chapter 09

1444 Words
"Sebelas menit empat puluh detik! Buset, lo jelmaan ikan cupang ya, Nge?!" Maxon berteriak saat kepala Inge menyembul pada permukaan kolam renang setelah bersemedi lama di dalam air. Maxon hampir menelepon tukang siomay depan komplek dan pemadam kebakaran jika Inge tidak keluar-keluar. Takutnya pingsan di dalam air. Bentar dulu, Max. Apa hubungannya? "Gue suka duduk lama-lama di ubin kolam, rasanya tenang," jawab Inge sambil keluar dari air. Mengambil handuk untuk ia pakai menghangatkan tubuhnya yang terlalu lama bermain air. "Lo bukan anak Poseidon, kan?!" Maxon heboh sendiri. "Jangan-jangan lo adiknya Percy Jackson?! Kekuatan lo nambah kalau lama-lama di air, ya?!" "Dasar korban film." Inge berdecak sambil geleng-geleng. "Gue anak emak-bapak gue lah, Maxon." "Eheheh. Bener juga." Cowok dengan alis tebal itu akhirnya terkekeh, sadar bahwa itu tidak mungkin. Meski bisa saja sih. Maxon percaya dunia ini punya banyak portal dan kejadian di luar nalar yang terkadang tidak bisa dijelaskan dengan logika manusia modern. Gara-gara yakin pada hal-hal seperti itu terkadang Maxon disebut aneh oleh orang-orang. Padahal, suka-suka Maxon, lah! "Lagian kalau lo jadi anak setengah God alias dewa, lo nggak cocok jadi anak Poseidon. Kebagusan." Ternyata Maxon belum selesai. "Cocoknya jadi anak siapa? Obama? Nicki Minaj?" Inge tak ingin melayani ocehan Maxon namun ia malah bertanya sambil mengeringkan rambutnya menggunakan handuk. "Olympians terlalu oke buat manusia jahat macem lo. Lo cocoknya jadi anak dari mitologi Nordic biar jadi sodaranya Thor, kuat-kuat. Siapa ya yang cocok?" Maxon menahan ucapannya karena ia sedang berpikir dewa atau dewi apa yang cocok jika menjadi orangtua si jahat Inge. "Ummm, Dewi Hel, mungkin?" "Apa, sih?" Inge tak tahu apa yang diucapkan Maxon karena ia tidak tertarik dengan mitologi Yunani atau sebagainya. Paling mentok, Inge hanya tahu Zeus. Sisanya tidak penting karena Inge juga tidak mau tahu. Ditambah, hal seperti itu bagi Inge adalah mitos. Dongeng pengantar tidur untuk para bocah. "Max, mending sekarang kita langsung pergi buat ngelaksanain rencana." Inge menunjukan buku catatan berisi planing balas dendam untuk Beverla, mantan terindah Maxon. "Hal yang lo lakukan hari ini adalah pergi ke bioskop tapi jangan nyapa dia duluan. Harus jual mahal. Ngerti?!" Maxon mengangguk. Inge menyuruhnya untuk datang ke bioskop setelah tadi dia mengintip snapgram Beverla. Gadis itu akan nonton dengan teman-temannya. Maxon dan Inge bergegas pergi ke mall tempat Beverla akan nonton bioskop. Inge memberikan petuah bahwa Maxon tidak boleh terlihat bucin di depan Beverla. "Tunjukin bahwa lo udah move on!" ujar Inge, tegas. Maxon yang semula akan mengangguk lagi langsung memasang wajah sendu. "Tapi kan aslinya belum?" "Pura-pura! Gengsi dong, Max?!" "Oke-oke." Inge masuk duluan ke bioskop, menunggu pada kursi yang sudah disediakan sambil mencari-cari di mana Beverla. Ternyata gadis itu datang bersama tiga temannya dari pintu lain, masih menggunakan seragam sekolah. Melangkah ke tempat tiket. Dengan segera Inge memberi kode kepada Maxon agar cepat-cepat masuk sebelum Beverla selesai memesan tiket. Maxon paham intruksi Inge, ia langsung melangkah menuju tempat tiket dengan gaya cool. Berbeda dengan Maxon yang biasanya. Jantung Maxon semula santai, tapi setelah melihat Beverla ia jadi terserang gejala panik bertemu dengan mantan. G-A-W-A-T! "Maxon?" Beverla sadar siapa orang yang mengantri di sebelahnya sehingga ia menyapa. Tak lupa disertai dengan sorot bingung karena pakaian yang dipakai Maxon tampak sangat berbeda. Cowok itu biasanya senang memakai celana selutut dengan warna-warna ngejreng. Kaus-kausnya juga terlalu sederhana untuk ukuran orang tajir. Tapi kali ini Beverla seperti melihat sosok lain dari Anaresh Maxon. Cowok itu pakai produk keluaran Gucci yang Beverla ketahui harganya itu selangit alias mehong dan juga Maxon potong rambut, sehingga lebih rapi. Maxon bisa merasakan keringat dingin akan keluar dari kulitnya tapi ia bersyukur karena mendapat kekuatan untuk memasang ekpresi kelewat cool. "Beverla?" sapanya balik. Meski masih bingung dengan style sang mantan yang sekarang, tapi Beverla mencoba tidak penasaran. Ia kembali bertanya dengan nada ramah, "Nonton ya, Max? Sama siapa?" Mampus. Inge, gue mesti jawab apa nih? Maxon tidak diberi arahan oleh Inge jika Beverla menanyakan hal ini, jadi ia bingung. "Sendiri, Max?" Beverla mengulang. Maxon langsung menggeleng. "Sama temen," katanya. Beverla mengangguk mengerti. "Oh iya, Max. Gue mau jelasin soal kenapa gue putusin lo dan memperlakukan lo kayak kemarin. Nomor lo masih yang lama?" Inge, gue udah keringet dingin nih! Gue harus ngapain?! "Jelasin apa lagi?" Maxon berkata hampir tanpa nada. Berakting. "Menurut gue udah cukup. Gue happy sama hidup gue yang sekarang dan kayanya lo juga. Jadi, jalani hidup masing-masing aja." Maxon bisa melihat bahwa Beverla kehilangan kata-katanya. Gadis berambut peach itu pasti tak pernah menyangka bahwa si alay Maxon ternyata punya sifat tegas seperti ini. Rasakan! "Gue duluan." Setelah memesan dua tiket, Maxon pamit pada Beverla yang masih saja diam di tempat. Gadis itu hanya bisa mengangguk. Inge yang sejak tadi memperhatikan, langsung menghela napas lega. Nampaknya Maxon sudah berhasil menjalankan misi pertama: terlihat baik-baik saja di depan mantan. Namun ternyata Inge salah. Amat sangat salah. Karena setelah Maxon berada di hadapannya sambil menunjukan dua tiket film, cowok yang wajahnya sudah pucat pasi itu langsung jatuh pingsan. Membuat Inge mendesah keras dan berkata, "Dia bukan temen saya. Saya nggak kenal dia!" Pada setiap orang yang melirik bingung padanya dan juga pada Maxon. Anaresh Maxon memang tak akan pernah berubah. Memalukan, selamanya. ❄ Tuk! Sebuah penghapus papan tulis mendarat pada dahi Inge karena gadis itu ketahuan menutup mata padahal pelajaran sedang berlangsung. Inge mengangkat jari, membuat huruf V seolah berjanji pada guru bahwa ia tidak akan tidur lagi. Kecuali jika ia bablas. "Lo semalem ngapain? Nggak tidur?" Shaen bertanya pada Inge yang duduk di belakangnya. Gadis itu wajahnya sayu, lepek bagaikan baju setengah kering yang tidak dapat sinar matahari. Inge hanya menguap, benar-benar mengantuk. Semalam ia tidur tapi mengalami mimpi yang lumayan aneh. Inge tidak tahu di mana tempatnya ketika ia berada dalam mimpi semalam. Hanya jalan raya luas lalu ia melihat anak-anak berlarian. Inge memanggil seseorang tanpa suara dan dalam mimpinya Inge tidak bisa bicara alias ia merasa bisu. Anehnya, meski begitu, Inge tetap berteriak panik entah memanggil siapa. Inge tak mau mengartikan mimpi karena itu hanya bunga tidur. Tapi gara-gara ia terbangun jam tiga pagi dan tidak bisa tidur lagi, akhirnya sekarang Inge mengantuk. "Akhir-akhir ini lo selalu sama Maxon. Ada apaan?" Cowok yang duduk di sebelah Inge, yang ngomong saja biasanya irit tiba-tiba mengajaknya bicara. Inge melirik Xeliv tanpa minat. "Urusan lo emang?" "Bukan. Cuma mau mastiin. Lo pedeke sama dia?" "Kagak, lah. Mabok ya lu? Gue cuma ada urusan doang." Xeliv tidak menjawab sehingga Inge juga malas untuk melanjutkan obrolan. Meski mereka teman sebangku sejak kelas sepuluh, tapi intensitas berbicara satu sama lain bisa dihitung jari. Xeliv mengajak Inge berinteraksi jika sedang ada ulangan atau minta sumbangan hotspot. Selebihnya, mereka sebangku tapi punya dunia sendiri. Bel istirahat akhirnya berbunyi, semua murid langsung keluar dari kelas tapi tidak untuk Inge. Ia memilih melipat kedua tangannya di atas meja, ingin tidur saja daripada jajan ke kantin tapi suara murid lain yang berteriak membuatnya kehilangan selera tidur. Inge keluar kelas dengan mata berat, melangkah menuju kamar mandi untuk cuci muka tapi karena para murid berlarian ke depan gerbang depan, jadilah Inge ikut-ikutan membawa kakinya ke sana. Padahal biasanya Inge tidak mau tahu. "Serem banget, gila!" "Kasihan, anak kecil!" Inge mengerutkan dahi karena keadaan ramai sekali. Ia sampai tidak bisa melihat apa yang terjadi karena gerbang penuh oleh murid yang lain. "Ada apaan?" tanya Inge pada seorang siswa yang mempunyai satu bintang di kerah seragamnya. Kelas sepuluh. "Anak TK seberang ketabrak motor, Kak. Meninggal di tempat." Tabrakan? Sepertinya benar karena Inge bisa mendengar suara perempuan menangis keras sambil terus berkata, "Bangun, Nak! Mama di sini! Ya Tuhan, saya saja yang mati! Jangan anak saya!" Satpam Mahardika menyuruh para murid untuk bubar karena insiden ini akan ditangani oleh pihak yang berwajib. Satu persatu mereka meninggalkan gerbang, hanya Inge saja yang kelewat penasaran karena ia merasa de javu. Melihat jalan raya di hadapannya, entah mengapa seperti membawa Inge pada mimpinya semalam. Inge langsung menggeleng keras, baginya ini hanya kebetulan. Perlahan ia berbalik badan untuk pergi dari sana namun tubuhnya membeku ketika seorang ibu yang hari ini kehilangan nyawa putrinya itu kembali kalap, "Tukar nyawa saya, Tuhan! Saya mau anak saya hidup!" Inge merasa kasihan, namun ia mendengus miris. Jika boleh, Inge ingin bertukar dengan gadis kecil itu. Inge tidak mencintai hidupnya, seharusnya Tuhan menjemputnya saja, bukan malah mengambil nyawa gadis kecil tak berdosa itu. Tapi, maut tidak datang setelah memberi aba-aba. Maut datang pada waktu yang terkadang tidak diinginkan. Yang bisa manusia perbuat hanya terus melakukan yang terbaik sebelum waktu pulang menjemput. Meski sepertinya Inge tak akan pernah bisa berbuat hal baik, sangat sulit untuknya. Karena ia tak menemukan alasan untuk mencintai hidupnya saat ini. Dan jika kalian sudah punya cara untuk mencintai diri sendiri serta tahu bagaimana menjalani hidup dengan ikhlas, Inge hanya ingin berkata: "Bersyukurlah."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD