"Pstt, Janice," Albert menendang pelan kaki Janice.
Janice menoleh, mengangkat kedua alisnya bertanya.
"Boleh pinjam pulpennya?"
Sambil memutar bola matanya, Janice memberikan pulpen miliknya satu lagi ke Albert.
Albert tersenyum, gigi rapinya terlihat. "Terima kasih."
"Membeli pulpen tidak akan membuatmu bangkrut," sebal Janice.
Janice memang dikenal sebagai gadis yang ketus dan pendiam. Namun, ketenangannya menarik perhatian banyak orang, terutama kaum muda. Ditambah lagi, Janice adalah salah satu mahasiswi tercantik di kampus mereka.
Albert cengengesan. Dia adalah salah satu teman dekat Janice, selain Isabel. Mereka berada di jurusan yang sama, Manajemen, berbeda dengan Isabel yang memilih jurusan sastra Prancis.
Ketiganya menempuh pendidikan tinggi di universitas nomor 2 di negara mereka, dan urutan 5 di dunia.
"Setelah pulang, kamu mau mampir dulu tidak?" tanya Albert.
Janice yang fokus mendengarkan penjelasan dosen menggeleng kecil. "Aku ada banyak pekerjaan di rumah."
"Mau kubantu?"
"Tidak perlu, hanya sisa sedikit."
"Yasudah, kalau aku ingin mampir ke rumahmu, boleh?"
"Tidak."
Albert berdecak. "Kenapa kamu selalu menolakku? Isabel saja selalu diperbolehkan, kenapa aku tidak?"
"Laki-laki yang memakai hoodie putih, apa ada yang ingin ditanyakan?"
Albert langsung duduk tegak. "Ah, maaf, Pak."
Dosen itu menatap tajam mahasiswanya. "Saya tidak meminta kamu berkata maaf."
Habis sudah, Albert!
***
Sementara itu, Lucian terus menatap jam yang tertempel di dinding. Dia mengelus Mocha yang tertidur di pangkuannya.
Awalnya, Lucian mengabaikan khcing ini. Namun, seiring berjalannya waktu, dia mulai luluh.
Setelah sarapan, membersihkan diri, dan memandangi sekitaran, Lucian hanya duduk menunggu Janice kembali. Meskipun masih ada 30 menit lagi sebelum pukul 3 sore.
Lucian merasa bosan. Di kerajaannya dulu, dia tidak pernah menikmati waktu tenang seperti ini. Biasanya, dia sibuk dengan tumpukan lembar kertas, perjalanan ke berbagai daerah atau kota untuk peninjauan, pertemuan antar kerajaan, dan latihan tanpa henti.
Lepas dari semua itu, Lucian merasa entah bersyukur atau tidak bisa menikmati waktu tenang seperti ini atau mati kebosanan.
Dia terlarut dalam lamunannya. Suara pintu yang terbuka tiba-tiba memecahkan konsentrasinya.
Sosok Janice muncul dengan wajah lelah. Dia duduk di sofa samping Lucian dengan lesu.
"Aku sungguh lelah, tolong ambilkan aku air."
"Kamu menyuruhku?" Lucian mendengus. "Aku ini pangeran."
"Pangeran apa?" Janice berdecak. "Di dalam sejarah, namamu sudah tidak dianggap pangeran." Tidak peduli jika tatanan sejarah akan rusak, Janice sangat kesal dengan sikap angkuh Lucian.
"Maksudmu?" Lucian bertanya dingin.
"Kamu tahu sendiri. Di zaman ini, kamu dikenal sebagai penghianat kerajaan," jelas Janice. "Walaupun sebenarnya aku kurang percaya kamu adalah seorang penghianat."
"Coba ceritakan menurut pandanganmu," suruh Lucian.
"Lebih baik kamu tidak tahu apa-apa," ucap Janice sambil menyenderkan tubuh dan menutup mata.
"Hei!"
Tetapi tangan yang sedari tadi menepuk-nepuk wajahnya sangat mengganggu!
Janice menatap Lucian dengan sebal. "Diamlah, aku lelah! Jika tidak mau mengambilkan aku air, jangan mengangguku!"
Akhirnya tangan Lucian menjauh. Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa saat. Janice membuka mata, dan sesaat kemudian, gelas dingin yang dipegang oleh Lucian menyentuh wajahnya.
"Minum," ucap Lucian dengan nada tegas.
Janice mengambil gelas itu. "Terima kasih." Lalu dia meminumnya hingga habis.
"Sekarang ceritakan," desak Lucian.
Janice menggeleng kecil. Mengambil air ternyata ada maksud tertentu di balik tindakan Lucian.
"Kamu mau aku ceritakan apa?" tanya Janice.
Lucian menjawab cepat, "Kenapa aku dikenal sebagai pangeran penghianat?"
Mendesah malas, Janice berkata, "Jika aku menceritakan, sejarah akan rusak."
Tidak peduli dengan peringatan itu, Lucian mendesak, "Cepat ceritakanlah, Janice!"
"Wah, akhirnya kamu menyebut namaku," sambung Janice dengan nada santai.
"Janice!"
"Ya baiklah, pangeran," pasrah Janice.
"Kamu jangan emosi ya, apa mau aku siapkan tisu? Siapa tahu kamu ingin menangis?" basa-basi Janice.
Berdecak, Lucian berkata, "Tidak. Cepat ceritakan."
"Hmm, baiklah. Sebelumnya aku ingin bertanya, berapa usiamu sekarang?" tanya Janice.
"17 tahun," jawab Lucian.
Janice terkejut mendengarnya. "Jangan berbohong, kamu seperti laki-laki berumur 24 tahun!"
Lucian mendelik. "Aku tidak berbohong."
Usianya dengan Lucian tidak berbeda jauh, mungkin hanya berbeda beberapa bulan, karena Janice sendiri baru berumur 18 tahun kemarin.
"Sungguh, bagaimana bisa umur dan badanmu tidak sesuai?" Bingung Janice.
"Aku rajin berlatih," jawab Lucian singkat.
"Berlatih? Olahraga maksudmu?" tanya Janice.
"Ya."
"Oh, oke."
"Kenapa kamu sangat lama hanya bercerita saja?!" kesal Lucian. Laki-laki itu tidak suka menunggu lama jika itu menyangkut dirinya.
"Ya sudah, aku juga malas bercerita jika kamu tidak sabaran," balas Janice.
Lucian menghela napas kasar. "Maaf. Lanjutkanlah, Janice."
Janice terkekeh lucu. Lucian yang notabene adalah seorang pangeran, mampu menahan kesal karena dirinya.
"Aku tidak tahu, benar tidaknya, tetapi sejarah mencatat bahwa pangeran Luciano Whitmore dihukum penggal karena telah membunuh ayahnya sendiri."
"Apa? Kenapa aku membunuh ayahku?"
"Entah tapi begitulah yang diceritakan, dan itu terjadi saat umurmu 27 tahun. Kamu sudah mati sebelum menikahi calon istrimu."
"Calon istri?" Bingung Lucian.
"Ya, mungkin saat ini kamu belum tahu, dia bernama Drianna Mavelona. Pujaan hatimu," jelas Janice.
"Untung hanya calon istrimu, jika sudah menjadi istrimu, dia pasti juga ikut terpenggal. Kasihan sekali gadis cantik itu," geleng Janice prihatin.
Matanya menatap Lucian yang hanya bergeming. "Memangnya kamu tidak memiliki hubungan dengan Drianna Mavelona?"
Lucian mengerjap, lalu menggeleng. "Aku tidak mengenalnya."
"Apakah dia bangsawan?" tanya Lucian.
"Tidak tahu tuh, tidak dijelaskan asal-usulnya, karena sejarah hanya menyorot cerita tentang pemenang."
Lucian kembali bergeming.
Janice menatapnya bertanya. "Kenapa?"
"Menurutmu, jika portal itu terbuka, apa aku harus kembali?" Lucian bertanya ragu.
***
"Tersenyumlah, Lucian," kata Janice sambil menangkup wajahnya dan menariknya agar tersenyum. Namun yang terlihat hanyalah senyuman paksa.
"Kamu harus tersenyum jika orang lain tersenyum kepadamu, dong!" kesal Janice.
"Haruskah?" tanya Lucian dengan datar.
"Tidak sih, tapi yang baru saja tersenyum ramah kepadamu adalah orang tua! Kamu harus bersikap sopan," terang Janice.
"Baiklah."
Janice mendengus. Mereka saat ini sedang berjalan kaki dengan tentengan belanjaan milik laki-laki di sampingnya. Karena Janice bosan pulang lebih cepat, dia mengajak Lucian berjalan-jalan mengelilingi taman dekat rumahnya.
Seketika, mereka melewati sekelompok gadis sekolah. Ketika gadis-gadis itu mendekati Lucian dan memberikan senyum centil, Lucian ingin membalasnya sesuai arahan Janice: jika ada orang lain tersenyum kepadanya, dia harus membalas dengan senyuman. Namun yang muncul hanya senyuman yang terlihat dipaksakan, masih terlihat datar.
Sesaat kemudian, Janice tertawa terbahak-bahak. Gadis-gadis itu mengernyit bingung dan memilih menjauh.
Dengan wajah datarnya, Lucian hanya diam memperhatikan Janice yang tertawa lebar. Ini adalah hal baru yang dia lihat dari ekspresi gadis itu.
Tiba-tiba, Janice berdehem. Tetapi dia masih tersenyum geli. Ia menarik lengan Lucian untuk cepat pulang.
Namun ada yang aneh. Kenapa Lucian pasrah begitu saja ketika Janice menariknya? Janice terkejut ketika Lucian menatapnya tanpa henti.
"Sudah sampai, aku ingin istirahat dengan cepat. Jangan lupa bereskan baju-baju barumu. Aku duluan!" kata Janice sambil berjalan cepat menuju kamarnya setelah membuka pintu rumah. Telinganya memerah.
Tak terlihat oleh Janice, Lucian menampakkan senyuman secara tidak sadar. Senyuman yang tidak di paksakan.