chapter 08

1395 Words
Memainkan sepatu sambil menunggu hal yang belum pasti, tak pernah terasa seaneh ini. Benar kata orang, jika kita punya salah pada seseorang maka hidup kita tak akan tenang. Itu yang dirasakan Maxon. Sudah keterlaluan pada Inge. Maxon akui itu. Seharusnya Maxon tidak gegabah membuat pengumuman di mading tentang identitas Inge. Maxon tidak mengenal gadis itu luar dalam. Tidak tahu apa yang terjadi pada hidup gadis itu tapi malah sok tahu. Bodoh! Bodoh! Bodoh! Saat pintu kayu sederhana itu terbuka dengan perlahan, Maxon rela jika Inge akan memakinya atas mengajarnya sampai babak belur. Memang pantas ia dapatkan. "Inge---" "In?" Ucapan Maxon dipotong oleh Inge yang menyuruh cowok itu masuk. "Tapi sofa di kontrakan gue jelek." "Inge, gue ke sini buat minta maaf bukan buat ngehina lo. Gue masuk ya, Nge." Sedikit membungkuk saat akan masuk, Maxon menunjukan attitude miliknya yang tertanam sejak kecil. Setelah dirinya dan Inge duduk berhadapan, Maxon kembali bersuara. Menjelaskan bahwa dirinya tidak berniat membocorkan kehidupan Inge yang sekarang sudah jungkir balik. "Gue nggak akan ngusik lo lagi dan nggak akan pernah minta lo buat bantuin gue jadi jahat. Gue janji." Maxon menunjukan dua jari membentuk huruf V, dihadiahi dengusan geli dari Inge. "Lo nggak perlu berhenti sekolah, Nge. Tenang, rahasia lo nggak akan bocor." "Santai aja," ujar gadis itu. "Tapi gue butuh jaminan kalo lo nggak akan bongkar rahasia gue." "Gue mau lakuin apa aja." "Tenang, Max. Gue nggak minta yang aneh-aneh. Anggap aja ini simbiosis mutualisme." Maxon tak mengerti. Inge melanjutkan, "Lo emang harus janji nggak bakal beberin rahasia kalau gue sekarang miskin dan nggak punya kemampuan ngenalin warna biru. Sebagai jaminan agar lo nggak buka mulut, lo harus bayarin SPP gue sampai lulus dan bayarin uang kontrakan jelek ini tiap bulan. Terserah lo mau bilang gue matre atau apa pun. Biar lo nggak rugi, gue akan bantuin lo balas dendam ke mantan pacar lo. Menurut gue adil. Rahasia gue akan aman, lo juga dapetin apa yang selama ini lo mau. Kalo lo berani ember, gue bakal bikin lo dijahatin seluruh warga Mahardika." Maxon langsung bergeridik ngeri, namun ia senang saat Inge bilang akan membantunya. "Oke, gue setuju. SPP dan kebutuhan lo bakal gue tanggung. Gue janji bakal tutup mulut dan makasih udah mau bantu gue, Inge." Maxon bangkit berdiri, menggoyangkan tubuhnya tanpa malu padahal tadi seperti akan menangis karena takut tidak dimaafkan Inge. "Asyik! Bakal jadi orang jahat! Ye ye yeee!" Aneh. Satu kata dari Inge untuk Maxon karena cowok itu begitu senang akan jadi pemeran antagonis. ❄ "Mantan lo yang mana orangnya?" Inge mengernyitkan dahi saat gerbang SMA Intel dibuka oleh satpam. Banyak dari mereka yang memakai seragam kebangsaan bercorak orange khas sekolah preman itu keluar dengan terburu-buru. Mungkin lelah karena seharian belajar. Intel dijuluki sekolah preman karena siswa di sana sering membuat onar. Seperti turun temurun, setiap angkatan hobi sekali mengajak ribut SMA Garuda yang gedung sekolahnya berdekatan, beda nama jalan saja. Inge sebenarnya malas pergi ke kawasan Intel karena dia sering ikut tauran membantu anak Garuda meski sekarang sudah tidak lagi. Namun tetap saja akan gawat jika ada siswa Intel yang mengenali Inge. "Yang itu!" ujar Maxon sembari meluruskan telunjuknya pada gadis berambut peach terang. Maxon dan Inge berada di sebuah taksi, sekitar dua puluh meter dari gerbang SMA Intel. "Diwarnain?" Nada suara Inge terdengar tidak percaya namun setelahnya ia tampak biasa saja. Sudah jelas hal seperti ini diperbolehkan di Intel karena sekolah itu tempat anak-anak rusuh. Maxon mengangguk. "Tapi rambutnya emang peach dari dulu." "Max, lo nggak ngada-ngada, kan? Cantik banget, kulitnya putih kaya orang Korea. Masa sih dia mantan lo?" "Ngejek," ujar Maxon dengan bibir mengerucut. Inge langsung berdeham, "Ya sorry. Pantes lah dia putusin lo orang dia cantik banget, kok." "Ngejek lagi?" Inge dengan segera menutup mulutnya yang sering berkata frontal. Mereka berdua akhirnya memperhatikan Beverla yang tertawa bersama teman-temannya yang lain lalu berpisah setelah keluar gerbang. Tersisa hanya Beverla di pinggir jalan, dia terlihat menunggu seseorang dan tak lama datanglah mobil hitam mewah dan senyum Beverla melengkung indah. Melambai saat kaca mobil diturunkan. Inge melirik Maxon yang membuang pandangannya. Sepertinya cowok itu sudah tahu bahwa Beverla dijemput seseorang yang membuat Maxon kehilangan Beverla. "Itu cowok yang jadi pacar Beverla sekarang?" tanya Inge dengan suara kecil. Maxon mengangguk, ekpresinya cuek.  "Cowok itu selalu jemput Eve tepat waktu. Lalu mereka nggak akan langsung pulang, melainkan pergi makan dulu terus dia belanjain semua yang Eve minta." Maxon mulai bercerita dengan wajah tak ikhlas. Eve. Inge pikir, mungkin itu panggilan sayang Maxon untuk si gadis rambut peach itu. "Terus, apa rencana lo?" tanya Inge. "Lo lebih berpengalaman dalam dunia jahat, Nge. Lo pasti lebih tahu," jawab cowok itu minta ditabok Inge. Kalau ngomong suka bener. "Oke..." Inge membuang napas. "Kalau lo mau balas dendam, berhenti ikutin Beverla dan ngintip dari kejauhan gini. Gue yakin setiap pulang sekolah lo ke sini kan buat liat dia? Stalk ** dia terus mewek di kamar. Sekarang, stop. Lebih baik waktunya dipake buat bikin rencana jahat. Deal?" "Deal!" "Rencana pertama..." Inge menggantungkan ucapannya. "Lo mesti ke salon, Max." ❄ Maxon langsung menatap Inge sinis saat gadis berambut ombre ungu itu memberikan usul agar Maxon mewarnai rambutnya menjadi hijau. Jelas cowok itu tidak mau karena takut kembar dengar rumput. Akhirnya Maxon hanya potong rambut agar lebih rapi dan tetap dengan warna aslinya sejak lahir yaitu dark brown. Setelah satu jam di salon, mereka berdua sekarang sedang makan di warung BY yang fenomenal. Awalnya tampak baik-baik saja namun Maxon menemukan Inge termenung saat menatap selembaran yang di tempel di tembok. Sebuah brosur lomba renang. "Nge, lo berhenti ikut lomba renang?" tanya Maxon pelan sambil mengunyah. Inge back to earth, langsung mengalihkan pandangannya pada Maxon. Inge hanya mengangguk.  "Kenapa, Nge?" "Lo pernah nggak ngerasain berenang tapi penglihatan lo di dalem air jadi gelap? Max, lo tahu gue sekarang gak bisa lihat warna biru," jawab gadis itu cuek. Menikmati buburnya kembali meski nafsu makannya sudah hilang. Maxon tidak berbicara lagi karena takut mengatakan hal yang salah dan menyinggung Inge. Namun otak jeniusnya bekerja di waktu yang tepat. "Nanti gue anterin lo pulang, tapi lo ikut ke rumah gue dulu, ya!" Maxon berkata dengan semangat. Inge bertanya, "Apartemen?" "Rumah gue yang beneran. Terdiri dari Bokap dan Nyokap." "Iye, iye gue tahu. Mau ngapain?" "Ikut aja!" Cowok aneh itu malah terkekeh dan Inge berdoa agar Maxon tak melakukan hal yang membuatnya malu. ❄ Satu kata untuk Mamanya Maxon dari Inge: cantik sekali. Sekarang Inge tahu dari mana mata indah yang dimiliki cowok aneh itu. Maxon mendapatkannya dari sang Mama. Sesuai dengan namanya, Saphire, ibu Maxon ini punya bola mata teduh yang membuat iri. Saphire menyapa dan menjamu Inge dengan ramah dan karena itu juga Inge jadi tahu dari mana sifat hangat Maxon berasal. Pasti dari Mamanya, lagi. "Max nggak pernah bawa temen ceweknya main kecuali Rhea sama Shaen dan pacaranya Eve---" "Dah potooooos!" Maxon memotong ucapan ibunya. Saphire langsung terkekeh pada Inge karena salah. "Jangan pulang sebelum makan, ya. Tante mau masak, Inge jalan-jalan aja dulu sekeliling rumah." Saphire mengusap lengan Inge, beranjak ke dapur sehingga gadis itu mengangguk dan memberikan senyuman kaku. Maxon mengajak Inge menuju area kolam renang di belakang rumahnya. Cowok itu nyengir saat melihat warna air yang semula biru telah berubah menjadi putih. Tadi ia sudah menelepon orang rumah agar mengganti air kolam. "Nge, meski lo nggak bisa ikut lomba renang lagi, lo masih bisa tetep latihan di kolam gue. Warna airnya udah gue ganti dan nanti gue bilang ke tukang bersih-bersih kolam kalau mulai dari sekarang airnya nggak boleh biru. Kebetulan lantainya warna putih," kata Maxon kepada Inge yang diam saja. Inge bukannya tidak mau berlatih renang lagi, tapi untuk apa Maxon melakukan ini? Inge hanya akan membantu Maxon balas dendam dan sebagai balasannya rahasia Inge akan aman. Cowok itu tak perlu memfasilitasi Inge terlalu berlebihan. Lagi pula, Inge sudah hilang harap pada mimpinya. Maxon bertanya, "Lo kerja di restoran ayam mulai dari jam berapa, Nge?" "Tiga sore," jawab Inge masih belum mengerti. Maxon mengangguk, mencoba berpikir. "Mahardika pulang jam setengah dua. Setelah sekolah selesai kita bakal bikin rencana balas dendam selama setengah jam, dan setengah jam lagi lo latihan berenang. Ada waktu setengah jam buat lo siap-siap kerja. Setuju?" Inge menghela napasnya, menggeleng pada ide Maxon. "Gue---" "Anaresh Maxon tidak menerima penolakan." "Oke, kalo lo maksa. Tapi gue takut ngerepotin." "Nggak kok," jawab Maxon dengan senyum manis. "Kebetulan gue juga suka berenang. Kita latihan bareng nanti ya, Nge." Dan Inge hanya mengangguk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD