chapter 17

1392 Words
Beverla langsung berlari ke dalam pelukan Maxon ketika cowok itu datang. Maxon mengusap-usap bahu Beverla yang bergetar hebat. "Kok bisa dia ninggalin kamu di pinggir jalan, Eve?" Maxon ingin tahu, agar dia bisa menghajar wajah lelaki busuk yang sudah menyia-nyiakan Beverla-nya. Beverla terisak, "Aku nggak tahu. Aku nggak tahan lagi pacaran sama dia. Aku minta maaf, Max, udah jahat sama kamu. Aku nyesel." Maxon membawa Beverla untuk duduk di kursi panjang yang tadi ditempati Beverla. "Apa dia kasar sama kamu, Eve?" Maxon menggenggam kedua tangan Beverla, tidak suka melihat gadis itu menangis. "Dia nggak kasar, tapi sangat posesif dan nggak percayaan sama aku. Dia nganggap aku sama kamu masih ada hubungan, jadi aku terpaksa kemarin ngomong kasar pas di Mahardika. Biar dia percaya." Beverla kesulitan untuk menjelaskan, pipinya basah. "Aku bukan boneka, Max... aku nggak mau dikekang." "Sssh... dia nggak akan bisa ngekang kamu lagi." Maxon semakin mengeratkan genggamannya. "Jangan takut, kamu nggak kehilangan dia tapi dia yang kehilangan kamu. Udah, biarin aja." "Aku nyesel putus sama kamu, Max. Aku baru sadar bahwa kamu cowok paling baik. Aku minta maaf." "Iya, udah aku maafin." "Makasih udah mau dateng jemput aku, Max..." Beverla melingkarkan kedua tangannya pada leher Maxon, pemuda itu juga membalas. Beverla sedang terguncang, dan sudah kewajiban Maxon untuk menenangkan. Meski di masa lalu Beverla sudah merobek hatinya, Maxon benar-benar masih peduli pada gadis berambut peach ini. Cinta pertama memang sulit dilepaskan. Maxon mengusap bahu Beverla, berkata bahwa dia ada di sini. Namun pikiran Maxon melayang jauh pada Inge yang tadi dia tinggalkan pergi begitu saja. Apakah gadis jutek itu bisa belajar sendiri? *** Coach Arcan duduk di hadapan Inge dengan senyum yang merekah. Anak didiknya itu baru saja memperlihatkan kemampuan berenangnya yang sangat apik. Inge memanfaatkan kesempatan keduanya, membuat nama gadis itu resmi masuk daftar atlet untuk OHJ. "Saya akan bekerja keras," ujar Inge, bersungguh-sungguh. Dirinya yakin mimpi ini harus dikejar, tak ada waktu mengeluh karena Tuhan ingin melihat seberapa kuat Inge berusaha. Inge hanya meminta Tuhan memudahkan jalannya. Pelatih menjabat tangan Inge, mempercayakan perlombaan renang kepada gadis itu dan beberapa atlet lainnya. Mereka akan berlatih setiap hari demi memberikan medali emas untuk Mahardika. Selesai berlatih dan kembali memakai seragam, Inge menggendong tasnya keluar dari kolam private milik sekolah. Masih banyak siswa yang belum pulang, mereka asyik menonton latihan para atlet di berbagai kategori lomba dan tentu saja kedua kandidat mayoret menjadi pemandangan seru juga. Inge berjalan di sisi lapangan, melihat Rhea yang sedang memandu grup marching band. Gadis dengan rupa seperti boneka itu diberi semangat oleh banyak murid berembel-embel fans. Eksistensi anggota The Barbie's memang tidak main-main. Masih di lapangan, Inge berpindah pada bagian tengah. Banyak atlet sepak bola sedang berlari memutari lapangan, dipandu oleh Zeno selaku kapten. Meniup peluit sambil menghitung dari satu sampai delapan, berulang kali. Banyak siswi yang menjerit heboh. Biasa lah, atlet sepak bola atau basket memang sering dipuja-puja. Populer. Akhirnya fokus Inge benar-benar teralihkan saat ia mendengar suara dari gesekkan biola. Datangnya dari barisan terdepan marching band. Itu Maxon, berdiri di belakang Rhea sambil menggesek biola mengikuti lagu yang dimainkan. Tampak harmonis dan menjadi hal baru. Inge tidak menyangka akan secepat ini untuk Maxon bermain biola lagi. Kemarin cowok itu menolak, namun lihatlah sekarang; sangat percaya diri. Maxon berlari menghampiri Inge ketika pelatih mayoret—yang tidak lain adalah mamanya sendiri— berkata semua anggota boleh istirahat dulu. Cowok itu menyapa, "Hai, cewek jahat." "Hai, orang aneh." Inge balas menghina. Maxon terkekeh. "Gue nggak sengaja main biola di pinggir lapangan, eh Mama malah nyuruh gue ikut marching band. Ya udah deh gue join." Tipe menyombong orang pintar itu seperti ini. "Baguslah, lo akhirnya sadar bakat lo." "Tapi bukan buat terlihat keren di depan Eve," koreksi Maxon. "Gue nggak mau melanjutkan misi balas dendam." "Kenapa?" Meski Inge tahu jawabannya, dia tetap ingin bertanya. "Gue rasa itu nggak bener. Eve emang nyakitin gue, tapi dia sebenernya gadis baik. Kemarin dia cuma salah membuat keputusan aja. Daripada balas dendam, gue lebih baik maafin dia aja." Jawaban itu benar-benar seperti yang diprediksi Inge. "Gue tahu," katanya, "lo emang orang kelewat baik. Nggak mungkin bisa jahatin orang, apa pun alasannya." Tadinya Maxon takut Inge tidak suka pada keputusannya, tapi melihat gadis itu bisa paham, Maxon langsung menghela napas."Tapi tenang, perjanjian tetap berlanjut. Gue udah bayar SPP lo dan keperluan lo di kelas 12 nanti—" "Makasih buat SPP sampai semester akhir yang lo bayarin. Tapi untuk next semester, itu biar jadi urusan gue aja." Inge tahu diri, dia tidak mungkin mengambil kesempatan. "Oh... oke?" Inge mengangguk singkat, lalu mengambil langkah pergi karena dia harus bekerja di restoran ayam agar bisa meneruskan hidup. Semula dia biasa saja, sampai ada perbincangan beberapa siswa membuat kakinya berhenti. "Lagian siapa yang mau masukin Max ke team? Cowok doyan Kpop itu paling menye-menye pas gue suruh lari di lapangan. Mana bisa lekong main bola, sih?" "HAHAHAHA." Inge mendengar jelas apa yang diucapkan kapten sepak bola Mahardika—yang terkenal baik hati—tapi ternyata tidak punya attitude. Orang-orang hobi sekali memakai topeng malaikat padahal berjiwa busuk. "Apa lo bilang?" Inge mendatangi Zeno yang tertawa terbahak-bahak bersama team-nya. "Oh, hai, Inge? Ada apa?" Zeno memperlihatkan senum andalannya, tapi Inge tidak bisa tertipu. "Butuh sesuatu, Dek?" "Otak lo yang butuh sesuatu. Butuh diedukasi." Anggota sepak bola yang lain langsung berkata "Woahhh!" karena tidak menyangka bahwa rumor yang beredar itu benar; Inge savage. "Maksud lo apa?" Zeno sudah tidak seramah tadi. "Apa menjadi kapten membuat lo berhak ngatain orang dan kesukannya?" Zeno berdeham, berdiri tegap di hadapan Inge dan gadis itu tidak gentar. "Apa kita lagi ngomongin Anaresh Maxon? Apa masalah lo? Bukankah lo bagian dari The Barbie's? Lo lupa bahwa kalian lebih sering ngatain orang?" "Tapi gue nggak pernah ngatain orang di belakang." Inge mengeja lantang, "B-A-N-C-I?" "Jaga sopan santun lo, Dek. Gue kakak kelas lo!" Zeno kehilangan kesabaran. "Lo mau dihormatin? Kalau gitu awali dengan ngehormatin orang lain." Percakapan itu memiliki tensi sehingga bukan hanya team sepak bola saja yang ngeri. Beberapa anggota marching band yang sedang beristirahat langsung berbisik-bisik, ingin tahu apa yang terjadi. Zeno berkata, "Lo ada something ya sama Max? Lo ditidurin dia?" Inge bisa menilai orang murahan atau tidak, terlihat saat diri mereka tersinggung. Sebanyak apa mengeluarkan kalimat bodoh, berarti mereka sama seperti ucapan-ucapan itu. Zeno boleh kesal karena Inge mencampuri kesenangannya ketika mengolok-olok Maxon, tapi Inge tidak tahu bahwa Zeno akan sebanci ini. "Cowok cupu jarang lho bisa nidurin cewek ketus. Oh... atau lo yang nawarin diri?" Zeno bersidekap, memandang Inge seolah dia rendah. "Boleh juga." Inge bisa saja membalas dengan kalimat yang lebih pedas, tapi raut wajahnya tetap santai. Dia memutar badan, pergi meninggalkan Zeno sehingga kapten sepak bola itu berteriak, "Kalian pasangan yang serasi! Ketus plus cupu! So sweet!" Inge masih terus berjalan, menghampiri Rhea yang duduk di tribun menikmati waktu istirahatnya. "Boleh gue pinjem tongkat mayoret ini?" kata Inge, dan Rhea mengangguk meski kebingungan. Inge membawa tongkat mayoret ke hadapan Zeno, cowok itu menurunkan tangannya yang semula bersidekap. "Ngapain lo bawa-bawa tongkat?" "Coba ngomong lagi," pinta Inge, terdengar menyuruh. "Hei, cewek ketus, dengerin—f**k!" Zeno mengumpat saat Inge mengayunkan tongkat itu pada kaki kirinya. "Itu untuk omong kosong lo yang bilang gue udah tidur sama Max." Inge berucap dengan sangat tenang. Kembali mengayunkan tongkat, kali ini kaki kanan Zeno menjadi sasaran. "Dan ini untuk hinaan lo terhadap Maxon. Selamat berlatih, semoga nggak cidera ya, Kapten." "Cewek gila!" Zeno terus mengumpat di saat Inge berbalik pergi dengan senyum penuh kemenangan. Banyak siswa yang merasa ngeri plus takjub melihat keberanian Inge menghajar kapten Mahardika menggunakan tongkat mayoret. "Sialan lo, Ingesti!" "Ya ya ya." Inge malah meledek, mengangkat jari tengahnya ke udara. Membuat Zeno semakin dendam. "Inge, lo ngapain?!!" Maxon kembali setelah membeli es jeruk. Dia melihat keributan di lapangan dan tidak percaya bahwa pelakunya adalah Inge. "Sahabat gue baru aja menyelamatkan harga diri lo, Max," ujar Rhea bersamaan dengan dirinya mengalungkan tangan kanan pada bahu Inge. Bangga sekali. "Lain kali jangan biarin ada orang yang ngerendahin lo." Inge mengucapkan itu pada Maxon. Mengembalikan tongkat pada Rhea, dan benar-benar pergi dari sana. Maxon langsung sadar bahwa sepertinya Inge sudah tahu bahwa alasannya tidak masuk team sepak bola adalah karena Zeno menganggapnya cowok menye yang hanya bisa mendengarkan lagu Korea. "Gue nggak tahu kalau lo seakrab itu sama Inge sampai dia ngebelain lo," kata Rhea, sambil meninju pelan bahu Maxon. Akrab? Maxon tersadar dari kebingungannya dan menjawab ucapan Rhea, "Gue juga baru tahu hari ini."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD