chapter 15

848 Words
"Lo nggak latihan bola?" Inge bertanya kepada Maxon karena ingat bahwa pemuda itu ingin masuk team untuk HOJ, seharusnya Maxon sibuk latihan kan? Maxon menggaruk kepalanya, membuat Inge bertanya ada apa. "Gue nggak diterima, he he he." Kenapa? Tapi Inge malah berkata, "Agak nggak mungkin sih lo diterima." "Sialan ah!" Bibir Maxon mengerucut kesal tapi itu hanya beberapa detik saja karena dia menarik tangan Inge menuju lapangan utama di mana di sana sedang ada latihan untuk dua kandidat mayoret. "Nge, lo udah tahu belum ada anak baru, dari Korea?" tanya Maxon, penuh semangat. "Emang penting?" balas Inge. "Penting!" Lalu Maxon menunjuk seseorang. "Itu tuh anaknya. Yuk, sapa?" "Sok ken—" Inge tidak dibiarkan menyelesaikan ucapan karena lagi dan lagi Maxon menarik lengannya untuk menemui seorang pemuda dengan struktur wajah berbeda dari anak Mahardika kebanyakan. "Sawadhee khap!" sapa Maxon dengan semangat dan kepalanya langsung dapat toyoran dari Inge. "Dia dari Korea, bukan Thailand, Bangsul!" cecar Inge. Maxon nyengir dan orang yang ia sapa melambikan tangannya. "Halo, lo anak baru, ya? Eh, udah bisa bahasa Indonesia belum?" "Sedikit, Hyung," jawabnya ramah. "Ih, gemes!" Maxon seperti punya mainan baru, sejak tadi heboh sendiri. Inge malu melihatnya. "Namaku Yuggi, salam kenal," ujar pemuda dengan satu bintang pada kerahnya. "Sebenernya nama asliku Kim Hyun Gi." "Waaah, marganya Kim, ya?" Yuggi mengangguk. "Hyung juga punya marga lho." Maxon senang memanggil dirinya sendiri seperti itu. Bahkan Inge sudah mencubit pinggangnya karena khawatir anak baru ini akan ketakutan mendapat perlakuan kurang masuk akal dari Anaresh Maxon. "Marganya apa?" tanya Yuggi dengan ekspresi polos. "Kang!" jawab Maxon tanpa ragu. "Kang parkir. Ahay deuh! Eaaak! Eaaak!" Ya ampun, kerang ajaib.... Rasanya Inge ingin menghajar Maxon saat ini juga karena murid yang semula sedang menonton latihan mayoret langsung melirik pada Maxon. "Maaf ya, dia belum minum obat." Inge membungkukkan tubuhnya pada Yuggi yang terlihat tidak mengerti pada bercandaan Maxon. Gadis itu menyeret Maxon pergi dari lapangan sebelum makin kumat gilanya. Saat mereka berdua sudah berada di depan gerbang Mahardika, seseorang yang tak pernah terpikirkan keluar dari taksi dan sontak langkah Maxon berhenti. Inge juga sadar bahwa itu adalah Beverla. "Max?" Gadis itu tersenyum dengan sangat ramah lalu melirik Inge seolah menilai dan Inge paling tidak suka tatapan seperti itu. "Ini siapa, Max? Pacar baru?" Inge berani bertaruh bahwa Beverla menggunakan nada yang tidak enak didengar. Maxon menggeleng pada pertanyaan Beverla, hanya sebatas itu. "Gue ke sini mau ngasih formulir karena coach gue sibuk. Masih ada guru kan di dalem?" Beverla menunjuk gedung Mahardika yang terlihat meredup karena waktu sudah beranjak sore. Maxon tidak menjawab karena masih kaget mengapa mantannya ada di sini sehingga Inge yang memberi tahu bahwa hanya tinggal ada pelatih mayoret dan beberapa guru ekskul. Guru yang menjadi panitia HOJ sudah pulang. "Emang form apa?" tanyanya. "Lo ikut lomba buat HOJ?" Setahu Maxon, Beverla bukan orang yang aktif di sekolah. Gadis itu hanya ikut les bahasa Inggris dan Mandarin. Beverla mengangguk. "Gue lupa bilang kalau gue ini bisa berenang dan coach minta gue ikut lomba di HOJ." Mengapa Maxon tidak tahu tentang itu bukannya mereka pacaran sudah lumayan lama? "Gue bukan cewek manja yang cuma bisa minta uang lo, Max. Gue punya bakat," ujar Beverla dengan garis wajah yang sedikit lembut namun ada bumbu angkuh di dalamnya. Inge bisa melihat itu tapi nampaknya Maxon tidak karena dia seperti terpesona lagi kepada Beverla. "Kalau lo pasti nggak ikut lomba apa-apa, ya?" Kini Beverla tertawa pelan. "Jangan main game terus, Max. Sedikit aja jadi murid yang berguna buat sekolah lo. Susah sih ya kalau nggak punya bakat." Wait... Inge merasa ada yang salah di sini. Apa Beverla baru saja menghina Maxon? Tidak berguna? Saat Inge akan melabrak gadis cantik tapi hatinya jelek itu, Maxon menahan perbuatannya dengan langsung berbicara, "Bukan urusan lo gue mau ikut lomba atau nggak. Kepo banget, sih? Lo sama gue udah mantan." Wow. Inge melongok, dan ia bukan satu-satunya karena Beverla langsung membeku di tempat. Maxon meneruskan, "Dan bener kok, lo cuma cewek yang bisanya cuma ngabisin duit gue doang. Good luck buat lombanya tapi lo nggak bakal menang." Dia menarik lengan Inge pergi dari sana, meninggalkan Beverla yang bertanya apa maksud dari ucapan kasar Maxon. "Max, yang tadi itu savage!" kata Inge setelah mereka berada di halte khusus untuk murid Mahardika. Maxon hanya mengangguk dengan tampang lesu dan sepertinya Inge salah bicara. Bisa dilihat bahwa Maxon tertekan dan tidak nyaman menjadi dirinya yang sekarang. Memperlakukan orang yang disayang dengan kasar tentu saja akan menyakiti hati sendiri. Maxon tidak mengantarkan Inge pulang, hari ini ia ingin cepat-cepat sampai ke rumahnya sendiri. Pergi ke gudang belakang dan membuka sebuah kotak besar. Di sana ada tas hitam berisi biola berdebu yang masih terlihat bagus meski sudah lama tidak disentuh. Maxon bukannya tidak mau bermain biola lagi, melainkan ia tidak bisa menahan suara-suara yang berputar di otaknya. Datang dari masa lalu namun tetap membuatnya terkurung dengan rasa was-was, hingga detik ini. "Dengar, cari alasan yang membuat dia berbeda. Mengapa permainan biolanya bisa lebih bagus dari kamu? Cari kelemahan dia. Dan kalau pun dia memang sesempurna itu, dia tetap harus kalah. Kalau perlu, rusak biolanya. Kamu harus menang. Paham?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD