Beyond Reason

1121 Words
Dalam kesadarannya yang masih menutup mata, Janice mendengar gumaman lirih seseorang. Dengan sekuat tenaga, dia membuka matanya hingga akhirnya terbuka lebar secara perlahan. Sosok tegap yang sebelumnya terlihat samar kini menatap jendela dan berjalan ke tempat lain, menyentuh banyak benda. Saat pandangannya sudah jelas, Janice reflek berteriak, "Siapa kamu?!" Kepalanya masih berdenyut pusing karena tiba-tiba berdiri secara paksa. Mengambil barang apa pun yang ada di dekatnya sebagai pelindung, matanya menghunus tajam pada tubuh tegap laki-laki itu. Laki-laki itu berbalik menghadap suara yang sepertinya meneriakinya. Janice tanpa sadar terperangah. Laki-laki dengan rambut hitam, kulit putih, dan wajah bak dewa-sangat tampan. Namun, ada yang aneh dengan pakaiannya-seperti pakaian zaman kerajaan, tetapi terlihat tidak lazim. Menggeleng untuk menyadarkan diri, Janice tetap waspada saat laki-laki itu mencoba mendekat. Tanpa sadar, Janice melempar remote AC yang ada di tangannya mengarah pada laki-laki itu. Dengan gesit, laki-laki itu menghindar dan menatap tak percaya pada perempuan di hadapannya. ""Kamu ingin mati?!" hardikan laki-laki itu, tangannya dengan cepat mengeluarkan pedang dari sakunya. Namun, berkali-kali dia mencoba menariknya, tetapi tak berhasil. Saat dilihat, tidak ada pedang sama sekali. Janice, menjaga sikap waspada, walau dengan keadaan tubuhnya lemas, dan kepalanya pusing. "Bagaimana bisa kamu berada di rumahku?!" masih berjaga-jaga, ia mengambil lampu tidurnya sebagai pelindung. Tak mengindahkan hardikan Janice, laki-laki itu mendekat dan menarik vas bunga yang ada di tangan Janice dengan mudah, melemparkannya ke lantai. "Dimana kamu menyembunyikan pedangku?" Matanya penuh kemarahan, membuat Janice melemas dan ketakutan. "A-apa maksudmu?" Janice berjalan mundur. Tetapi lelaki itu maju dengan cepat, hingga posisi mereka seperti tidak ada jarak sama sekali. "Jangan berbohong, atau aku penggal kepalamu saat ini juga!" Janice merasakan takut, matanya tertutup rapat mengindari tatapan menyeramkan sosok di depannya. Hingga terlintas di otaknya untuk melakukan, "Maafkan aku!" "Bugh," suara tendangan Janice terdengar nyaring menendang bagian intim laki-laki itu. "Arghhh," laki laki itu terjatuh menahan sakit di bagian intimnya dengan raungan kesakitan. "Kamu gila?!" matanya menatap tajam perempuan itu. Janice menendang kembali kaki laki-laki itu. "Kamu yang gila, sialan!" sembari berdesis kesal walaupun tangannya gemetar. "Arghh heii!" Laki-laki itu kembali berteriak kesakitan. Dengan cepat, mata Janice mencari keberadaan ponselnya, tetapi tidak menemukannya di mana pun. Janice berdecak. "Dimana ponselku?" "Hei, kamu pasti mencurinya, ya?!" Tuduh Janice. "Cepat kembalikan!" Janice mendekati lelaki itu dan memeriksa berbagai bagian pakaiannya, tetapi tidak menemukan apa pun selain gulungan yang berisi koin emas. Matanya terbuka lebar, dengan mulut yang terlihat terkejut. "Ini emas asli?" Tangan lelaki itu dengan cepat meraihnya, tetapi karena itu Janice kehilangan keseimbangan dan terjatuh, menindih tubuh lelaki itu. Tangannya menyentuh d**a yang terlihat bidang itu, wajah mereka saling berhadapan. Dengan cepat, Janice bangun dan menatap lelaki itu dengan dekat. Sesaat, dia terkesima oleh ketampanan yang dimilikinya. Tangan lelaki itu tiba-tiba memeluknya dan memindahkannya ke samping, menyadarkannya. "Kamu membuat milikku bertambah sakit," kesalnya. "O-oh ya maaf," Janice dengan canggung bangkit. Dan membantu laki-laki itu duduk. Matanya menatap lelaki itu. Sebuah analisis kepribadian yang baru saja dia lakukan akhirnya membuatnya berpikir, "Aku ingin melaporkanmu ke polisi, tapi aku ragu kamu benar-benar penjahat. Kamu lebih terlihat seperti orang yang tidak waras." Lelaki itu menatap marah. "Sebagai warga negara, kamu sangat tidak sopan." Janice menatap lelaki itu dengan aneh. "Siapa dirimu sehingga berbicara seperti itu? Lagumu seolah-olah kamu memiliki kerajaan sendiri." "Apa maksudmu aku me-" Sudah hentikan dramamu. Di mana rumah sakit jiwa yang merawatmu? Aku akan mengantarkanmu," tawar Janice. Dia sudah membaca tanda-tanda bahwa yang terjadi di depannya adalah ulah pasien rumah sakit jiwa. "Aku tidak gila!" kesal lelaki itu. "Orang gila mana yang mengaku tidak gila," decih Janice. "Sebaiknya kamu menurutiku, ini demi kebaikan bersama." Lelaki itu tiba-tiba menarik tangan Janice hingga bertumpu di depannya. Dengan kaki kiri berselonjor dan kaki kanannya ditekuk, lelaki itu menyandar di dinding. Janice terlihat bersimpuh di antara kaki lelaki di hadapannya. "Kamu seharusnya berada di posisi ini, sejajar dengan kakiku," kata lelaki itu dengan dingin. Janice mengangkat kepalanya dengan wajah tercengang. "Kamu gi-" Tangan lelaki itu mencengkram dagu Janice. "Aku bisa saja mematahkan lehermu jika kamu berbicara lagi." "Kamu sangat tidak menghormati pangeran kerajaan ini." Lelaki itu melepaskan cengkramannya. kepalanya mendekati telinga Janice dan membisikkan, "Aku tidak akan membunuhmu jika kamu meminta maaf." Nafasnya yang menguar hangat membuat Janice merinding. Dengan hati-hati, Janice membetulkan posisi duduknya dan memundurkan tubuhnya menjauh dari lelaki itu. Tatapannya dengan cepat menangkap pin berlambang kerajaan negaranya. Matanya terbelalak. "Kamu benar seorang pangeran?" Janice ingin merutuki semua ucapannya tadi. Mati sudah dirinya. Saat menatap pin yang tersemat di baju lelaki itu, pin yang pernah dia lihat di monumen kerajaan dan hanya dimiliki oleh kerajaan serta kerabatnya yang masih memiliki darah keturunan. Janice menggeleng. "Bisa saja itu palsu," gumamnya. Tetapi dia menggeleng lagi. Mana ada yang berani menduplikat ukiran seperti itu, apalagi ukiran yang hanya bisa dibuat oleh orang-orang kepercayaan kerajaan. "Aku adalah Pangeran Luciano Whitmore." Mendengar nama itu, Janice kembali membelalak. "Hei!" Dengan kesal, Janice berdiri dan menendang kaki lelaki itu dengan keras. Lelaki itu mendesis kesakitan, tetapi tampaknya Janice merasa di bohongi. "Pangeran Luciano Whitmore katamu? Huh?!" "Kamu mengaku-ngaku sebagai orang yang sudah mati sejak lama!" seru Janice. Lelaki itu menatap kesal Janice yang masih saja menendangnya. "Aku tidak mati, aku masih hidup!" "Sudah hentikan kegilaanmu! Pergi cepat dari rumahku! Dasar orang gila!" Tangan Janice menarik kerah laki-laki yang bernama Lucian itu dengan keras hingga dia bangkit berdiri. "Kamu sungguh tidak sopan!" Lucian menarik diri dan menghempaskan tangan Janice yang bertengger di kerahnya. "Kamu yang tidak sopan, tiba-tiba berada di rumahku!" kesal Janice. "Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa di sini, sial!" Sorot mata dingin Lucian menatap cermin di belakang mereka. "Kamu lihat cermin itu," suruh Lucian. Janice melihat ke belakang. Tidak ada yang aneh, hanya cermin biasa. "Aku keluar dari sana, jika kamu tidak percaya, ayo aku tunjukkan." Lucian menarik paksa Janice hingga berhenti di hadapan cermin itu. Tangannya menyentuh cermin, dan seketika tangan Lucian menembus melewati permukaan cermin. Janice terbelalak terkejut. Apa yang baru saja dia lihat?! "Sepertinya aku yang gila, mana mungkin ini-" Tangan Janice ditarik oleh Lucian ke dalam cermin, dan kembali tembus. Sangat aneh, dan di luar nalar manusia. Hal seperti ini hanya bisa dibayangkan, tidak mungkin terjadi secara nyata seperti ini! Janice menjerit dalam hati, "Ini terlihat seperti halusinasi, tapi aku benar-benar bisa melakukannya!" Mata dingin Lucian menatap Janice dengan tajam. "Kamu sudah percaya?" Janice menelan ludahnya, terintimidasi oleh aura laki-laki itu. Sambil menatap Lucian dengan ketakutan, dia berkata, "Ya baiklah, aku minta maaf..." "Aku maafkan." Lucian tidak lagi memperdulikan Janice. Saat badannya berusaha masuk kembali ke dalam cermin, dia malah terpental. Janice menutup mulutnya, kaget. Dia mendekati Lucian dengan cepat. "Kamu tidak apa-apa?" "Menyingkirlah," kata Lucian sambil bangkit kembali dan mencoba menyentuh cermin. Tapi kali ini, saat disentuh, cermin tidak menembus. Kembali menjadi cermin biasa yang terlihat padat. "Sial, portalnya di tutup!" Ia meraup wajahnya kasar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD