chapter 11

1409 Words
Saat pintu resto terbuka dan tertutup beberapa kali serta riuh ramai orang berlalu lalang, Inge dengan sigap membersihkan meja-meja agar siap digunakan kembali. Matanya terarah pada satu wanita yang sejak tadi, hampir empat jam, duduk di meja pojok sendirian. Wanita itu memesan dua paket ayam beserta nasi dan minuman namun tak menyentuh makanannya sama sekali. Hanya menatap keluar jendela dengan pandangan kosong, tak di sini jiwanya, dan rasanya wajah wanita itu pernah Inge lihat. Entahlah. "Kasihan, Nge." Etyu, seorang gadis dari Surabaya yang menjadi partner Inge di restoran tiba-tiba berbisik. "Kasihan kenapa, Kak?" tanya Inge. "Perempuan yang lagi duduk sendiri itu udah tiga hari berturut-turut datang ke sini. Dia duduk lama dengan dua nampan pesanan tapi nggak pernah dimakan. Cuma liat ke jendela terus." Etyu kembali iba ketika mengetahui kenyataan yang ada. "Dia itu seorang ibu yang kehilangan anaknya yang kemarin meninggal karena tertabrak.  Dia sering makan di sini sama anaknya dan sekarang pasti dia sedih banget karena anaknya udah meninggal." Inge baru sadar bahwa wanita itu adalah orang yang menangis keras saat ada kejadian tabrak lari beberapa waktu yang lalu. TK di dekat sekolahnya. "Seorang ibu pasti hancur hatinya jika tahu anak yang ia kandung, ia sayang dan besarkan sekarang hanya tinggal nama. Ah... Aku jadi kangen ibu di kampung, Nge." Etyu mengusap pipinya karena ia sempat menjatuhkan beberapa air mata. "Ibuku selalu khawatir padahal aku baik-baik aja di sini. Dia selalu nanyain aku udah makan atau belum dan selalu nangis kalau aku nggak ada kabar. Kita selalu merasa udah besar tapi bagi seorang ibu, kita tetap jadi little baby." Mama. Inge ingat pada Mama yang sekarang berada di rumah. Mama yang terlihat sangat bisa menerima kepergiaan Papa di saat Inge saja ingin menghabisi nyawanya sendiri karena takdir ini. Apakah jika Inge mati pada salah satu percobaan bunuh dirinya, Mama akan sesedih wanita yang duduk di meja pojok itu? Apa Mama akan menangis keras? Apa Inge benar-benar ingin melakukan percobaan bunuh diri yang lain tanpa memperdulikan perasaan Mama yang akan sangat kehilangan jika Inge pergi? "Mama..." Tanpa sadar Inge merasakan batu besar menghantam hati. Jiwanya yang hanya terisi dendam akibat kepergian Papa kini terasa begitu semakin nyeri. Apakah Tuhan sengaja tak terburu-buru mengambil nyawa Inge karena ingin membukakan matanya bahwa masih ada yang tersisa, yang harus Inge bahagiakan, dalam hidupnya? Yaitu Mama. Inge pamit pada Etyu karena waktu kerjanya memang sudah selesai. Ia bergegas pulang ke kontrakan setelah berganti pakaian. Melangkah dengan perasaan bersalah yang begitu banyak. Mama... Mama... Mama... hanya itu yang sekarang memenuhi otak Inge. Saat Inge membuka pintu kontrakan dan menemukan sang Mama yang tertidur di sofa reot, hatinya kembali teriris. Mama menunggu Inge pulang sampai tertidur bahkan di meja makan ada beberapa makanan sederhana yang biasanya tak pernah Inge sentuh karena ia pikir Mama tak mungkin menyiapkan ini semua. Inge terlalu sibuk dengan rasa sakit pada hatinya. Ia melupakan kenyataan bahwa ada hati lain yang ia hancurkan oleh perlakuannya selama ini. Tanpa membangunkan Mama, Inge pergi ke kamar wanita yang telah melahirkannya itu. Membawa selimut, membungkus tubuh Mama yang ringkih dengan benda itu. Lalu Inge berjalan menuju meja makan, mengambil nasi serta tempe goreng dan tumis kangkung seadanya. Menikmati dalam diam, tangis ikut serta meramaikan. Memberi tahu dari sana bahwa Inge seharusnya bersyukur karena masih memiliki Mama yang hebat. Seharusnya Inge bangkit, menguatkan Mama. Bukannya malah sibuk mengakhiri hidup tanpa berpikir bahwa kematiannya mungkin akan jadi mimpi buruk lainnya setelah kematian Papa. Inge menyesal, untuk semuanya. Untuk keterlamabatannya menyadari bahwa hidup punya nilai yang mahal. Bersama orang-orang terkasih, membuat hidup menjadi sangat berharga sekali pun dibayangi nuansa luka. ❄ "Death, be not proud, though some have called thee..." Kaca mata baca yang bertengker pada pangkal hidungnya sedikit ia benarkan lalu Maxon kembali membaca puisi dari John Donne. Sastrawan Inggris yang menjadi favoritnya. Mighty and dreadful, for thou art not so; for those whom thou think’st thou dost overthrow. Die not, poor Death, nor yet canst thou kill me. From rest and sleep, which but thy pictures be, Much pleasure; then from thee much more must flow... Sejenak Maxon tertegun, beberapa kali ia membaca puisi ini namun ia tetap merasa sangat terkesan dengan isi yang tersirat di balik bait-perbait. Sangat realistis. Genius. Tepat sasaran. Membuatnya kecanduan sehingga tak pernah menyesal menjadikan puisi ini sebagai salah satu kesukaannya. "Jadi, bakat lo yang lain adalah menjadi penyair?" Ada kekehan kecil dari seorang gadis yang sejak tadi tampak menguap, mungkin karena bosan, merasa salah tempat, namun Inge tetap setia untuk duduk pada karpet berbulu halus yang dikelilingi oleh rak-rak berisi buku. Mulai dari buku pelajaran, tentang ilmu kesehatan dasar sampai berat---mengingat kedua orangtua Maxon adalah dokter---dan banyak buku yang lainnya seperti novel-novel mahal cetakan pertama atau kumpulan puisi legendaris yang saat ini berada pada pangkuan Maxon. "Gue seneng baca." Maxon masih memfokuskan kedua netranya pada deretan puisi tanpa melirik Inge. Inge hanya menganggukan kepala, sangat paham. "I see. Lo juara umum satu Mahardika, mustahil kalau lo bukan seorang kutu buku, Anaresh Maxon." Maxon melanjutkan: And soonest our best men with thee do go, Rest of their bones, and soul’s delivery. Thou art slave to fate, chance, kings, and desperate men, And dost with poison, war, and sickness dwell, And poppy or charms can make us sleep as well, And better than thy stroke; why swell’st thou then? One short sleep past, we wake eternally. And death shall be no more; Death, thou shalt die. Maxon sampai pada bait terakhir, ia sudah menemukan titik. Menutup buku itu dan melepaskan kacamata bacanya, Maxon melihat Inge tengah menatap dengan ekpresi bingung yang penuh. "Deep." Inge berkomentar satu kata saja. Maxon yakin bahwa Inge fasih berbahasa Inggris, gadis itu besar di keluarga yang tidak main-main, namun sastra seperti puisi tak sama seperti penggunaan konteks bahasa sehari-sehari. Harus hati-hati, tak sulit namun tak mudah juga dipahami. Maxon dapat menyerap arti dari puisi John Donne setelah beberapa kali membaca sehingga ia memastikan bahwa sekarang Inge butuh penjelasan. "Kematian adalah subjek abadi rasa takut dan putus asa. Tapi, John Donne mengatakan bahwa tidak perlu seperti itu. Serangan yang sangat terfokus pada rasa kebanggaan kematian menggunakan daftar retorik: Pertama, tidur, yang merupakan pengalaman manusia paling dekat hingga mati, sebenarnya cukup bagus. Kedua, semua orang suci, hebat, kaya, miskin akan mati, cepat atau lambat. Ketiga, Kematian berada di bawah komando otoritas yang lebih tinggi seperti takdir, yang mengendalikan kecelakaan meski kita tidak mau." Banyak aspek yang Maxon serap dari puisi karya John, termasuk bagaimana sang sastrawan menggambarkan kematian dari sudut pandangnya sendiri. "Yang paling menarik dan paling serius di puisi ini adalah: jika seseorang benar-benar percaya pada jiwa, maka Kematian tidak perlu dikhawatirkan. Nge, mati itu pasti." Saliva tertelan dari tenggorokan kering Inge. Seperti tertohok? Mungkin. Tapi Maxon menjelaskan dengan rinci: bagaimana kepastian dalam kematian. Secara tidak langsung pemuda itu ingin mengingatkan Inge bahwa ia tak perlu repot ingin, karena mati itu pasti. "Max, apa lo pikir gue bakal nyoba bunuh diri lagi?" Hanya itu yang keluar dari bibir Inge, ia pun sendiri tak dapat memilih kalimat lain. Maxon mengangkat bahunya, ia bisa berbicara serius jika ingin. Seperti sekarang? "Gue bukan menggurui lo, Inge..." Maxon tak ingin ada kesalahpahaman. "Gue menghormati setiap kehidupan maka dari itu gue selalu mencoba ketawa dan berbahagia, meski dalam keadaan buruk. Karena bagi gue hidup ya cuma sekali. Jangan sia-siain." "Gue tahu lo nggak bermaksud menggurui gue, Max." Inge tak akan marah, ia sadar posisi. Mungkin jika hidup Inge masih seperti dulu, ia pun tak akan repot-repot mencari cara tercepat untuk mati. Keadaan yang membuatnya menjadi benci pada semua ini. Tapi, itu kemarin... sekarang Inge mulai mengerti bahwa banyak hal yang tak bisa selamanya ia salahkan pada Tuhan. "Minjem tangan lo deh, Nge." Maxon mengulurkan tangan dan Inge menyambut, memberikan pergelangan tangan kirinya. Membiarkan Maxon menggambar bentuk kupu-kupu di sepanjang nadinya menggunakan spidol permanen. "Butterfly project. Lo tulis nama-nama orang yang lo sayang di sekitar nadi lo, atau tulis apa pun yang membuat lo akan menyesal kalau lo berani nyayat tangan lo." Maxon memberikan spidol berwarna pink pada Inge, meminta agar gadis itu menuliskan semua hal yang gadis itu sayangi. Meski ragu dan sedikit kurang yakin ini akan berhasil untuknya, Inge tetap menurut. Ia menulis 'Papa' 'Mama' 'Shaen' 'Rhea' 'Kirey' 'Hope' dan 'Renang' di sepanjang nadi tangannya. Senyum Maxon mengembang, ia tak percaya bahwa si antagonis Inge akan mempunyai sisi mengerti seperti ini. Sisi lain yang baru Maxon lihat. Awal yang baik untuk mencintai hidup dan dirinya sendiri. "Thank you, Anaresh Maxon." "Please, love yourself, Inge."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD