chapter 10

1099 Words
Hap! "What the f---" "Flower!" Baginya membuat seseorang merasa lebih baik adalah sebuah keahlian tanpa perlu latihan. Katakanlah, terbekali sifat itu sejak lahir. Meredam kata-k********r di rumahnya juga sudah menjadi tugas harian. Maxon menunjukan kekehan kecil saat ia bisa mengganti u*****n milik Inge menjadi sebuah kata yang indah. Flower: bunga. Lebih baik. Terdengar bagus. "Lo ngagetin gue!" Inge kesal bukan tanpa alasan. Ada dua hal kali ini. Pertama, Inge tak sengaja melamun dengan memegang pisau karena ia sedang memotong cabai---berniat merebus mie instan--- ya, kelakuannya itu memang sedikit berbahaya sih. Kedua, Maxon tiba-tiba merampas pisau yang Inge genggam. Lebih berbahaya! "Lo mau bunuh diri lagi, Nge?" Bunuh diri jika disandingkan dengan kata lagi terdengar kasar dan memojokan. Inge tidak tahu mengapa Maxon berpikir seperti itu. Ia hanya memotong cabai, meski sedikit melamun, namun Inge sedang tak ada hasrat menyayat pergelangan tangannya sendiri. Jadi, tidak ada percobaan bunuh diri untuk hari ini. "Gue mau masak mie, gue laper." Jawaban kongkrit dari sebuah kenyataan. "Oh gitu..." Maxon tak mengembalikan pisau yang sempat ia rebut. "Tapi lo melongok, Inge. Gue nggak bisa percayain lo megang barang-barang berbahaya. Contohnya pisau ini." Oh, karena lo pikir gue bakal mengakhiri hidup gue, gitu? "Gue bebas megang apa pun, Maxon." Tapi hanya itu yang keluar dari mulut Inge. "Lo berlaku bossy karena ini dapur rumah lo, ya?" Maxon menggeleng, Inge nampaknya salah mengartikan. "Gue cuma nggak mau lo bunuh diri lagi. Kalau lo mau masak mie, silakan dilanjut deh, Bosque." "Pisaunya! Gue mau potong cabe." Maxon ini sepertinya senang membuat emosi Inge naik beberapa kali lipat. "Ada saus tuh. Pakai itu aja buat ngepedisin mie lo." "Maxon... beda rasanya!" "Saus juga dari cabe, Inge. Bukan dari cewek cabe-cabean jembatan gantung." Eh, tapi Maxon ragu. Bukannya ada juga ya saus yang dari tomat? Great, tidak ada gunanya berdebat. Inge akhirnya membiarkan Maxon menaruh pisau ke dalam laci dapur lalu gadis itu menyalakan kompor, merebus air pada panci menunggunya sampai mendidih. Maxon bukannya tidak mau memberikan makanan yang lebih layak daripada mie instan, ia siap delivery mentraktir apa saja namun Inge menolak. Gadis itu ingin makan mie, katanya. "Next mission adalah membuat Beverla melirik kelebihan gue yang semula dia nggak pernah liat." Kertas berisi tulisan tangan khas Inge dibaca perlahan oleh Maxon bersamaan dengan dirinya melahap buah jeruk yang beberapa detik lalu selesai ia kupas. "Yes..." Inge menjawab dari depan kompor, sibuk dengan mie. Maxon duduk di meja makan sudah pasti cowok itu mendengar karena jarak mereka hanya beberapa meter. "Gue udah menunjukan semua bakat, Nge. Beverla tahu bakat gue miara ikan cupang dan gue pinter nyari duit dari main game di YouTube. Terus, ganteng...." Seriously? Inge tidak tahu bahwa ganteng adalah sebuah bakat. Sejujurnya, Inge belum merasakan visual Maxon terlepas dari alisnya yang super tebal. Bagi Inge proporsi wajah Maxon seperti cowok Jakarta kebanyakan. Gaul, lalu menang dari brand pakaian atau sepatu yang mereka pakai jadi tampang mengikuti dengan sendirinya. "Pasti ada satu bakat yang lo keep. Biasanya sesuatu paling spesial---" "Sehingga cuma orang-orang spesial doang yang bisa lihat." Maxon memotong karena ia pernah mendengar kalimat itu tapi entah di mana. Inge terkesiap karena cowok itu tahu kalimat yang akan ia sampaikan sehingga gadis berambut dark purple itu mengangguk. "Ya, Max. Jadi gue yakin lo punya bakat tersembunyi. Entah lo udah tahu bakat lo itu atau lo masih dalam tahap pencarian." Sebuah mangkuk dengan uap panas dan juga aroma soto tersaji di atas meja makan. Inge manarik kursi, siap menikmati hasil kerja kerasnya berkutat lima belas menit di depan kompor. "Jadi, bakat spesial lo apa?" tanya Inge di sela-sela menyeruput mie. Maxon sedikit berpikir, menggali informasi yang mungkin ia lupakan atau terlewat dari memorinya. "Gue... bisa main biola sih." Inge tersedak, bukan karena meremehkan seseorang yang bisa bermain biola tapi karena 'permainan biola' itu sendiri yang membuat hidung Inge perih. Kuah mie soto pedas sialan. "Iya gue tahu itu bakat yang biasa aja." Maxon menjelekan bakatnya sendiri karena ia juga tidak terlalu mendalami salah satu kemampuannya itu. Maxon tak sebangga saat dirinya bermain game. "Bukan begitu!" Inge meneguk air yang disuguhkan Maxon sambil mengibaskan tangan kiri. "Justru gue kesedak karena nggak percaya di zaman serba online ini masih ada yang suka dan bisa main biola. Berarti selera musik lo klasik-klasik gitu, kan?" "Gue bisa, tapi nggak terlalu suka," kata Maxon jujur. Aneh. Inge bertanya, "Kenapa nggak suka?" "Tanpa alasan sih, Nge. Dan gue udah nggak main biola sekitar lima tahun. Mustahil masih inget caranya." Maxon bahkan lupa jika ia lumayan menguasai teknik menggesek biola karena terakhir ia bersentuhan dengan alat musik itu saat dirinya kelas 6 SD. Biola miliknya juga lupa disimpan di mana. "Kata mendiang Bokap gue, kalau kita emang berbakat dan benar-benar menganggap serius sesuatu, meski kita awalnya lupa pasti nanti inget lagi dengan cepat." Ah, Inge rindu semua kata bijak yang diucapkan almarhum Papa. Inge tak pernah merasa digurui melainkan ia bersyukur karena dirinya dibimbing. Dulu, sangat mudah berkeluh kesah dengan Papa. Tapi kini? Inge melanjutkan, "Memulai sesuatu yang pernah kita lupain bisa kita ingat lagi dengan cepat jika sesuatu itu kita anggap serius atau penting, Max." Karena Inge selalu saja ingat Papa meski kejadian tragis kecelakaan itu mulai terkikis waktu. Papa begitu penting, Inge akan kembali mengingat. Ibarat, lupa satu tahun akan ingat hanya dalam waktu sedetik. Yang dibutuhkan hanya keinginan mengulik sesuatu yang terlupa. "Max, semuanya tergantung pada kemauan kita." Wow, sejak kapan Inge bijak? Bukan, ia merasa tidak berada pada level seperti itu. Inge hanya menjalankan tugasnya yaitu membantu Maxon membalaskan dendam pada Beverla. "Gimana sama lo sendiri, Nge?" Maxon balik bertanya. "Gue? Apa?" "Bakat yang lo keep. Pasti lo punya. Kalau nggak punya berarti masih dalam tahap pencarian, seperti yang lo bilang tadi." "Gue punya." Inge tahu dirinya sendiri, tentu saja. "Apa?" "Lo melupakan satu hal, Max." "Gue ingat." Ucapan Maxon membuat Inge benar-benar berhenti mengunyah mie. "Bakat spesial hanya untuk orang-orang spesial. Gue bukan orang spesial jadi lo nggak akan repot ngasih tahu." Setelahnya Maxon nyengir, dengan tawa khas membuat Inge sedikit berdecak tapi juga mengangkat bibir sedikit. Katanya senyum dan tawa itu menular, sepertinya mitos itu benar. "Lo harus main biola di depan mantan lo, Max. Buat dia kicep, menyesal dan merana karena udah ninggalin lo." Inge ingin Maxon tidak dianggap letoy. Cowok ini mungkin memang sedikit aneh tapi Maxon orang baik. "Nggak lah, Nge..." Maxon menggeleng, dengan ekpresi super datar. "Bakat spesial hanya untuk orang-orang spesial. Bukannya dia nggak pantes melihat bakat spesial gue?" Inge menaikan sebelah alis, sedikit menganalisis ucapan Maxon. "Gue kira Beverla spesial untuk lo?" "Inge..." Ada helaan napas berat dari bibir Maxon. "Jelaskan sama gue. Sejak kapan orang pemberi luka menjadi spesial?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD