chapter 06

1279 Words
Benar itu Inge! Maxon berani jamin bahwa gadis rambut kuncir kuda yang sedang membersihkan meja dan bekas makan pengunjung adalah Ingesti Gloria. Orang yang Maxon harapkan mau membantunya menjadi jahat agar bisa balas dendam dengan baik dan benar. Tapi, kenapa Inge kerja di restoran ayam? Atau pertanyaan yang tepat adalah: Untuk apa Inge bekerja? Hell, siapa yang tidak tahu gadis sangar itu? Satu Mahardika hapal bahwa Inge termasuk ke dalam geng beranggotakan anak high class dari keluarga terpandang. Maxon juga tahu bahwa Inge anak seorang Direktur perusahaan besar meski Papa gadis itu telah tiada akibat kecelakaan. Dan tidak mungkin Inge kerja. Uangnya sudah banyak bahkan dia bisa membeli lima restoran ayam sekaligus jika mau. Maxon meragu dengan penglihatannya sendiri, namun orang itu mirip sekali dengan Inge. Rambut ombre dark purple-nya yang membuat Maxon yakin bahwa dia benar-benar Inge. Daripada penasaran, Maxon membawa langkahnya memasuki restoran. Mencoba mencari tahu kebenarannya. Agar tidak ketahuan sedang menguntit, Maxon membeli satu set ayam plus nasi meski sebenarnya ia juga sedang lapar. Saat Maxon mengunyah kulit garing ayam pesanannya, ia melihat orang yang mirip Inge keluar dari dapur. Melepas apron lalu berbincang dengan seorang wanita seumuran ibu Maxon. "Inge, tolong beli balon warna biru dan putih, ada pelanggan yang menyewa restoran untuk birthday party." "Sip, Kak Olin." Maxon melongok, karena ternyata gadis itu benar-benar Inge. Tapi... kenapa Inge kerja? Masih menjadi teka-teki. Meninggalkan ayamnya yang masih minta dibelai, Maxon bergegas untuk mengikuti ke mana perginya Inge. Gadis itu melangkah santai menuju toko yang menjual alat-alat untuk pesta. Dari tempatnya mengintip, Maxon bisa melihat bahwa Inge sedang memilih balon siap tiup dengan penjual toko. Namun begitu lama, membuat Maxon mengerutkan dahinya. "Mau warna apa Nona, balonnya?" tanya si penjual. Inge menjawab kikuk, "Biru sama putih. Tapi kayanya Bapak nggak jual warna biru, ya?" "Malah saya kehabisan putih, Nona. Ini biru semua." Maxon mendelik, mencoba melihat balon-balon itu dengan saksama. Dan benar, tidak ada warna putih di sana. "Jelas-jelas ini abu sama putih," kata Inge terdengar sewot, membuat penjual dan juga Maxon bingung. "Ini biru. Tinggal biru saja, Nona." Penjual mencoba memberi tahu yang sebenarnya dengan sabar. "Pak, kalau mau bohong tuh ke anak kecil. Jelas-jelas nggak ada warna biru. Saya nggak jadi beli balonnya!" Maxon tidak paham dengan Inge. Ia tahu gadis itu jahil di sekolah, namun apakah harus bermain-main dengan penjual? Segala mengatakan tidak jadi beli. Padahal sudah terbukti bahwa balon itu warna biru, sesuai yang Inge cari. Inge sudah keluar dari toko, Maxon mengintil lagi di belakang dengan mengendap-endap. Gadis itu masuk ke toko lain untuk membeli balon yang ia maksud. Setelah dapat, Inge duduk dulu sebentar di kursi taman untuk mensejajarkan kakinya yang pegal karena bekerja seharian. Sampai ada satu anak kecil membawa buku gambar dan crayon, duduk di sebelah Inge. Entahlah mengapa Maxon mengikuti Inge sampai sejauh ini, ia juga tidak tahu. "Bagus nggak gambarku, Kak?" tanya anak kecil itu sumringah, berharap agar pekerjaannya dapat apresiasi baik. Inge melirik sedikit, meski tampak cuek namun ia mengangguk. "Bagus, tapi akan lebih keren kalau diwarnain, Dik." "Sudah, kok. Aku kan menggambar lautan. Pake crayon warna biru." Inge terlihat mengerutkan dahinya, wajahnya yang semula tampak biasa saja kini berganti memikirkan sesuatu. Maxon masih memperhatikan, sampai ia melihat Inge bangkit dari duduknya lalu melangkah cepat dari taman. Sebelum Maxon mengejar Inge, cowok itu sempat menghampiri anak kecil yang sekarang sibuk memilih warna crayon. Maxon menemukan ucapan anak kecil itu benar. Dia menggambar sebuah lautan plus dengan sebuah kapal dan beberapa ikan. Lautnya juga sudah diwarnai dengan crayon berwarna biru. What's wrong? "Apa maksudnya, sih, si Inge itu? Anak kecil aja diisengin," gumam Maxon nggak habis pikir pada kejahilan Inge yang sepertinya sudah mendarah daging. Cuma warna aja dipakai lelucon untuk kesenangan sendiri. Dasar bad girl! ❄ Duduk di depan laptop dengan tangan bergetar sebelumnya tak pernah Inge rasakan. Ia tak pernah sewas-was ini hanya untuk mencari sesuatu di Google. Namun entahlah, kali ini terasa begitu berat baginya. Jari lentik Inge sudah berada di atas keyboard, perlahan mengetik satu kata kunci yang menurutnya akhir-akhir ini sangat menyeramkan. Blue. Saat Inge menekan enter, saat itu pula gadis itu merasakan kosong yang amat sangat dalam hatinya. Inge hanya bisa melihat beberapa gambar ber-background putih atau abu-abu pada layar laptop-nya. Bahkan warna tubuh Doraemon versi Inge adalah putih. Gue bener-bener udah nggak bisa lihat warna biru.... Inge ingin berteriak kencang, namun ia sadar Mamanya akan khawatir sehingga yang bisa ia lakukan hanya menyeka bulir-bulir kristal sialan yang membuat sudut matanya panas. Dengan kesal bercampur sedih Inge mengetik keyword: Cara bunuh diri tercepat untuk mati. Namun setelah beberapa artikel muncul, Inge langsung menutup laptop-nya keras. Menarik rambutnya kuat, menggigit bibir bawah agar isakannya tidak terdengar oleh telinga Delima. ❄ "Max! Woii!" Maxon mengaduh saat kepalanya dipukul dengan penuh cinta oleh Xeliv, salah satu sahabatnya yang biasanya ngomong saja irit. "Apa sih?" Maxon sewot karena merasa diganggu. "Gue lagi ngomongin overwatch, lo malah bengong." Xeliv ikut sewot karena Maxon selalu semangat membahas game tapi hari ini seperti tak bernyawa. "Masih mikirin Beverla?" tebak Deenan yang baru saja menyeruput es teh manis. Mereka sedang nongkrong di kantin, kebiasaan sebelum pulang karena parkiran masih penuh jika keluar saat bel berbunyi. Maxon menggeleng. "Nggak ini ih!" "Lama-lama lo kaya cewek. Lenjeh." Xeliv meledek. "Tumben ngomong lebih dari sepuluh kata," sindir Maxon tak mau kalah sehingga Xeliv kembali menggeplak kepala Maxon. "Udah ah, gue pulang duluan!" Maxon bangkit dari duduk meninggalkan sahabatnya yang masih menunggu parkiran sepi. Maxon melangkah dengan hati penasaran menuju kelas Inge namun gadis itu sudah terlihat akan keluar gerbang sehingga Maxon berlari mengejar. "Nge! Nge!" Inge membalikan tubuhnya, mengerutkan dahi karena menemukan Maxon yang ngos-ngosan. "Masih mau ngomongin tentang keinginan lo jadi jahat?" Inge menebak. Maxon menggeleng, malah mengeluarkan sesuatu. "Gue beli sapu tangan. Pengen yang putih tapi malah ada yang biru. Buat lo aja deh, lo keringetan tuh." Inge menyentuh dahinya yang memang sedikit keluar keringat karena Inge memakai hoodie. "Ambil," tambah Maxon. "Apa sih lo? Nggak jelas banget. Balik sono!" Inge hendak melangkah pergi namun tangannya di tahan Maxon. "Inge, gue nggak suka warna biru. Buat lo aja." "Mana biru sih, Max?! Ini abu-abu! Dasar buta warna!" Setelah membentak Maxon sehingga murid yang lain sempat melirik, Inge langsung pergi dari sana. Maxon sangat annoying membuat Inge kesal. Pantas saja mantan pacar Maxon selingkuh karena Maxon itu aneh dan nggak jelas. Siapa yang mau coba sama dia? Maxon berdiri dengan tangan kanannya menggenggam sebuah sapu tangan. Dia yakin ada yang tidak beres pada Inge karena sapu tangan yang Maxon pegang ini berwarna biru, bukan abu-abu. Cowok dengan IQ tinggi itu segera mengejar Inge lagi namun dengan jarak jauh seorang penguntit pada objek. Ternyata Inge kembali ke restoran ayam yang kemarin. Gadis itu benar-benar kerja di sana. Maxon yakin setelah Inge memakai apron dan mengganti seragamnya menjadi kaos putih dan celana bahan hitam. Demi memecahkan teka-teki abstrak ini Maxon sampai menunggu sampai Inge selesai bekerja yaitu jam sepuluh malam. Cowok itu sempat ditelepon Mamanya beberapa kali karena belum pulang dan untuk yang pertama kalinya dia berbohong. Maxon mengatakan akan menginap di rumah Xeliv karena besok hari Sabtu, Mahardika libur. Karena Maxon anak baik, Mama percaya tanpa banyak tanya. Namun Maxon berjanji lain kali tidak akan berbohong lagi. Ia sayang sekali pada Mamanya. Maxon mengikuti Inge dengan perlahan. Matanya sedikit membulat saat melihat orang yang ia buntuti mengetuk sebuah pintu yang bisa dikatakan tidak layak lalu seorang wanita dengan tampang sayu membukakan pintu untuk Inge. Tunggu, sekarang Inge tinggal di sini? Jadi mis... miskin? Maxon mengambil ponselnya, lantas mengirim pesan kepada Inge apakah gadis itu mau membantunya membalaskan dendam. Ingesti : Bawel lo. Urusin aja sendiri. Mager gue! Maxon : Oke. Kalau gitu lo orang pertama yang harus liat gue jadi jahat!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD