chapter 16

1025 Words
"Violin Concerto No.1 in A minor." Tepat sekali, sehingga Maxon menghentikan pergerakan bow—penggesek biola yang ia pegang di tangan kanan. "Karya Johann Sebastian Bach," tambah orang itu lagi. Menjauhkan dagu dan rahangnya dari chinrest, lantas menaruh biola di kursi panjang dekat kolam, Maxon melirik Inge yang baru saja datang. "Kok lo bisa tahu?" "Bokap gue dulu main biola." Sebuah jawaban enteng dari gadis yang sedang mengunyah permen karet. "Gue iseng aja tadi, bahkan nggak ngikutin kaidah musik klasik." Bahu Maxon terangkat, memberi penggambaran bahwa dia hanya mengetes kemampuannya saja apa masih ada atau hilang. Jarinya bahkan tampak kaku ketika dipakai menggesek biola yang sudah tidak disentuh selama lima tahun. "Dan lo bawa makanan, ya? Kebetulan gue laper." "Lo bisa makan ayam yang gue bawa kalau lanjut main biola." Maxon butuh penjelasan. "Dih, nggak ada hubungannya makan ayam sama main biola." "Lo mesti latihan main biola lagi." Inge perlu menyadarkan Maxon bahwa pemuda itu bisa membuat Beverla menyesal jika Maxon semakin keren setelah putus. Cowok itu harus ingat bahwa kemarin Beverla menghinanya nggak punya bakat. Cantik rupa, tapi bibirnya sampah. "Lo mau balas dendam kan sama mantan lo?" Dan Inge yakin Maxon menginginkan itu. Jika tidak, untuk apa Maxon repot-repot menyentuh biola yang sudah usang? Mungkin pemuda itu hanya membutuhkan dorongan untuk menjadi keren lagi, maka Inge akan membantunya. Bukannya mengambil biola dan memainkan lagu yang Inge suruh, Maxon malah menunjuk kantung plastik berisi ayam yang dibawa Inge. Berkata bahwa ia terlalu lapar untuk menggesek senar biola. "Dunia membutuhkan cowok humoris, Inge. Gue harus makan biar nggak mati," katanya. Inge hanya bisa melihat Maxon yang sudah melahap ayam goreng dengan penuh cinta. Menikmati dagingnya dengan lebay. "Nggak masalah lo buat improvisasi sendiri," kata Inge, yang masih saja mengunyah permen karet. Tampak tidak peduli dengan kalimatnya sendiri namun ia serius."Karena musik yang indah itu datang dari hati yang tulus, bukan sebagus apa teknik yang lo pake." "Kalau nggak pake teknik, namanya asal-asalan," sindir Maxon. "Kalau jago di teknik doang tapi nggak pake hati, namanya nggak ikhlas. Pecuma." Sial, Inge kalau ngomong kenapa suka bener terus, sih? Maxon tersedak ayam gorengnya sendiri. *** Entah yang keberapa kali Inge mengumpat karena dia paling tidak bisa jika disuruh belajar. HOJ akan berlangsung beberapa minggu lagi sehingga para guru berlomba-lomba membuat ulangan harian—mau tak mau Inge jadi belajar. Maxon tidak kesulitan dengan buku-buku Fisikanya, bahkan tampak santai. Mengunyah keripik dan mengerjakan soal sambil menyanyikan lagu berbahasa Korea yang sulit Inge mengerti. "Orang pinter selalu santai ya kalau lagi belajar?" Inge menyindir karena dirinya terlihat bodoh sekali jika belajar bersama Maxon. Ibarat balita, Inge masih mencoba untuk berjalan langkah demi langkah sedangkan Maxon sudah main kejar-kejaran dengan anak tetangga. "Namanya juga jenius." Maxon malah membuat Inge semakin tidak betah menatap buku. Cowok itu lantas memberikan tawaran, "Kita bisa ngobrol dulu kalau kepala lo udah mumet." Inge akhirnya menutup buku dan mengambil satu keripik, mengunyahnya. "Nge, lo tahu lucid dream, nggak?" tanya Maxon dengan ekspresi penuh semangat. "Jangan mulai." Inge memperingatkan Maxon karena pasti cowok itu akan membicarakan hal-hal aneh. Kemarin kabut di jam empat, sekarang tentang mimpi, mungkin besok Inge akan diajarkan main sulap dan melayang di angkasa. Inge tahu orang-orang pintar itu pengetahuanya luas, mereka kadang punya pemikiran di atas manusia lain. Tapi, Maxon ini aneh. Dia tertarik pada sesuatu yang tabu. "Katanya, lucid dream itu adalah persitiwa alam bawah sadar yang bisa kita kendalikan, Inge!" "Jangan percaya katanya—" Maxon segera memotong, "Tapi beneran! Udah banyak yang buktiin!" "Lo udah buktiin?" "Belum, sih." Inge hanya bisa geleng kepala. Tuh, kan! "Lucid dream itu sama kaya mimpi biasa, cuma kita bisa sadar dan ngendaliin mimpi seakan-akan nyata. Tapi kita tahu itu mimpi." Maxon tetap ingin menjelaskan meski Inge tampak tidak peduli. "Katanya, kita bisa ngapain aja kalau masuk ke lucid dream. Tapi harus hati-hati karena kita bisa terjebak di alam mimpi dan nggak bisa bangun lagi." "Max, itu nggak masuk akal." Inge mendesah di tempatnya. "Ada beberapa hal di dunia ini yang nggak harus masuk akal, kok." "Oke, gini deh..," jeda, "lo percaya nggak kalau gue bilang; gue bisa lihat hantu?" "Percaya," jawab Maxon tanpa ragu. Inge melongok. Semudah itu? "Karena gue yakin, memang ada manusia-manusia indigo di dunia ini," tambah cowok itu. "Jadi, lo beneran bisa lihat hantu atau nggak?" Inge berdeham kecil. "Kadang." "Sejak kapan?! WAAAAH!!" Maxon jadi heboh. "Setelah kecelakan. Gue nggak bisa lihat warna biru tapi bisa lihat hal-hal yang begitu." Entah mengapa inge ingin menjelaskan tentang keadaannya. Awalnya dia takut dikira aneh, tapi sepertinya tidak masalah karena Inge cerita kepada cowok aneh juga. Oh, mereka berdua sekarang ada di aneh-aneh club. Sialan. "Selow, Inge. Lo nggak aneh," kata Maxon seolah mengerti risau itu. Meleburnya, membiarkan tidak hadir di tengah-tengah mereka berdua. "Gue lebih aneh karena suka ikan cupang." "Semua orang bebas suka sama apa aja." Inge mengalihkan pandangannya dari Maxon. "Itu kan hidup lo." Maxon malah tertawa sambil bersiul seperti tukang parkir Ind*mart, dan Inge ingin menarik ucapannya. Ya, karena, Maxon sepertinya sudah aneh dari lahir. "Gue mau belajar lagi." Inge membuka buku meski kurang niat. "Tapi gue nggak paham-paham, hadeeeeh." "Sini gue ajar—" Intrupsi dari ponsel Maxon yang bergetar, ada sebuah pesan masuk dan cowok itu langsung menepuk-nepuk bahu Inge. "Eve chat gue!" "Chat gimana?" "Katanya dia ditinggalin di pinggir jalan sama cowoknya. Lho, kok tuh cowok berengsek sih?!" Maxon menjelaskan dengan ekspresi khawatir dan kesal. "Eve lagi nangis, Nge! Gue mesti gimana??" "Max, dia kan mantan lo, bukan cewek lo," kata Inge, memperingatkan. "Tapi gue masih peduli sama dia. Eve sekarang sendirian, nangis, gue mau jemput dia!" "Oke... oke...," Inge mencoba menenangkan Maxon. "Lo boleh nyamperin Beverla." Maxon mengangguk, langsung berlari ke kamar untuk mengambil jaket serta dompet. Meminta Inge memesankan taksi online karena dia sangat panik. Inge melihat Maxon masuk ke mobil taksi online, meminta maaf karena acara belajar bersama mereka harus kacau. Inge paham, dia hanya meminta agar Maxon jangan terlalu cemas karena Beverla bukan anak kecil, gadis itu pasti tahu bagaimana menjaga dirinya selagi menunggu Maxon datang menjemput. Ketika mobil yang dipakai Maxon sudah menjauh, Inge langsung geleng-geleng kepala. Sudah menyangka hal seperti ini pasti terjadi. "Orang se-care lo nggak bisa jadi jahat, Max. Lo itu terlahir baik."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD