chapter 19

1568 Words
Entah sejak kapan Inge berhenti bermimpi hal-hal aneh, dan ia juga tidak lagi melihat arwah-arwah yang biasanya menempeli banyak orang di mana-mana. Inge merasa normal kembali, hanya kemampuannya melihat warna biru yang tetap tidak ada perubahan. Buta warna memang tidak ada obatnya, Inge tahu itu—dan dia mulai bisa menerima. Sejak Inge pergi ke makam Papa dan mengeluh soal hidup, sebenarnya Inge mulai mengikis beban di pundaknya, juga melepas duri-duri di hatinya. Riyanti—arwah pengantin itu bahkan meminta Inge untuk belajar ikhlas. Sepertinya berhasil, Tuhan memberikan ketentraman pada jiwa Inge. Kuncinya sangat simple—ikhlas. Dipikir-pikir, hidup Inge yang sekarang tidak seburuk itu. Meski luka kehilangan sosok papa akan terus membekas, setidaknya Inge masih bisa mencicipi masakan seorang ibu. Tidur di atas kansur dan sekolah dengan layak. Inge hanya sedang mengumpukan keberanian—berbicara pada gengnya bahwa dia sekarang bukan dari salah satu orang yang bisa membeli saham di Starbucks atau menghamburkan uang untuk produk terbaru keluaran Chanel. Hanya ada Ingesti Gloria, tanpa ada embel-embel anak orang kaya. Hari ini The Barbie's berkumpul di kamar Shaen, menonton series dari Amerika sambil makan pizza. Inge berencana akan menjelaskan keadaannya, namun dia tidak tahu harus dimulai dari mana. "Barbie, emang iya Deenan bakal masuk kelas unggulan?" Kirey bertanya pada Shaen perihal rumor yang beredar. Mahardika memang menyediakan kelas spesial untuk anak kelas 12, berisi murid yang memang sangat pintar atau murid-murid yang orangtuanya rela membayar sangat mahal demi fasilitas enak. Tidak ada yang protes tentang kelas unggulan karena untuk masuk dan bisa bersekolah di Mahardika saja sulit, sehingga yayasan memperbolehkan adanya kelas khusus. "Nggak tahu." Shaen mengangkat bahunya. "Deenan kan nggak suka perbedaan sosial kaya gitu." "Kita masuk kelas unggulan jangan pas nanti kelas 12?" tanya Kirey lagi. Inge mendadak kesulitan bernapas, takut jawaban dari Shaen atau Rhea menyetujui tentang masuk ke kelas unggulan. Inge tidak pintar, ketiga sahabatnya juga kurang tentang nilai akademik sehingga jika mereka ingin masuk kelas unggulan—jawabannya hanya satu; mereka membayar. Dan Inge tidak akan bisa sanggup mengeluarkan uang berjuta-juta perbulannya hanya demi duduk manis di kelas unggulan. "Emang lo pikir guru-guru bakal ngizinin kita sekelas?" Rhea tertawa, mengingat ketakutan para guru tentang The Barbie's yang katanya bisa mengacaukan Mahardika jika dibiarkan satu ruangan. "Kalau nggak pinter, berarti yang masuk kelas unggulan adalah orang-orang yang takut jadi keset kita," jawab Shaen, santai. "Nggak penting banget masuk ke kelas gaje." Bolehkah Inge bernapas lega? "Gue jadi inget kasus tahun kemaren ada siswi kelas unggulan yang keluarganya bangkrut tapi pura-pura tetep tajir dan nggak mau keluar dari kelas unggulan." Rhea tertawa sambil mengoleskan saus pada sepotong pizza miliknya. "Cuma demi harga diri dia pura-pura bohong? Menjijikkan." "Kasian banget, kan?" Shaen menimpali, ikut terbahak. Kirey mengangguk-anggukan kepalanya, merasa senang dan bangga. "Untung kita berempat beneran rich jadi nggak perlu tipu-tipu!" Pizza yang Inge kunyah terasa hambar bahkan suhu tubuh Inge merosot, peluh bercucuran. AC di kamar Shaen tidak berguna untuk menenangkan pikiran kacaunya. Hari ini, Inge gagal lagi untuk jujur pada kawan-kawannya. *** Maxon baru saja pulang jalan dengan Beverla. Hanya pergi ke kafe, tapi Inge bisa melihat bahwa cowok itu happy. Maxon bilang bahwa Beverla memutuskan pacarnya yang posesif dan Maxon hanya mencoba menghibur gadis itu dengan cara mentraktir es krim. "Gue nggak ngerti kenapa ada orang sebaik lo, Max," kata Inge, yang baru saja keluar dari kolam renang pribadi milik Maxon. Ibunda cowok itu membiarkan Inge berlatih di saat Maxon tidak ada di rumah. "Gue nggak sebaik itu." Maxon menelan sesuatu lalu meminum air—kegiatan yang sering dilakukan Maxon itu baru Inge sadari. "Gue pernah berbuat jahat." Mungkin benar, tapi Inge percaya bahwa 'jahat' yang dimaksud Maxon hanya sebatas mengambil anak ayam punya tetangga. "Alasan gue nggak mau main biola lagi bukan karena gue serius mau berhenti." Maxon berdeham, sorot wajahnya memperlihatkan bahwa dia serius. "Karena gue pernah sengaja ngehancurin biola seseorang pas gue pas les." "Serius?" Maxon mengangguk, ada sebuah siluet penuh penyesalan dari matanya. "Gue nggak pernah dapet juara satu kalau ada lomba biola, itu membuat pelatih gue marah. Katanya nyokap gue udah bayar dia mahal-mahal untuk ngajarin gue—supaya gue bisa jadi pemenang, tapi tetep aja gue kalah." Jeda panjang. "Gue kesel, dan nggak ngerti kenapa kemampuan gue nggak bisa sehebat temen les gue. Saat pelatih bilang untuk cari kelemahan temen les gue itu, gue ngehancurin biolanya. Gue kira dia cuma bakal berhenti ikut lomba, tapi temen les gue itu berhenti main biola. Sampai sekarang." "...." "Lo mau tahu siapa temen les gue, Nge? Xeliv," tambah Maxon dengan suara kecil. "Xeliv berhenti main biola, itu karena gue. Makanya gue nggak mau main biola lagi. Gue ngerasa bersalah." Inge merasa mendapatkan kejutan bertubi-tubi. "Apa Xeliv tahu—biolanya dirusak sama lo?" tanyanya dengan hati-hati. "Ya," Maxon menundukkan kepala. "Xeliv bilang bahwa dia benci main biola dan bukan sebuah masalah biolanya hancur karena akhirnya dia bisa berhenti. Tapi gue tahu dia bohong. Dia suka main biola, dia cuma menenangkan gue agar semakin nggak menyesal." Inge sekelas dengan Xeliv, bahkan satu meja. Mereka jarang mengobrol dan tidak terlalu kenal dekat tapi sekarang Inge punya jawaban mengapa Xeliv senang sekali duduk di kursinya sendirian sambil mendengarkan instrumental klasik. Juga alasan mengapa nilai seni Xeliv sangat tinggi padahal dia hampir selalu tidur saat pelajaran seni berlangsung. Xeliv juga pernah bertanya mengapa akhir-akhir ini Inge terlihat selalu bersama Maxon—sepertinya Xeliv peduli pada teman satu gengnya itu. Inge terkenal bar-bar, Xeliv menaruh curiga bahwa Maxon di-bully oleh Inge. Setidaknya itu yang berada di dalam pikiran Inge. "Xeliv itu diemnya melebihi Deenan. Kalau Deenan masih bisa marah, nah Xeliv nggak. Dia selalu pendam sendirian," jelas Maxon. "Gue ngerasa bersalah sampai sekarang." "Itu masalah lama, dan lo juga udah minta maaf kan sama Xeliv? Bahkan di Mahardika lo berdua kaya kancing sama kemeja. Lengket banget." Inge ingin menenangkan Maxon, tapi dia tidak bisa mencari kalimat puitis. Maxon memberikan Inge sebuah senyuman kecil, dia paham apa yang sedang dilakukan oleh gadis itu. "Oh iya, jangan ngirimin makanan enak terus ke kontrakan," kata Inge, merasa tidak nyaman mendapatkan kebaikan bertubi-tubi dari Anaresh Maxon. Dia tidak mau berakhir dengan bergantung apa pun pada cowok itu. "Gue dapet gaji dari resto ayam, bisa beli makan sendiri. Tapi, makasih ya, Max. Besok-besok nggak usah." Ketika Maxon ingin menjawab, Inge sudah melangkah pergi menuju kamar mandi untuk berganti pakaian. Sepertinya ada kesalahpahaman di sini. Karena—Maxon tidak pernah sekali pun mengirimkan makanan enak ke kontrakan Inge. *** Hari ini ada tugas pelajaran Sejarah dan Inge lupa pergi ke warnet. Shaen yang biasanya malas juga hari ini mengumpulkan tugas, sehingga hanya Inge yang harus mendapat hukuman. Ralat—dengan Xeliv juga. Cowok itu beralasan bahwa tidak tahu ada tugas. Shaen meminta maaf karena tidak tahu jika Inge belum membuat tugas. Jika saja Inge bilang, Shaen tidak akan menyerahkan makalah sebanyak enam lembar itu pada guru. Inge berkata bahwa dia baik-baik saja meski harus jalan jongkok di lapangan. "Lo beneran nggak tahu ada tugas atau emang nggak niat bikin?" tanya Inge kepada Xeliv yang berada di belakangnya. Mereka sedang melaksanakan hukuman. "Kayanya gue tidur pas guru ngasih tugas," jawab Xeliv sekenanya. "Lo kan bisa nanya sama anak kelas." Tidak ada jawaban, dan Inge berpikir bahwa Xeliv memang males. "Lo pacaran sama Max?" Inge langsung berhenti berjalan jongkok, sehingga Xeliv ikut menggeram—agar tidak menabrak bahu Inge. "Apa lo bilang?" seperti mendengar sebuah lelucon, "atas dasar apa tuduhan lo itu?" "Gue nanya, bukan nuduh," bela Xeliv. "Gue nggak pacaran sama Max. Gue cuma sering ikut latihan di kolam renang rumahnya!" Inge merasa emosi, dan dia tidak tahu mengapa. Xeliv mengangkat bahunya dengan cuek. "Max selalu ngomongin lo kalau lagi nongkrong. Jadi ya—menurut gue—begitu." "Singkirin pikiran ngaco lo itu, Xeliv." Tidak ada jawaban, mereka melanjutkan hukuman dan bersamaan dengan itu bel istirahat berbunyi. Beberapa anggota marching band pergi ke lapangan utama, mereka berlatih setiap ada waktu kosong dan Inge merasa acara dihukumnya kali ini akan diiringi oleh musik. Suara dari biola yang dimainkan oleh Maxon menjadi pembuka. "Selalu nggak pernah ngikutin aturan kaidah musik klasik." Xeliv bergumam pelan, dan Inge langsung membalikan tubuhnya. Pemuda itu bangkit, hendak pergi dari lapangan. Lalu bertanya dulu pada Inge, "Lo mau balik ke kelas atau tetep di sini mandangin calon pacar lo main biola?" Apa-apaan? "Max bukan calon pacar gue, sialan!" "Tapi pipi lo merah, Ingesti." *** Shaenette : Nge, buku paket mtk lo kok ada di gue ya? Bsk ulangan, apa harus gue anterin ke rmh lo? Shaenette : Lo tidur bkn? Shaenette : Gue sekalian mau beli McD nih, yaudah ntar gue mampir ke rumah lo ya Latihan renang hari ini membuat Inge kelelahan sehingga dia langsung pulang ke kontrakan dan tidur, tidak tahu ada pesan beruntun dari Shaen tiga puluh menit lalu. Inge benar-benar panik karena dia tidak bisa menghubungi Shaen untuk jangan mengantarkan buku ke rumah—rumahnya yang asli kini sudah mendapatkan label DISITA dari bank. Perasaannya campur aduk, bahkan ritme jantung Inge terasa akan bisa meledakkan dirinya sendiri. Dengan gemetaran Inge mengambil jaket hitamnya, memakai sepatu dan berlari keluar. Namun... sepertinya terlambat. Apa saja, asal jangan ini. Apa saja, asal Inge bisa tertelan galaksi. Apa saja, asal jangan sesosok Shaen yang berdiri di depan kontrakan dengan sebuah buku paket di dalam dekapannya. Tubuh Inge membeku, dia kehilangan kata-kata. Melihat bagaimana ekspresi shock dari wajah Shaen, Inge tahu sahabatnya itu sudah berpikiran negatif—atau bahkan mungkin jijik sekali padanya. "Ingesti Gloria...," Shaen menggelengkan kepala dengan cepat, suaranya kesulitan keluar. "Jangan bilang sekarang lo tinggal di sini?" Dan—Inge tidak punya pembelaan sama sekali. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD