chapter 07

779 Words
Inge tak pernah tertarik pada sesuatu apalagi hal yang berkaitan dengan sekolah. Masa bodo mau ada pengumuman atau apa pun. Ia masuk dan ikut mencatat pelajaran saja sudah bersyukur. Namun kali ini hampir semua murid berbisik2 setelah mereka melihat pengumuman di mading. Apaan dah? Inge ingin pergi saja ke kelas karena ia capek setelah upacara bendera, tak seharunya mengurusi ini. Jika saja pengumuman yang tertempel di mading itu hal yang receh mungkin Inge benar-benar pergi. Tapi, Inge gagal melangkah. Karena ini... sesuatu yang seperti terasa ditunjukan untuk dirinya. "The most girl Mahardika ada yang buta warna dan jadi miskin. Tapi dia masih sombong. Mau tahu nggak siapa?" Buat gue? Inge menggeram di tempatnya, memikirkan siapa yang tahu identitas aslinya sekarang. Fatal, Inge tak mau sampai semua murid Mahardika tahu bahwa sekarang ia adalah orang payah yang tak punya apa-apa lagi untuk dibanggakan. "Misi-misi!" Inge mendorong beberapa bahu siswi yang menutupi mading. Tanpa peduli ia merobek pengumuman sialan ini meski para temannya mendesah karena perbuatan Inge. "Kenapa dirobek, Nge? Yang dimaksud dalam pengumuman ini bukan lo, kan?" Salah seorang siswi menyeletuk dengan wajah meremehkan. Untuk pertama kalinya ada yang berani kepada Inge. Gadis itu mengambil langkah untuk menghampiri siswi yang baru saja menyentil egonya. Menarik kerah, dengan sorot lebih meremehkan. "Lo ada bukti nggak? Gue bahkan bisa beli satu toko sepatu murahan yang lo pake!" Kali ini siswa yang menyeletuk, "Terus kenapa dirobek kalau lo nggak ngerasa, Nge?" Inge melepaskan cengkramannya, berubah untuk melirik siswa banci yang langsung mundur padahal Inge tak ada niat untuk bergerak. Inge menjawab, "Mading ini diketuai sama kembaran Shaen dan dia bisa nampar kalian kalau tahu mading sodaranya ditempelin berita hoax kaya gini. Sistem Mahardika nggak akan pernah berubah: Lo kaya, lo berkuasa. Orang miskin mana bisa sekolah di sini! Jangan suka mudah kehasut berita receh! Sekarang, pergi lo semua!" Bagai sapi yang dicocok hidungnya, mereka semua membubarkan diri sedangkan Inge sudah meremas kertas berisi jati dirinya yang asli. Setelah berdebat dengan pikirannya, ia membawa langkah menuju toilet namun sebuah suara mengintrupsi saat Inge berjalan di koridor sepi Mahardika karena semua murid sudah masuk kelas setelah bel beberapa saat lalu. "Kok dirobek, Nge?" Inge mendelik, memperhatikan Maxon yang menatapnya dengan ekpresi asing. Tidak ada lelucon, seperti biasanya. "Lo yang nempelin berita murahan ini?!" tebak Inge langsung. Ia tak punya bukti namun melihat Maxon berlaku aneh, Inge jadi berpikir buruk. "Gue tahu cewek yang buta warna dan berubah jadi miskin?" Maxon malah menunjuk diri sendiri dengan nada kebingungan. "Don't answer the question with question!" "Kalau iya, kenapa? Lo mau ngaku kalo lo emang buta warna, Nge?" Inge yakin giginya sudah menggeletuk karena menahan marah. Jarinya juga langsung terkepal. "Dari mana lo tahu?" Maxon mengibaskan tangannya. "Nggak penting. Intinya, besok Mahardika akan heboh tahu seorang Ingesti Gloria sekarang tinggal di kontrakan kumuh---upps!" Inge ingin sekali membawa tangannya pada pipi Maxon dengan gerakan sangat keras, namun ia sadar ini masih di area Mahardika. "Kenapa? Lo kesel karena gue nggak mau bantuin lo balas dendam?" Inge masih angkuh meski bisa saja ini hari terakhir dia berada di sekolah. Jika Maxon benar-benar membeberkan status Inge, reputasi dan harga dirinya akan mati seketika. Dengan gerakan lambat Maxon menggeleng, melangkah sedikit demi sedikit pada Inge yang mencoba menahan amarahnya. "Gue nggak suka sama pembohong. Lo termasuk, Inge." "Ini bukan urusan---" "Gue mau jadi jahat dan mungkin ini bisa jadi awal yang baik melatih sifat antagonis gue." Maxon memotong. "Gue bakal beberin rahasia lo tentang... Ingesti Gloria yang sekarang udah nggak kaya raya lagi. Bahkan punya kelainan dalam melihat warna." "Tutup mulut lo, Sialan!" Inge sudah benar-benar di ujung batas kesabaran. "Kenapa? Seru kayanya kalau satu Mahardika tahu---" "Beberin, Max!" teriak Inge dengan wajah memerah. Sudut-sudut matanya keluar cairan bening. "Gue emang miskin sekarang. Dan gue bukan buta warna! Gue cuma nggak bisa bedain warna biru! Gue bakal keluar dari sekolah ini! Gue juga bakal mati setelah ini! Silakan beberin! Terserah lo, b******n!" Maxon terpaku saat Inge mendorong dadanya dengan keras. Gadis itu berlari, langkah kakinya yang cepat menimbulkan suara berisik di koridor sepi. Inge pergi sambil terus menyeka air matanya. Tak ada siapa pun di sini kecuali Maxon dan cowok yang tak menyangka akhirnya akan seperti ini---malah melenceng dari rencana, langsung mengutuk dirinya sendiri. Awalnya Maxon hanya ingin Inge menyerah, lalu mau membantunya balas dendam pada mantan Maxon. Maka dari itu ia sedikit menggeretak dengan menempelkan rahasia Inge di mading. Tanpa nama sih, tapi Maxon tak memikirkan efeknya bagi murid Mahardika. Mereka pasti sudah menebak-nebak dan Inge tentu saja was-was karena merasa dan takut rahasianya terbongkar. Maxon lupa... Mempermainkan jiwa yang hancur mungkin saja akan berakibat fatal. Atau yang lebih parah, kepingan patah itu semakin lebur. Dan itu karena perbuatan bodoh Maxon.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD