chapter 20

1104 Words
Dibekali keberanian yang tidak sampai seratus persen, Ingesti Gloria menapakkan kakinya di depan gerbang Mahardika yang entah kenapa pagi ini menjadi dua kali lipat lebih megah dan dia merasa semakin kecil. Dinaikkan tudung hoodie untuk menutupi rambut dark purple yang catnya bahkan sudah hampir luntur karena tidak lagi dirawat. Inge tidak tahu pilihannya untuk tetap datang ke sekolah akan memperburuk keadaan atau sebaliknya. Yang pasti, Inge muak bersembunyi—dia tidak bisa menipu ketiga sahabatnya lebih jauh lagi. Mungkin sekarang Shaen sudah berkata kepada Kirey dan Rhea tentang keadaan Inge yang mengerikan. Berpapasan dengan ketiganya di koridor, Inge disambut oleh tatapan Shaen. Gadis itu tidak mengatakan apa pun—langsung pergi dari sana—sehingga terjadi kecanggungan antara Rhea dan Kirey. Rhea menyusul Shaen, sedangkan Kirey tetap melambaikan tangan pada Inge meski wajahnya kurang ceria. Inge tahu diri jika ketiga sahabatnya muak padanya. Langkah kaki itu berbelok ke arah perpustakaan yang belum dibuka karena masih pagi. Inge hanya butuh ketenangan dan waktu untuk berpikir sejenak sampai ponselnya bergetar. Pesan dari Maxon; tentang cowok itu yang akan pergi menonton bioskop bersama Beverla dan Maxon menanyakan apakah sebaiknya dia pergi atau tidak. Seolah Inge adalah ibunya. Me: Kenapa nanya gue? Bebas lah, itu kan hidup lo Maxon: Because... lo kan udah bantu gue buat balas dendam (meski gak jadi) karena gue lemah Me: Max, lo gak lemah Maxon: hehehe. Yaudah atuh ya, gue mau nonton bioskop Inge hanya mengirimkan emot jempol, berharap Maxon paham bahwa hal seperti ini tidak perlu dibuat susah. Semut saja bisa tahu bahwa Maxon masih sangat menyukai Beverla dan Inge hanya berdoa agar gadis itu tidak menyia-nyiakan Maxon lagi. Inge sudah berkali-kali bilang bahwa Maxon itu orang baik meski aneh. Maxon tidak pantas dijahati orang. "Nge?" Suara dari Rhea membuat Inge berbalik dan gadis itu tersentak ketika bukan hanya Rhea yang ada di sana. Shaen dan Kirey ikut serta, dan Inge tidak tahu apa yang mereka inginkan. "Gue udah denger," Rhea memulai, "kita shock bukan karena keadaan lo—" "Tapi karena lo nggak bilang, nggak jujur!" potong Shaen. Inge diam di tempat, memegang ponsel erat. "Inge nggak percaya sama kita?" tanya Kirey dengan nada rendah, terdengar seperti akan menangis. Gelengan kepala yang cepat datang dari Inge. "Gue percaya sama kalian, tapi—" "Kalau percaya nggak perlu ada tapi." Kedua kalinya Shaen memotong sehingga Rhea langsung menyentuh lengan sahabatnya. Tensi di antara mereka berempat tidak boleh memanas. Mereka di sini ada untuk Inge, bukannya malah menambah kadar sedih Inge. "Gue minta maaf, gue malu sama kalian." Mereka bertiga tidak pernah melihat Inge menunduk seperti ini sehingga Shaen langsung mendesah dan berkata bahwa mulai dari sekarang mereka harus terbuka. "Gue kira kalian akan marah," kata Inge ketika Kirey memeluknya. "Kita marah bukan karena kondisi lo, tapi karena lo nggak jujur." Rhea mencoba meluruskan kesalahpahaman. "Jangan pernah berpikir kita malu sama keadaan lo. Persahabatan kita nggak semurah itu, Nge." "Jangan minta maaf lagi," sela Shaen,"dan nggak usah dipikirin apa kata orang." Dengan gayanya yang selalu superior dia menengadahkan wajah karena takut ketahuan ada air mata yang mendesak keluar. "The Barbie's itu selamanya berempat. Paham?!" "Selamanya berempat!" Kirey meminta ketiga kawannya untuk berpelukan dan Inge menyesal tidak jujur sejak awal. Inge memiliki banyak pikiran negatif sampai dia melupakan bahwa ribuan hal yang terkesan menakutkan akan kalah oleh satu keberanian. Kirey berteriak, "PULANG SEKOLAH NANTI AYO KITA SENANG-SENANG DI TIMEZONE!" Dan mereka melakukannya. Inge merasa bebannya lepas, berharap tak kembali. Dan tertawa karena memang dia ingin, bukan karena untuk menyembunyikan duka. Inge diajak bermain oleh ketiga sahabatnya seperti saat dia masih memegang credit card yang tidak akan pernah limit. Untuk hari ini saja Inge ingin menyentuh batas-batas bahagia yang hampir dia lupakan keberadaannya. "Kalian tahu om Aris, kan?" Shaen bertanya ketika mereka sedang menunggu pesanan makanan siap saji. "Bokap gue bilang kalau om Aris pernah makan ketoprak dari hidung! Kepikiran nggak sih lo ampe segitunya biar dapet makanan gratis?!" "Demi apa?!" Kirey tidak bisa menyembunyikan tawanya. "Papa Kirey cuma cerita kalau om Aris aneh, ternyata lebih dari aneh." "Maxon ikutan aneh," sahut Inge. Shaen setuju. "Bener banget." Rhea menganggukkan kepala karena papanya juga pernah menceritakan masa-masa SMA bersama gengnya yang suka ikan cupang. "Pokoknya geng om Aris itu parah banget deh bandelnya." Orangtua Inge tidak memiliki masa remaja yang sama dengan orangtua para sahabatnya tapi dia bisa merasakan betapa serunya kehidupan papa-papa kocak itu. Sepertinya lain kali harus ada yang menulis kisah mereka dan menjadikannya sebuah novel komedi. Saat Inge sibuk tertawa dengan cerita Shaen tentang papa Maxon, gadis itu melihat si alien aneh sedang berjalan melewati restoran yang Inge kunjungi. Maxon masih memakai seragam—seperti Inge—berjalan bersama Beverla yang menyuapkan es krim pada Maxon. Mereka berdua tampak serasi. Tadinya Inge ingin mengirimkan pesan apakah Maxon baik-baik saja atau tidak, namun sepertinya sudah tidak perlu. Maxon happy, dan itu bagus. Inge suka. *** "Max, mau popcorn yang manis, asin atau caramel?" Beverla asyik mengantri ditemani Maxon yang berada di sebelahnya. Aroma khas dari jagung yang menjadi cemilan menonton bisokop itu menguar di hidung. Beverla tidak sabar untuk memesan sampai dia tidak sadar bahwa teman yang dia ajak nonton jiwanya tidak di sini. Maxon beberapa kali mengecek ponselnya, entah untuk apa. "Max, bentar lagi giliran kita. Mau rasa apa?" "Eh?" Maxon melirik Beverla yang berbisik. "Popcorn asin aja." lalu bertanya, "Sampai jam berapa filmnya?" "Jam enam, kayanya. Kita kan masuk jam empat," jawab gadis berambut panjang itu sambil menunjukkan dua tiket yang sudah mereka beli. Terlalu sore, belum lagi kemungkinan macet karena jam pulang kerja. Maxon tidak tahu dia kenapa gelisah dan setengah-setengahl, nyaris menyesal. Apa karena nonton dengan mantan? Sepertinya bukan. Maxon lupa sejak kapan, tapi dia memikirkan di mana Inge latihan berenang—membuatnya tidak tenang menonton bioskop dengan Beverla. Ditambah Inge tidak memberikan kabar. Dan kenapa Inge harus memberikan kabar? Pemuda itu langsung mendesak pikirannya; ayo, Max. Berhenti mikirin urusan orang! Beverla sudah membawa dua bungkus popcorn, sedangkan Maxon membawa minuman dan mereka menunggu teater dibuka dengan cara duduk pada sofa hitam—tidak terlalu empuk—yang sudah disediakan pihak bioskop. Beverla mengoceh tentang rambutnya dan Maxon hanya mendengarkan seolah tertarik. Maxon heran sendiri karena Beverla tampak tidak bersinar seperti dulu dan perasaannya kini sudah seperti jalan dengan teman, bukan dengan orang spesial. Sepertinya perasaan memang bisa berubah secepat itu atau mungkin Maxon kelewat kecewa. Dia tidak tahu harus menandai yang mana dan mempercayai yang mana. Maxon belajar banyak. Luka-luka mendewasakannya. Ketika ponselnya bergetar, itu adalah pesan dari Inge. Meminta konfirmasi apakah gadis itu boleh latihan berenang setelah bekerja di Olin's Chicken. Me: Latihan aja bosqueee. Kolam renang gue 24 jam dibuka untuk lo asiqueee Inge: Thank you alien Dan cukup, ternyata Inge baik-baik saja. Maxon senang. *** er

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD