Prolog
Isabel memandang cermin besar yang melebihi ukuran tubuhnya. "Yaps, ibuku dulu sering merenung di depan cermin ini," ucapnya. "Aku pikir dia sedang terpesona oleh kecantikannya sendiri."
Namun Isabel merasa ada yang aneh dengan ritual harian ibunya itu. Dia memandang Janice dengan tanda tanya di matanya. "Menurutmu, bagaimana, Janice?"
"Mhmm, jangan tanya padaku," jawab Janice.
Mereka berada di rumah baru Janice, sedang merapikan berbagai barang termasuk cermin milik Isabel yang Janice akan gunakan karena masih terlihat layak pakai.
"Tapi apakah kamu takut dengan cermin itu? Aku selalu berpikir bahwa menatapnya terlalu lama bisa membuat kita terhipnotis," ujar Isabel.
"Kamu terlalu kuno. Tidak ada hal seperti itu," balas Janice sambil sibuk mengatur ulang kamarnya. Meski begitu, dia tetap mendengarkan Isabel.
Isabel mengernyit. Dia mengambil kain dan menutupi cermin sepenuhnya. "Aku merinding hanya melihatnya. Tolong jangan buka di depanku."
Janice mendekat mencoba menarik kain tersebut. "Seharusnya kamu tidak takut pada cermin warisan ibumu." Namun Isabel tetap bersikeras.
"Aku bukan takut! Hanya saja melihat cermin itu membuatku sedih. Jadi jika aku berkunjung ke kamarmu, lebih baik menutupinya!"
Janice menarik lagi, tapi Isabel bertahan. "Tidak perlu repot-repot, aku tidak akan membawamu ke kamarku."
Isabel mendengus. "Kamu teman yang tidak setia."
Janice menggelengkan kepala. "Untuk apa?"
Isabel semakin kesal. "Ugh, Janice!" Namun dia tetap kukuh mempertahankan kain tersebut.
Akhirnya, Janice membiarkan Isabel berbuat sesuka hati. "Baiklah, terserahmu."
Isabel tersenyum. "Itulah bagaimana teman seharusnya saling memahami."
"Tapi apakah lebih baik memikirkan untuk membeli cermin yang baru?" tanya Isabel.
"Cerminmu masih bagus. Lebih baik aku yang mengambilnya daripada dibuang," jawab Janice.
"Tapi cermin itu sangat kuno! Meskipun terlihat bagus, cermin itu tidak pernah rusak sejak zaman nenek moyang kita!"
"Berhenti bercanda. Lebih baik kamu pulang, Isabel," kata Janice, sudah lelah dengan ocehan temannya.
"Kamu teman yang tidak setia," kata Isabel sambil mengambil tasnya. "Aku akan pergi jika kamu tidak menginginkanku di sini." Tanpa perpisahan, dia meninggalkan rumah Janice.
Janice menggeleng. "Seperti anak kecil."
Kembali menatap cermin, Janice mendekat dan menyingkap kain yang menutupinya. Wajahnya terpantul jelas, tanpa cacat—hanya sedikit debu.
Janice memandang, mencoba membuktikan atau membantah ucapan temannya. Namun menit berlalu, dan tidak ada yang terjadi.
Dia tertawa pelan, menyadari dia tanpa sadar mengikuti cerita hipnotis Isabel. Namun bukannya terhipnotis, dia malah terpesona oleh wajahnya yang cantik.
Janice memutar tubuhnya, mengagumi fisiknya yang terbentuk dengan baik. Dia tidak menyesal telah melakukan berbagai latihan untuk membentuk tubuhnya seperti ini.
Sekali lagi, dia mendekat, memperhatikan fitur wajahnya yang indah—
Tiba-tiba, sesuatu mendorongnya. Dia tidak tahu apa yang terjadi. Dalam kegelapan, sosok berbadan tegap muncul di hadapannya, meraih tubuhnya hingga dia tenggelam dalam kegelapan.