu tatapannya beradu dengan Janice, ia memalingkan wajah yang memerah. "Aku memilih berada di sini," ujarnya dengan suara yang hampir tercekat. "Bicaralah seperti itu sejak awal," Janice bangkit dari kasurnya. Ia berjalan menghampiri koper yang masih tertutup rapat, membukanya, dan mengambil beberapa pasang baju. Setelah menutup kembali koper, ia menyerahkan pakaian itu kepada Lucian. "Ganti pakaian anehmu," ujarnya dengan wajah yang masih kentara kesal. Lucian mengambil baju-baju tersebut, menatap lamat pada pakaian yang baru saja diberikan. "Aku akan memakai ini?" "Ya, pakailah. Kamu tidak mau memakainya?" Melihat Lucian terlihat lama berpikir, Janice menyimpulkan bahwa laki-laki itu tidak suka dengan pilihan yang diberikan. "Jika tidak mau, pakai saja pakaianmu itu terus-menerus!" Tangannya ingin menarik kembali sepasang baju itu, tapi Lucian lebih dulu menghindari. "Tidak, aku akan memakainya," kata Lucian. Tangannya langsung membuka seragam kerajaannya hingga terlepas dan menyisakan-"Hei!" Janice langsung menutup kedua matanya. "Jangan buka disini!" Tetapi masih ada sedikit cela untuk mengintip tubuh shirtless laki-laki itu yang begitu memukau, tubuhnya tegap dengan bahu lebar yang terlihat kokoh. Jika Janice mengintip bagian depan tubuhnya, banyak otot-otot yang terlihat menon-Menggeleng cepat menhapus segala pikiran kotornya. Lucian menghentikan kegiatannya untuk membuka celana. "Aku harus buka dimana?" "Janice mendorong Lucian mengarah ke walk-in closet. Masuk, dan berganti pakaianlah di sana.'" Patuh, Lucian masuk ke dalam, dan pintu ditutup oleh Janice dari luar. Janice terlihat menghela nafas panjang. "Astaga, pikiranku," ia memukul kepalanya pelan. Seketika, terdengar suara pintu berderit, dan keluarlah sosok tegap dengan pakaian barunya. Lucian menatap berkali-kali ke arah pakaian yang ia kenakan. "Pakaian ini sangat ringan." Janice terpaku. Penampilan Lucian saat ini seperti pemuda malas-malasan yang hanya suka bermain game di rumah dan membolos sekolah. Yaps, Janice memberikan kaos jurusannya yang berwarna putih, tapi memiliki ukuran besar. Saat mendapatkan kaos itu, Janice lupa memberi keterangan ukurannya, dan yang tersisa hanya ukuran yang paling besar. Dan untuk celananya, Janice memberikan training hitam miliknya, yang tampak cocok dipakai oleh laki-laki itu. Lucian menjetikkan jari, menyadarkan Janice. "Ah ya, apa?" "Apa aku cocok memakai ini?" tanya Lucian, yang menurutnya aneh dengan pakaian yang dia kenakan sekarang. "Tidak, biasa saja," jawab Janice. "Sekarang aku akan mengajakmu home tour, dan mengajarimu apa saja yang ada di rumah ini," kata Janice. Lucian mengangguk sekilas sebagai jawaban. "Ayo," Janice mengambil tangan Lucian untuk digenggam. Tatapan Lucian langsung menyorot dingin, tetapi tak ada niatan untuk melepaskan genggaman itu. *** Janice dengan tegas menjelaskan, "Ini yang terakhir, pintu masuk rumah ini menggunakan sidik jari dan password. Kamu harus menghapal kodenya untuk bisa memasuki rumah ini.'" Ia mencontohkan dari luar, dan mengunci pintu. "Kamu tinggal memasukkan angka, 170419, dan pintu akan terbuka." Lucian disuruh Janice untuk mencoba, dan dia dengan baik bisa memahami yang dicontohkan Janice dengan cepat. "Selesai sudah pembelajaran hari ini. Kamu bisa istirahat di kamar yang sudah aku tunjukkan." Janice menguap ngantuk. "Aku akan tidur duluan. Jika butuh sesuatu, bangunkan saja aku." Lucian diam sembari matanya menyorot gadis itu yang berjalan menuju pintu kamarnya. Lucian memilih berjalan mendekati sofa dan duduk di sana, merenung tentang segala hal yang telah terjadi sebelumnya. Pikirannya kembali ke kejadian sebelum dia tiba di sini. Sebelumnya, dia sedang mengejar pembunuh bayaran yang telah mengintainya sejak kemarin. Namun, nasib sial menghampirinya. "Dimonte! Pergilah ke arah utara, aku akan mengecek ke arah barat," suruh Lucian. Dimonte mengangguk hormat dan menaiki kudanya. "Baik, pangeran." Pasukan naungan keluarga Dimonte Vasilas ikut menunduk dan pergi mengikuti atasannya. Segera, pasukan kerajaan dengan jubah hitamnya mengikuti langkah kuda jantan sang pangeran, yang melangkah dengan helaian anggun menuju tujuan. Saat pangeran Lucian berhenti dan menatap sebuah gua yang terlihat hening tetapi mencurigakan, dia merasa terhipnotis untuk segera memasukinya. "Kalian lihatlah apa yang ada di dalam gua tersebut." Beberapa pasukan menunduk dan mengikuti perintah atasan mereka. Lucian turun dari kudanya, melihat para bawahannya kembali keluar dengan isyarat bahwa tidak ada siapa-siapa di dalam gua. Lucian berjalan ingin memastikan sendiri. Ada sesuatu yang aneh dan menariknya untuk memasuki gua ini. Saat langkahnya sudah sampai di dalam gua, sebuah guncangan dahsyat datang, dan gua tertutup oleh banyak bebatuan yang berjatuhan. Para pasukan yang mengikuti Lucian berusaha melindungi pangeran dengan tubuh mereka, tetapi sayangnya, mereka tertimpa batu yang sangat besar. Saat kesadaran Lucian mulai hilang, alam bawah sadarnya membawanya ke tempat aneh yang dipenuhi cermin, seperti sebuah labirin. Ia berusaha mencari jalan keluar, mengelilingi labirin tersebut tanpa hasil. Tidak ada jalan keluar, dan malah dia terperosok jatuh ketika menyentuh salah satu cermin. Cermin itu membawanya ke suatu tempat aneh dan mengeluarkannya dari kegelapan. Sayangnya, dia menabrak tubuh kecil yang langsung terbaring tak sadarkan diri. Lucian melewati gadis itu, menatap sekelilingnya yang berputar-putar. Ia menyentuh berbagai barang yang menurutnya aneh, dan menatap sebuah jendela yang langsung menghadap pemandangan luar, jalanan beraspal dan berbagai rumah aneh yang terbentang di matanya. *** "Lucian, Bangunlah!" Janice menepuk pelan punggung Lucian yang saat ini tertidur di atas sofa. Lucian tanpa menunggu lama, langsung terbangun dan membalikkan badannya. Dia bangkit mendudukkan diri dan tersadar bahwa dia sepertinya tertidur di sofa ini. Menyingkap selimut yang sepertinya dipakaikan oleh Janice saat ia tengah tertidur, tapi tak ia sadari. "Hmm, ada apa?" Mengucek pelan matanya. Janice merasa setiap hari dia harus menjaga mata, perasaan, dan pikirannya, karena selalu disuguhi pemandangan indah dari laki-laki ini. Janice takut khilaf. "Aku akan berangkat kuliah. Jika kamu lapar, buka saja lemari pendingin dan panaskan makanan kembali, seperti yang sudah kuberitahu kemarin," jelas Janice. "Kuliah?" mendengar kata yang asing, Lucian kembali membuka suara. "Kuliah itu seperti belajar," jelasnya lagi. "Apa perempuan zaman ini juga belajar?" "Kamu kemarin terlihat dingin dan kasar, tetapi sekarang kamu terlihat seperti keponakanku yang baru berusia 6 tahun, sangat suka bertanya." Janice tidak bermaksud mengatakan Lucian banyak bertanya, hanya saja sikapnya membuatnya ingat pada keponakannya yang menggemaskan. Terkekeh. Janice akhirnya menjawab pertanyaan Lucian karena laki-laki itu seperti menunggu jawaban. "Ya, pada zaman ini, para perempuan dan laki-laki memiliki kesetaraan. Kami para perempuan juga bisa belajar dan bekerja." Lucian mengangguk paham. "Baiklah, jika ingin bertanya lagi nanti saja. Aku akan berangkat, dan pulang pada pukul 3 sore. Kamu lihat jam dinding di sana?" Tunjuk Janice menyuruh Lucian. "Dimana letak jam 3 sore?" Lucian menunjuk arah jam 3 sore. "Benar sekali. Aku akan pulang pada pukul 3 sore. Jika kamu bosan, nyalakan saja televisi atau bermain dengan Mocha." Mocha-kucing Janice yang berwarna coklat s**u. Lucian mengiyakan dalam diamnya. Berbicara hanya jika ingin tahu sesuatu saja. Setelah Janice pergi, Lucian hanya menatap makhluk berbulu yang ada di depannya, terlihat menggodanya dengan berputar-putar. Lucian memilih mengabaikannya. Lebih baik ia mengisi perutnya yang sudah lapar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD