chapter 14

1284 Words
"Mitos kabut di jam empat—" Maxon berhenti berceloteh saat Inge menyembulkan kepalanya setelah senang duduk lama-lama di dasar kolam. Kurang lebih tiga menit penuh, pantas sekali dijuluki anak ikan. "Jangan baca sesuatu yang masih jadi mitos dan nggak terbukti kebenarannya, Anaresh." Inge geleng kepala. Kedua tangannya ia taruh di pinggiran kolam, bersidekap. Kedua kakinya sibuk di air seperti duyung. Latihan berenang ditemani celotehan Maxon sore ini lumayan mengurangi lelahnya. "Kadang mitos bisa jadi beneran ada, Inge!" Maxon selalu menyukai hal-hal yang tidak dimungkinkan oleh seseorang. "Oke, oke." Inge enggan berdebat. "Silakan teruskan, Penyair...." Maxon duduk tenang kembali pada posisinya, membuka buku—yang entahlah ia beli di mana—berisi hal-hal menarik dan unik. "Mitos kabut di jam empat; katanya kalau lo datang ke pemakaman saat hari berkabut pada jam empat tepat, lo bisa bertemu seseorang yang udah meninggal. Waaah!" Inge tahu ini gila, tapi tanpa perlu datang saat kabut pun ia sudah bisa melihat makhluk-makhluk itu. Jika mitos yang dibaca Maxon benar, itu bisa saja terjadi. Mungkin sesuatu yang tidak masuk akal memang ada. Inge semula tak percaya tapi karena ia sendiri sudah mengalaminya, mau tak mau Inge jadi membuka mata bahwa ada hal-hal lain di alam semesta ini. "Lo mau nyoba datang ke pemakaman jam empat tepat saat suasana berkabut?" tanya Inge. Maxon menimbang-nimbang, ada raut kengerian yang terpati jelas di sana. "Serem ah, Nge. Kalau ada drakula, gimana?" Seharusnya Inge sudah tahu bahwa Maxon memang seperti ini. "Drakula nggak doyan darah lu." Inge sengaja mengejek. "Pasti muntah mereka." "Tapi...," Ekpresi wajah Maxon berubah serius. "Maut itu kan pasti, dan bisa datang kapan aja. Kalau di antara kita yang mati duluan itu lo, gue janji bakal ke pemakaman jam empat tepat saat hari berkabut. Kita kan temen sekarang, Nge." "Dan kalau gue mati duluan, lo juga harus dateng ya ke pemakaman biar kita ketemu lagi. Gue janji bakal jadi arwah yang lucu dan menggemaskan!" tambah Maxon sambil nyengir. Inge tidak menjawab, bukan karena ia kesal disumpahi mati—karena kenyataannya dia memang menginginkan hal itu, kemarin—dan sekarang Inge diam karena ia tidak ingin ada lagi kematian lain yang membuatnya jauh dari orang-orang terdekatnya. Maxon sudah menolongnya sejauh ini, membayarkan SPP sekolah dan jika cowok itu mati—entahlah, Inge tak mau membayangkan. Mahardika pasti akan sepi. *** Inge membaca pengumuman dan ia tahu di mana tempat pendaftaran untuk menjadi atlet yang mewakili Mahardika saat HOJ. Tangannya hanya tinggal membuka pintu kolam renang khusus milik Mahardika, berkata pada pelatih bahwa ia ingin mengikuti tes tapi langkahnya terasa berat. Inge akan berenang di kolam dengan air berwarna biru dan keadannya sekarang akan mempersulit itu semua. "Inge?" Suara yang datangnya dari belakang tubuh Inge membuatnya langsung berputar dan gadis itu menemukan Pak Arcan, orang yang menjadi pelatih anak-anak yang ikut ekskul olahraga renang. "Kamu mau daftar jadi atlet kan?" Inge diliputi kegelisahan lagi, ia tidak bisa menjawab. "Inge, kalau kamu berminat, kamu nggak perlu tes. Saya langsung luluskan kamu." Arcan menepuk bahu muridnya, ia tahu betul bagaimana prestasi Inge saat berenang. Mahardika akan punya atlet terbaik jika gadis ini setuju. "Bukannya itu nggak adil, Coach?" tanya Inge hati-hati. Iya, kan? Murid yang lain mengikuti tes mungkin—hampir—cidera tapi Inge langsung masuk daftar tanpa harus bersusah payah. "Tentu saja adil. Kamu sudah sering ikut lomba masa untuk HOJ tidak mau ikut?" Inge mau, tapi tentang penglihatannya? "Coach lihat kemampuan saya dulu, kalau menurut bapak saya kompeten, saya akan ikut," ujar Inge. Pelatih mengangguk, ia mempersilakan Inge masuk ke area kolam renang. Sudah banyak murid lain, kebanyakan memang member dari ekskul renang dan ada juga anak-anak kelas 10. Mereka berbisik-bisik, tentu saja kenal siapa Inge. Selain rambut dark purple-nya, Inge gampang dikenali karena dia adalah sahabat Shaenette, gadis bak Barbie yang sulit menaati aturan. "Ini adalah Ingesti Gloria, orang yang menjadi juara satu saat ada lomba renang antar sekolah tahun lalu." Arcan mengenalkan Inge, hanya formalitas saja. "Inge berencana akan bergabung dengan team tapi sebelum itu dia akan memperlihatkan skil berenangnya." Inge menundukkan tubuhnya sedikit, tanda memberi sapaan kepada mereka yang bertepuk tangan untuknya. Ia dipersilakan berganti baju menggunakan pakaian khusus renang. Yang ada di kepala Inge saat ia berada di pinggir kolam adalah; ini mungkin tidak akan berhasil. Semua abu-abu di matanya, membuat ia pusing dan Inge akan pingsan di dalam air jika berenang dalam keadaan tidak prima. Pelatih tersenyum di tempatnya, sudah ada peluit yang siap ia tiup. Memberikan aba-aba pada Inge agar fokus dan saat peluit itu resmi ditiup, Inge sudah meluncur ke air. Murid yang lain memperhatikan bagaimana teknik yang dipakai Inge. Bisa dilihat bahwa Inge memang sudah lama menjadi atlet karena dia tahu betul memposisikan diri dalam air sampai mengatur kecepatannya. Sampai saat berada di tengah-tengah kolam Inge berhenti, dan tangan kanannya ia naikkan ke atas, mereka yang ada di sana tahu ada yang tidak beres. Inge tenggelam. *** Setelah memberikan sebotol air, kini pemuda itu menyuguhkan sebungkus roti rasa coklat karena wajah Inge sangat pucat. Tadi Maxon berjalan-jalan di sekitar kolam khusus Mahardika karena yakin Inge akan ada di sana, dan Maxon tidak percaya bahwa Inge tenggelam bahkan harus dikeluarkan dari kolam oleh pelatihnya. Inge tidak menggubris apa yang diberikan Maxon. Menutupi wajahnya menggunakan handuk. Dia malu, pada dirinya sendiri. Egonya seakan mati. Inge selalu menyombongkan kemampuannya dan kejadian tadi membuka mata Inge bahwa dia bukan apa-apa. "Nge, Pak Arcan bilang lo bisa nyoba lagi kalau keadaan lo udah oke." Maxon tidak mau berhenti menyodorkan makanan ketika berkata seperti itu. Inge ingin berdecak, tentu saja. Dirinya tidak oke, dan tak perlu ada orang yang menunggu untuknya. Inge sudah tidak bisa berenang lagi. "Gue kehabisan napas di air." Akhirnya Inge bersuara. Ia tidak mau Maxon merasa disalahkan karena dia memilih menjadi bisu sejak tadi. "Semuanya gelap." "Tapi kaki lo baik-baik aja. Tangan lo juga." Maxon menunjuk seluruh bagian tubuh yang Inge pakai berenang. "Apa cuma karena lo nggak bisa lihat warna biru, semua tulang lo lumpuh? Ikut nggak berfungsi, gitu?" "...." "Gue nggak peduli kalau lo nggak mau berenang lagi. Tapi lo masih mau, kan? Dan kalau lo berenti, yang bakal merana siapa? Diri lo sendiri, bukan orang lain." Maxon bukan memarahi Inge, tapi gadis itu sepertinya harus disadarkan dengan cara ekstrim. "Nggak ada yang bisa nolong lo mewujudkan mimpi-mimpi itu kalau bukan diri lo sendiri, Inge. Lo cuma bisa bergantung sama diri lo sendiri." Inge merampas sebungkus roti dari tangan Maxon, merobeknya cepat dan membagi roti itu menjadi dua. Dia masukkan ke dalam mulut Maxon. "Bawel," katanya. Maxon tidak tersinggung, dia malah senang karena Inge sepertinya mendengarkan kalimatnya. Pemuda itu mengunyah roti sambil tersenyum. Inge memakan bagian rotinya yang lain. "Gini deh, biar lo pe-de!" Maxon membuka tas gendongnya, mengeluarkan bermacam kertas yang sudah ia gunting sedemikian rupa. Menaruh satu persatu di depan Inge, membuat gadis itu bingung. "Kata siapa lo nggak bisa membedakan warna biru? Bisa dong. Maxon yang hebat ini akan ngasih tahu caranya!" Inge hanya geleng-geleng kepala saja jika Maxon sudah kumat lebaynya. "O-yeah, untuk biru muda." Maxon menunjuk kertas dengan warna yang ia maksud. "O-no, untuk biru tua." Berlanjut pada kertas lain. "O-coy, untuk biru telor bebek." "Max...," Inge tidak bisa menahan tawannya. "O-dor, untuk biru langit." Dan terus berlanjut pada kertas dengan warna biru yang lain dengan kode unik ciptaan Maxon. "Sekarang lo bisa membedakan warna biru karena gue akan ngasih kode di setiap warna biru yang akan lo temuin." "Max—" Inge ingin protes tapi Maxon tak mau perkataannya dibantah. "O-yeah untuk warna biru apa, Inge?" pancing cowok itu. "Tua." "Heh!" "Oke, biru muda," kata Inge, hampir tersedak roti yang ia kunyah. "Pinteeer!!" Jempol Maxon naik dan kalimat berikutnya yang ia ucapkan adalah, "Untuk biru air kolam, kodenya adalah; O-Inge, lo pasti bisa! Fighting!" dengan senyum sehangat matahari yang ditampilkan Maxon. Dan Inge terdiam di tempatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD