chapter 13

1627 Words
Sudah tidak asing lagi rasanya ketika semilir dingin itu berlalu lalang di belakang tubuhnya. Meski sekitar dua minggu tak merasakan keberadaan sosok itu, namun Inge sudah tak terkejut jika tiba-tiba saja ada yang mengganggunya. Seperti sekarang. Ingin bermain-main? Hantu pengantin itu mengikuti Inge yang sedang berjalan menelusuri pemakaman. "Kok lo muncul lagi?" sindirnya. "Dua minggu lalu ada yang menjagamu, Inge." Inge terdiam sesaat, lalu bertanya apa yang dimaksud Riyanti karena selama ini ia selalu mimpi buruk termasuk mendengar suara-suara aneh dan juga kertas asing dengan tiga huruf yang sulit dipahami. Baru semalam Inge bisa tidur sedikit nyenyak. "Apa sekarang kau masih mimpi buruk?" "Nggak," jawab Inge singkat. Riyanti mengulas senyum tapi tampak mengerikan karena sosok itu berbeda alam. "Kau masih ingin ikut denganku setelah mengalami banyak hal selama ini?" "Mati, maksud lo?" Inge meladeni obrolan ini tapi fokusnya tetap pada langkah. Hati-hati agar tak menginjak makam orang lain. "Gue nggak mau ikut lo, gue mau ketemu Bokap." "Jangan, Inge. Bagi kami, itu menyakitkan." Inge tak pernah ingin menatap hantu, meski ia berani tapi hal kurang waras itu enggan Inge coba sehingga ia terlihat menatap Riyanti tapi netranya terfokus pada pipi. "Inge, kau pikir kenapa aku masih berkeliaran menggenakan pakaian pengantin? Calon suamiku sampai sekarang belum mengikhlaskan kepergiakanku. Dia menangis setiap malam, aku berada di sisinya tak bisa melakukan apa pun karena dia tak bisa melihatku." Tapi Inge selama ini tak merasakan kehadiran Papa padahal ia yakin belum rela Papa pergi. "Besok aku tak akan menemuimu lagi, Inge." "Kenapa?" Bukan seperti menahan, tapi Inge penasaran. Kepo pada urusan hantu, oke baiklah. Inge lupa kapan terakhir hidupnya normal. "Calon suamiku akhirnya mengunjungi makamku." Riyanti menunjuk seseorang yang menaruh buket bunga besar di depan sebuah nisan. Inge memperhatikan dan ia yakin lelaki dengan kemeja berwarna hitam itu adalah orang yang Riyanti maksud. "Kau tahu, Inge. Kehilangan akan selalu datang, yang membuat hati tentram hanya sebuah rasa rela." "..." "Mengapa kau tak mengalami mimpi buruk lagi? Mungkin karena kau sudah berhenti mengakhiri hidupmu, Inge. Kau mulai mengikhlaskan semuanya." Inge tak tahu apa arti berhenti—tapi memang kali ini ia akan pergi ke makam Papa untuk mengucapkan selamat pagi, bukan berkeluh kesah ingin mati. "Apa Tuhan membiarkan gue bisa melihat lo dan sengaja menunjukan hal-hal lain lewat mimpi gue agar gue belajar bersyukur?" Pertanyaan Inge itu dibalas anggukan oleh Riyanti. Inge melanjutkan langkahnya, membawa sepatu tali khusus sekolah mendekati gundukan tanah yang sudah tidak basah lagi. Menandakan bahwa Papa sudah pergi lumayan lama. Inge sempat menyapa lelaki yang berjongkok di depan makam Riyanti untuk berkata, "Mas, nggak usah sedih lagi." Gampang berbicara seperti ini pada orang lain padahal Inge juga belum bisa menerima kepergian orang yang ia sayang. "Mbak Riyanti orang baik. Pasti dia berada di tempat indah sekarang." "Adek kenal tunangan saya?" Lelaki itu mengusap sudut matanya, sedikit tersenyum ketika melihat seorang gadis berambut dark purple lengkap dengan seragam sekolah menyapanya. "Saya merasa bersalah karena tak mengunjungi makamnya sejak awal, Dek. Kemarin saya masih terpukul tapi mulai dari sekarang saya akan ikhlas." Inge hanya membalas ucapan tunangan Riyanti dengan senyuman lega, mencoba mencari keberadaan sang hantu tapi Riyanti sudah menghilang. Bahkan Inge belum mengucapkan selamat tinggal. Kini gadis itu berada di hadapan makam Papa. Menaruh setangkai bunga mawar, melapalkan doa dan mengutarakan kerinduannya. "Apa Inge selama ini membuang-buang waktu, Pa?" Tangan kanan Inge mengusap nisan, kekosongannya semakin tebal. "Apa Inge kurang bersyukur?" "..." "Apa Inge udah jadi anak yang mengecewakan orangtua, Pa? Inge minta maaf..." Kini gumpalan bening yang sedari tadi ia tahan mulai berjatuhan. Tidak boleh menangis, Inge dengan cepat menghapusnya. Berhenti di sini, ia tak boleh bersedih lagi. "Inge janji sama Papa akan jadi orang yang lebih baik. Seperti kata Papa; Inge adalah berlian, tak ada yang bisa merusaknya. Sekali pun sudah rusak, Inge akan tetap berharga." "Inge sayang Papa, Inge akan cari kebahagiaan Inge. Sekarang Inge udah ikhlas, Pa. Semoga Papa tenang, sampai bertemu lagi. Inge akan jaga Mama. Promise." Deeply, Inexplicably, Irrevocably— that is how you deserve to be loved and happy. ❄ Hari Olahraga se-Jakarta memang menarik, semua murid berlomba-lomba membicarakannya bahkan sudah ada official pengumuman cabang olahraga yang akan dilombakan. Mulai dari siswa yang memang ditunjuk guru atau yang menawarkan diri menjadi atlet perwakilan Mahardika. Inge berdiri di depan mading saat murid yang lain heboh di lapangan bola karena sore ini adalah latihan pertama untuk calon Mayoret sekolah. Meski dua kandidat adalah teman Inge tapi gadis itu lebih tertarik membaca pengumuman tentang lomba renang beserta ketentuan menjadi atlet peserta untuk HOJ nanti sambil mengunyah permen karet. Dalam hati terdalamnya Inge ingin ikut dan menjadi juara tapi—sudahlah. Niatnya mengikuti lomba kini hanya tinggal sampai pada 'mau' saja. Ketika Inge hendak berbalik, sosok Maxon yang berdiri dengan senyum lima jarinya membuat Inge mengumpat. "Bisa nggak lo nyapa gue dengan normal?! Dan jangan berdiri di belakang gue sedeket itu!" Kedua bola mata Maxon malah berbinar padahal sedang dimarahi. "Wow! Inge lo rapper? Cepet banget ngomongnya, Sister!" Bodoh. Inge lupa kalau Maxon itu ajaib. "Lo ngapain di sini?" "Gue nyari lo karena lo nggak ada di lapangan bola." Lapangan khusus milik Mahardika lumayan luas dan sepanjang kursi penonton atau di sisi-sisi lapangan Maxon tak menemukan Inge maka dari itu ia keliling bangunan lain, lumayan capek sih. Fokus Maxon beralih pada papan mading, dahinya sedikit mengerut karena sedang mencoba menelaah tulisan. "Lo harus ikutan, Nge! Lomba renang!" "Nggak," jawab Inge langsung. "Aw? Kenapa?! Lo kan siluman ikan. Masa nggak ikut lomba?!!!" "Max, suara lo kenceng banget!" Inge bisa positif budeg jika lama-lama mengobrol dengan Maxon. "Dan gue manusia, bukan siluman aneh kaya lo!" "Maaf-maaf." Pemuda itu segera menutup mulutnya dengan kedua tangan sambil nyengir. "Terus lo cuma mau jadi penonton doang gitu selama HOJ berlangsung?" Inge mungkin akan bolos atau ya paling mentok menjadi penonton, sehingga ia mengangguk. "Oke kalo gitu. Gue bakal jadi atlet bola membawa nama sekolah tercinta kita. Lo harus dukung gue!" ujar Maxon semangat. "Kak Zeno mau nerima lo?" sindir Inge sedikit jahat. Zeno adalah senior mereka, kapten sepak bola Mahardika. "Seriusan, Max?" "Anu... masih tahap audisi atlet, sih. Fix-nya nanti besok." Maxon menggaruk kepalanya karena sudah heboh duluan padahal belum tentu terpilih. Terlebih, dia bukan anggota ekskul futsal atau sepak bola. Dia hanya ikut ekskul bahasa Inggris itu pun jarang ikut rapat karena sibuk membesarkan ikan-ikan cupangnya. "Mantan lo bakal ke Mahardika kan buat dukung atlet-atlet dari sekolahnya? Lo siap melanjutkan balas dendam?" Meski Inge sedikit meremehkan kemampuan bermain bola Maxon, tapi jika cowok itu menjadi atlet akan mudah untuk Maxon berlagak sok keren di depan Beverla. "Berjuanglah jadi atlet bola biar mantan lo nyesel karena sekarang lo makin keren." "Siap!" Maxon menunjukan jempolnya. "Lo bakal tetap dukung gue kan dalam misi penting balas dendam berdarah ini? OH YEAH OH YEAH OH YEAH!" "b*****t, bacot banget tuh mulut! Malu gue kenal lo." Inge bergeridik, ia meninggalkan Maxon yang berteriak memanggil namanya. Minta ditunggu. Darah cupang kali ah—Inge hanya bisa geleng kepala mendengar perkataan Maxon yang sangat berlebihan. ❄ Olin's Chicken menyediakan jasa pesan antar dan karena Inge adalah pekerja part time—gajinya tidak sebesar karyawan tetap, ia menawarkan diri untuk mengantarkan pesanan pelanggan. Ada untungnya Inge pandai mengendarai motor karena saat-saat waktu terdesak seperti sekarang—dirinya butuh uang untuk mencukupi kehidupannya—Inge sangat terbantu. Dulu dirinya turun-naik mobil mewah, makan enak, tak perlu capek-capek cari uang tapi sekarang Inge harus ikhlas menerima keadaannya yang sangat berubah total. Bahkan wajahnya sudah tak tersentuh skincare mahal. Inge membawa pesanan delivery milik pelanggan dengan kecepatan sedang, memasuki perumahan Jakarta yang lumayan padat penduduk. Untung saja alamat pemesan sangat jelas sehingga Inge tidak kesulitan. Dalam waktu 20 menit ia berhasil menemukan alamat yang ia tuju. "Olin's Chicken!" sapa Inge dengan suara bernada riang, sesuai amanat Kak Olin. Pelanggan harus senang dan pelayanan yang ramah selalu mereka sukai. "Maaf, masuk saja, Mbak. Gerbangnya nggak dikunci." Mendapat izin, Inge langsung membuka gerbang dan menemukan seorang perempuan duduk di kursi roda membelakanginya karena dia sedang melukis. Yang membuat Inge cukup tercengang adalah pelanggan itu—mempunyai keterbatasan. "Berapa semuanya, Mbak?" tanya pelanggan bersamaan dengan ia menaruh tempat cat airnya di atas pangkuan dan melirik pada Inge. "45 ribu, Kak." Pelanggan itu mengeluarkan uang, sedikit kesusahan, dari kantung celananya. "Bisa tunggu sebentar? Saya cuma ngantungin 20 ribu. Saya ambil dulu ke dalem." "Nggak perlu, Kak." Inge langsung menghampiri pelanggannya ketika dia hendak memutar kursi. Inge manaruh bungkusan berisi sepotong ayam, nasi dan soda di atas meja kecil. "Hari ini free chicken. Jadi gratis." Ada sebuah senyuman dari si pelanggan. "Meski saya nggak punya tangan kanan dan kedua kaki, saya bisa ambil uangnya kok, Mbak." "Saya nggak bermaksud seperti itu, Kak." Inge menggeleng kuat, ia jadi tak enak. "Hari ini resto memang sedang ada tawaran spesial. Ayamnya gratis, jadi Kakak nggak usah ngambil uang buat bayar. Kakak di sini aja, makan ayamnya lalu habis itu lanjutin lukisan Kakak. Ini bagus banget." "Terima kasih banyak. Untuk ayam gratis dan pujiannya." "Sama-sama." Inge tersenyum lagi, ia sendiri juga tidak tahu mengapa malah menggratiskan pesanan—itu artinya ia harus menombok, memakai uangnya sendiri. Mungkin akal sehat Inge memang sudah tidak ada. Tapi saat melihat orang-orang penyandang d*********s saja bisa meraih mimpinya—pelanggan itu pelukis yang hebat—Inge merasa malu jika membiarkkan sang pelanggan pergi mengambil uang menggunakan kursi rodanya. Mereka orang-orang spesial, Inge hanya ingin berbaik hati sedikit. Inge bukan orang alim atau apa pun, ia sedang terenyuh saja. Inge sudah pamit, kembali mengendarai motor milik resto dan sepanjang perjalanan ia menghela napas. Apa barusan Inge mendapat pelajaran lagi? Bahwa jika mau, hal yang tidak mungkin sekali pun akan menjadi wajar. Jika ada usaha, mimpi setinggi apa pun akan bisa kita raih. Keterbatasan bukan penghalang, itu hanya sebuah alasan yang kau pakai saat kau gagal. Inge memakirkan motornya, mengambil ponsel dari kantung celana untuk menelepon seseorang. "Max, boleh gue pinjem kolam renang lo? Gue mau latihan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD