chapter 18

1006 Words
The Barbie's baru saja selesai makan siang di kantin dan hanya Inge satu-satunya yang belum kembali ke kelas karena dia harus pergi ke kantor untuk menemui pelatih sepak bola. Zeno melaporkan perbuatan Inge dan itu berarti gadis itu harus bertanggungjawab. Inge tidak takut, karena ada alasan mengapa dia melakukan itu. Coach Arcan ada di kantor juga, mungkin selaku pelatih renang dia merasa harus mengetahui masalah apa yang terjadi pada atletnya. "Saya nggak mau minta maaf," kata Inge, langsung. Dia tidak mau basa-basi, kurang penting. "Kapten Mahardika ini milih atlet buat jadi team-nya berdasarkan kepopuleran tanpa ngeliat skil." "Maxon nggak punya skil main bola!" Zeno ngotot lagi karena kakinya masih sakit. Pak Yuda, selaku pelatih langsung meminta atletnya itu tenang. "Nak Inge, apa yang diucapkan Zeno memang kurang pantas. Tapi, kamu tidak perlu memukul kaki Zeno dengan tongkat mayoret." Coach Yuda menjelaskan tanpa emosi. "Zeno tidak bertanding untuk HOJ, tapi dia tetap jadi kapten Mahardika. Zeno yang membuka pertandingan, kalu cidera bisa fatal." "Buktinya kapten Mahardika favorit bangsa ini nggak cidera," balas Inge sesuai kenyataan. Ditambah ledekkan sih, sengaja. Zeno berkata pada pelatihnya, "Saya udah bilang kalau cewek ini lebih baik dikasih hukuman skors, Coach! Dia keras kepala!" "Kalau begitu kamu dapat teguran juga karena mengata-ngatai Maxon dan Inge. Adil?" ujar coach Arcan sehingga Zeno terdiam dan Inge mendengus. Menganggap Zeno cupu. "Semua masalah bisa dibicarakan secara baik-baik. Kalian berdua atlet untuk OHJ jadi tolong bersikap dewasa dan profesional." Coach Yuda meminta Zeno bersalaman dengan Inge, pemuda itu mengulurkan tangannya namun Inge acuh tak acuh. "C'mon, Ingesti, don't be childish." Zeno meminta genjatan senjata meski sedikit muak dengan keangkuhan milik Inge. "Sorry, ya." "Lo seharusnya minta maaf sama Max dan team lo. Kasihan, karena mereka harus punya kapten nggak kompeten kaya lo." Setelah mengatakan itu Inge pergi, membungkukkan badan unuk dua pelatih namun menganggurkan jabatan tangan dari Zeno. Inge sadar dia tidak boleh sesombong itu dengan harga dirinya, mengingat bahwa dia bukan Inge yang dulu—punya apa saja—tapi hanya ini yang bisa ia lakukan untuk menjaga kepingan hidupnya yang tersisa. Semua orang di Mahardika terlihat segan pada Inge, nyaris tidak berani. Inge tidak bisa mebayangkan jika satu sekolah tahu bahwa dirinya jatuh miskin dan menjadi pengecut karena tidak berani berterus-terang, bahkan kepada sahabatnya sendiri. Shaen mungkin akan menjadi yang paling kecewa jika tahu Inge sudah bukan anak orang kaya lagi. Bagaimana jika dia dikeluarkan dari The Barbie's dan semua orang memandangnya rendah? "Hai...?" Suara Maxon membuat Inge back to earth. Pemuda itu tersenyum canggung, sambil melambaikan tangan. "Lo ngapain berdiri di toilet cowok?" "Tadi gue bengong," jawab Inge, jujur. "Bengongin apa?" "Abis istirahat lo pelajaran apa?" Inge mengganti topik. "Gue mau bolos karena mumet banget. Wanna join me?" "Sejarah, tapi gurunya nggak masuk. Lo mau bolos ke mana?" "Ikut aja." *** Maxon kira Inge akan merokok, seperti adegan-adegan bolos di dalam novel remaja yang dia baca jika tokoh utamanya bad. Tapi Inge hanya makan permen jeli rasa jeruk, lalu mendengarkan lagu klasik istrumental piano. Maxon juga awalnya mengira Inge suka musik-musik EDM menggelegar, tapi nampaknya gadis itu menyukai nuansa tenang. Maxon seperti melihat sisi lain dari Inge. "Jadi Zeno udah minta maaf sama lo?" tanya Inge, dan Maxon mengangguk. Sebelum menyidang Inge, coach Yuda sudah mempertemukan dirinya dan Zeno. Membuat masalah hinaan itu selesai. "Gue pengen deh punya kapal luar angkasa." Tiba-tiba Inge berceloteh. Tatapannya lurus ke depan, wajahnya sengaja ia biarkan diterpa angin. Mereka berdua berada di sisi danau buatan milik Taman Kota. "Karena gue ngerasa nggak bisa tinggal di bumi." "Kenapa gitu?" Maxon penasaran. Biasanya dia yang selalu bercerita tentang hal-hal aneh, tapi kini Inge memulai. "Gue menganggap diri gue alien yang tersesat di antara jutaan manusia." Inge masih menatap kosong ke depan, pada air bening danau."Alien cuma bisa ngobrol sama alien lain. Alien nggak bisa beradaptasi sama manusia, sekeras apa pun dia nyoba. Alien yang menyedihkan, karena harus berjuang sendiran." Maxon melihat ada setetes air mata yang keluar dari sudut mata Inge. Gadis itu bukan hanya sedang berceloteh, tapi memang berniat mengungkapkan apa yang sedang ia rasakan menggunakan kiasan. "Alien menyedihkan itu nggak sendiri," balas Maxon, pelan."Kalau dia sampai bisa tersesat di bumi, berarti ada alien lain yang juga tersesat. Mereka hanya tinggal saling menemukan biar nggak kesepian." Akhirnya Inge melirik Maxon, dan mengusap pipi basahnya yang tak pernah ia sangka akan Inge perlihatkan pada Anaresh Maxon. "Kalau ada orang yang cocok dipanggil alien, itu adalah gue. Gue nggak normal, tapi gue suka. Gue mungkin alien aneh, tapi pasti akan ada alien lain yang bisa mengerti keadaan gue. Karena kami sama-sama alien." "Apa maksud lo?" Inge jadi ingin tertawa karena menurutnya ucapan Maxon itu tidak masuk akal dan lucu. "Kalau alien cuma bisa ngomong sama alien, mereka akhirnya pasti saling menemukan, kok." Mereka berdua bersitatap, dengan Maxon yang terus tersenyum. Namun bukan lengkungan bibir menyebalkan atau jahil, tapi hangat. "Alien menyedihkan itu pasti bakal ketemu temennya, dan dia sekarang udah berhasil." Maxon mengusap bahu Inge, membuat gadis itu terdiam. "Gue tahu lo awalnya cuma mau bantuin gue bales dendam. Lo bahkan nggak mau temenan sama orang aneh ini. Tapi, Nge, gue suka temanan sama banyak orang. Gue mau akrab sama lo." Tiba-tiba saja Inge kehilangan kalimat. "Gue nggak ngerti." "Gue mau kita temenan beneran; gue khawatir kalau lo kenapa-kenapa, dan lo juga khawatir kalau gue kenapa-napa. Saling support, selalu ada satu sama lain." "Gue nggak bisa ngelakuin hal menye-menye kayak novel yang lo baca." Inge tertawa, sehingga Maxon berdecak. Gadis ketus ini pas diajak ngobrol serius malah menyebalkan. "Tapi, kayanya nggak masalah temenan beneran sama lo. Lo pinter, gue bisa manfaatin lo buat ngerjain PR dan tugas." Maxon mendengus lagi, tapi dia tahu Inge bercanda. Mereka akhirnya malah tertawa, Maxon baru sadar bahwa Inge punya suara yang renyah, berbanding terbalik jika sedang berbicara. Ketus, galak, seperti ibu tiri. "Jadi... lo alien, kan?" tanya Maxon dengan alis yang dinaikkan sebelah. "Alien nggak boleh nangis, lho. Alien harus strong. Oke?" Inge terpaku beberapa saat, tersesat pada kedua netra teduh Maxon, lantas menundukkan kepala menahan kegelian. Mengangguk dan memukul bahu Maxon cukup keras. "Accepted, alien aneh!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD