Celah Yang Terbuka (1)

1919 Words
Vino baru saja hendak melangkah keluar dari kantor Pak Danang dan menuju ke tempat parkir. Hari ini merupakan hari pertama Vino mengunjungi dan bekerja di kantor Sang Papa. Relatif tidak ada hal yang terlalu istimewa baginya. Dia masih mengenal dengan baik sejumlah ‘muka-muka lama’ di perusahaan tersebut. Mereka juga menyapanya dengan akrab tadi, begitu melihat dirinya datang. Tadi pagi Sang Mama juga sengaja datang ke kantor tersebut demi menemani Sang Putra bungsu dan menginformasikan langsung kepada segenap Karyawan perusahaan bahwa untuk sementara waktu Vino akan membantu dirinya serta Linda karena Pak Danang sedang dalam proses pemulihan kesehatan. Sang Mama juga meminta agar Para Karyawan memberikan informasi atau data apa saja yang sewaktu-waktu akan diminta oleh Vino. Tidak banyak yang Vino kerjakan dari pagi sampai menjelang jam makan siang. Dia hanya mengangguk-angguk ketika Sang Mama menyodorkan beberapa laporan mingguan yang biasanya disampaikan kepada Sang Papa, agar dapat dipelajari oleh Vino. Vino tidak terlalu tertarik menatap deretan angka yang ada di sana. Yang terpikir olehnya, angka hanyalah angka. Siapa saja bisa memasang sejumlah angka yang disuka berdasarkan keperluan dan permintaan, termasuk permintaan dari sang Pemilik Perusahaan. Selalu saja itu yang tertanam di kepalanya. Bagi Vino, Si Pembuat Laporan Keuangan saja bisa membuat dalam berbagai versi, tergantung untuk kepentingan apa. Laporan dengan angka yang sebenarnya untuk Sang Pemilik Perusahaan, laporan yang angkanya sengaja diperkecil jika ditujukan untuk penghitungan pajak, dan tentu saja laporan yang memuat angka-angka serta rasio keuangan yang begitu cantik bilamana laporan tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan sejumlah kredit dari Pihak Bank atau untuk mengincar Investor baru hingga untuk memenangkan tender dan proyek. Makanya tidak heran, ketika Klara menyebutkan bahwa dirinya tidak suka bekerja berjam-jam di belakang layar laptop, demi berkutat dengan angka-angka yang memusingkan tanpa berinteraksi dengan sejumlah orang, dia sangat paham bahkan setuju. Bukannya apa, dirinya sendiri juga kurang lebih seperti itu. Dia yakin, angka adalah benda mati saja. Sedangkan kalau berinteraksi dengan manusia, dia maupun Klara serta Orang-orang lain yang kerjanya harus banyak bertemu dengan Orang, banyak manfaatnya.  Aku bisa mencari tahu adakah mereka mengatakan yang sebenarnya ataukah tengah berpura-pura. Aku juga bisa membedakan tatap mata Orang yang percaya diri atau berlagak percaya diri. Buktinya aku tahu Klara menutupi perasaannya. Sok jaga image, batin Vino ketika mendengar arahan singkat dari Sang Mama tadi pagi. Lantaran Sang Mama sudah datang di kantor semenjak jam 8 pagi, terpaksa Vino juga menyesuaikan diri tadi itu. Dan baru sebentar memandangi sejumlah laporan saja Vino sudah merasa bosan. Dia memilih untuk berkeliling memerhatikan bagaimana Para Karyawan bekerja, walau belum memperlihatkan ‘taring’nya. Dia hanya bertanya hal-hal yang perlu ditanyakan kepada mereka, itu juga sifatnya sambil lalu saja. Sang Mama memilih membiarkan aksinya. Justru Sang Mama berharap Sang Anak Lelaki yang sepertinya sulit untuk duduk diam di belakang meja itu, dapat mengikuti jejak Sang Suami suatu saat kelak, dengan menjadi Seorang Pengusaha muda yang sukses. Toh, pada saat Linda iseng bertanya kepada Sang Mama mengenai Vino melalui pesan teks tentang apa yang dilakukan oleh Vino semenjak pagi, tanggapannya atas informasi yang diberikan oleh Sang Mama juga baik. Linda menuliskan pesan kepada Sang Mama, “Ada bagusnya, Ma. Biar dia bisa mengerti arus pekerjaan secara langsung dan tahu tanggung jawab masing-masing Karyawan. Kan sebetulnya otak Vino itu cerdas, Ma. Dia pasti bisa cepat belajar. Dan karena dia sehari-hari juga kerjanya bertemu banyak Orang, kan memungkinkan dirinya berkomunikasi lebih baik. Sejujurnya, jauh lebih baik dari aku, Ma. Kalau diumpamakan, Vino itu lebih fleksibel dan inovatif, mirip Papa. Kalau Mama sama aku kan lebih menitikberatkan ke urusan stabilitas. Ma, kalau Vino berkeliling begitu, Para Karyawan juga merasa diawasi secara langsung, jadinya nggak berani berbuat yang macam-macam dengan memanfaatkan celah selama Papa yang sedang berhalangan nggak bisa berkantor di situ.” Dan Bu Astri setuju dengan pemikiran Linda yang dianggapnya tidak keliru. Di saat yang cukup sulit ini mau tak mau Mereka memang benar-benar harus berbagi tugas. Pada waktu Bu Astri sedang berada di kantor, Santi yang menemani Pak Danang di rumah sakit. Sedangkan pada malam hari, terkadang Helmi juga menyempatkan diri untuk menengok atau menginap di kamar perawatan Sang Papa Mertua. Sebab dia tahu, mengharapkan Vino untuk turut serta menjaga Sang Papa, sama saja dengan secara terbuka mengajak ribut Sang Adik Ipar. Sementara Vino, merasa bahwa kebosanan serta rasa kurang ikhlas-nya berada di kantor Sang Papa, sedikit terobati melalui pilihannya berkeliling dari satu kubikel ke kubikel yang lain serta memerhatikan bagaimana Para Karyawan melakukan rutinitas mereka. Vino menarik napas lega ketika jam dinding di ruangan kerja Sang Papa yang saat ini dipakai oleh Sang Mama telah menunjukkan pukul 11.45 wib. Untuk alasan kepraktisan, Bu Astri memang tidak menggunakan ruangan kerjanya yang dahulu. Juga karena ruangan kerja itu sudah ‘dilabeli’ sebagai ruangan kerja Linda. Hatinya hampir bersorak gembira, bagai Seorang Tahanan yang mendapatkan Surat kebebasan. “Aku jalan duluan ya, Ma. Ingat! Mama jangan terlalu capek,” kata Vino tadi. “Lho, kamu nggak makan siang sama Mama dulu? Padahal Mama sudah pesankan buat kita berdua dan Mama baru saja mendapatkan notifikasi bahwa pesanannya sudah sampai di resepsionis. Paling sebentar lagi diantarkan kemari,” cegah Sang Mama. Vino menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Mama pesan makanan apa sih, buatku?” tanya Vino. “Seafood kegemaranmu.” Vino tampak tak berminat. “Mama makan sama Sekretaris saja deh. Pasti ribet itu makannya. Aku makan di kafetaria dekat studio saja, nanti. Sudah ya Ma, nanti aku terburu-buru lagi, makan siangnya.” Sang Mama tampak kecewa. Akan tetapi Vino tidak terlalu memedulikannya. Tepatnya, tak ingin terlalu memikirkan hal tersebut. “Aku jalan sekarang, Ma.” “Hati-hati di jalan. Jangan ngebut-ngebut.” “Oke, Ma.” Sang Mama menatapi kepergian Vino hingga punggung Sang Anak kian menjauh dan akhirnya lenyap dari pandangan matanya. Dan kini, baru saja langkah Vino melewati pintu masuk kantor, telepon genggamnya berbunyi, tepat bersamaan sapaan Sang Resepsionis baru. “Mau keluar makan siang ya, Mas Vino?” Vino hanya tersenyum dan memberi kode dia akan menerima panggilan telepon. Sang Resepsionis mengangguk santun kepadanya. “Siapa sih? Nggak sabaran banget pada!” Dumal Vino pelan, karena mengira Rekan kerjanya yang menghubunginya. Diteruskannya langkahnya menuju tempat parkir dan langsung menuju ke mobilnya. Mobil yang sejatinya adalah pemberian Sang Papa, namun hingga saat ini masih saja dianggapnya murni merupakan hadiah dari Sang Mama untuk memudahkan mobilitasnya. Saat menatap layar telepon genggamnya dan mendapati nama Sang Penelepon, senyum Vino mengembang.  Ha ha ha! Kebingungan juga kan, karena nggak aku kirimi sms dan nggak aku telepon semenjak terakhir kali aku antar setelah makan malam bareng. Pasti juga takut aku tinggal, ya kan?  Takut aku ghosting-in dia. Gara-gara beberapa pesan teks yang ‘sok pakai nada basa-basi’ itu aku cuekin juga. Aha! Kelihatannya sudah benar-benar cinta banget dia sama aku. Sebentar lagi juga dia sama dengan para Cewek itu, ngejar-ngejar aku tanpa kenal malu, sampai harus dihalau pakai kata-k********r kalau aku sudah merasa terganggu berat, pikir Vino dalam bangga campur sinis. Vino membuka pintu mobilnya dan bergumam, “Tapi bolehlah aku ladeni kali ini. Lumayan, ada selingan. Habis bete dari pagi kepikiran hari ini aku sudah keluar keringat buat Wanita yang merebut kebahagiaan Mamaku.” “Hallo Sayang, apa kabar?” Sapa Vino dengan suara riang. “Hai Vin, kabar baik. Kamu lagi sibuk banget ya belakangan ini?” tanya Klara. Vino nyaris terbahak. Ingin benar dia berkata, “Masih terlalu gengsi buat bilang kangen dan merasa ada yang hilang, ya? Dan terlalu gengsi juga buat bertanya mengapa aku abaikan? Hm. Disangkanya aku nggak bisa baca hati kamu apa? Vino kok dilawan?” Namun ditelannya sendiri niatnya itu. “Lagi banyak banget pekerjaan, Sayang. Sudah begitu, ada Salah Satu Kerabat yang minta tolong supaya aku menyediakan waktu untuk bekerja part time di kantornya. Lumayan kan, buat tambah-tambah uang saku. Lagi pula, Atasanku kasih aku ijin,” ucap Vino. “Oh, ya? Sejak kapan? Waduh, kalau begitu aku ganggu dong.” “Enggak, kok. Malahan suara kamu bikin aku semangat,” rayu Vino sambil menyalakan mesin mobilnya. “Aku baru hari ini mulainya. Makanya beberapa hari ini aku mengebut pekerjaan rutinku di Channel 789 biar aman. Ini sekarang mau meluncur ke sana. Maaf ya, kalau sampai nggak sempat untuk menghubungi kamu. Aku benar-benar agak kesulitan mengatur waktu, belum terbiasa soalnya,” tambah Vino. Sengaja dibuatnya nada suaranya seolah sangat menyesal lantaran terpaksa mengabaikan Klara. “Ah, nggak masalah. Aku hanya...,” Klara berteka-teki. “Hanya apa? Kangen, ya?” goda Vino sembari melajukan kendaraannya meninggalkan pelataran parkir dari area kantor Sang Papa. Kendaraan yang dikemudikannya segera meluncur di atas aspal jalan raya. “Eh, kamu lagi di jalan, ya?” tanya Klara tiba-tiba. Sepertinya sengaja untuk menghindari menjawab pertanyaan Vino yang membuatnya salah tingkah. Dalam hati, Vino tertawa geli.  Dasar Cewek kurang pengalaman. Asli nih, kelihatannya dia jarang pacaran atau sudah lama nggak pacaran. Atau jangan-jangan, aku ini Pacar pertamanya? Ya nggak mungkin kalau yang ini sih! Tapi tingkahnya itu lho, asli bikin gemas, kata Vino dalam hati. “Baru mau jalan ke salah satu studio 789. Ini baru dari kantor Kerabatku. Kebetulan letaknya nggak terlalu jauh dari sini.” “Ini nggak apa, kamu telepon sambil menyetir?” “Enggak apa. Aku pakai hands free kok, Sayang. Lagi pula dengar suara kamu itu sama saja suntikan energi baru buat aku. Jadi makin semangat kan, akunya.” “Ah, kamu paling bisa deh.” “Lho, serius kok.” “Ngomong-ngomong, itu perusahaan Kerabatmu, bidangnya mirip sama Channel 789?” tanya Klara. “Beda jauh.” “Oh, pantas.” “Pantas apa?” “Pantas dikasih ijin sama Atasanmu.” Vino tertawa hambar. “Bahas itu lain kali saja Sayang. Mendingan cerita soal kamu. Kamu lagi sibuk apa sekarang?” Vino balik bertanya. “Aku baru selesai kasih briefing ke Tim yang bakal berangkat untuk mengurus acara peluncuran produk baru PT. Bangun Jaya Lestari.” “PT. Bangun Jaya Lestari?” “Betul.” “Perusahaan Kontraktor yang terkenal itu?” “Iya.” “Dia ada peluncuran apa?” “Apartemen dua tower yang ada di kawasan bisnis.” Hampir Vino menepuk jidatnya karena merasa kurang update dengan hal yang satu itu. “Wah. Keren sekali, Sayang. Kapan acaranya?” “Akhir pekan ini. Makanya tim harus mempersiapkan untuk acaranya lebih awal. Untuk panggung dan segala macam. Termasuk memantau gladi bersih Para Pengisi Acara juga besok malam.” Vino berdecak kagum. “Wah, kamu luar biasa keren. Jangankan menggagas acara yang tepat, untuk mendapatkan pekerjaan ini saja, sudah termasuk amat sangat hebat. Sainganmu pasti banyak.” “Enggak kok Vin. Semua karena berkat dari Tuhan saja, ditambah usaha yang maksimal dan timing yang pas. Itu saja.” Vino cukup tertohok mendengar kalimat Klara yang diucapkan dengan begitu yakin.  Cewek satu ini kelihatannya begitu religius. Ya memang nggak berlebihan juga sih. Natural saja. Apa gara-gara itu, jadi pendekatanku ke dia makan waktu lebih banyak ketimbang ke Cewek lainnya? Apa jangan-jangan , dia sudah tahu tujuanku mendekati dia? Pikir Vino. Karena Vino terdiam agak lama, Klara jadi tak enak hati. Dia segera bertanya. “Kamu masih di sana, Vin?’ Vino tergeragap mendengar pertanyaan Klara. “Ya ya, Sayang. Aku masih di sini, kok.”   Suara Vino teramat lembut dan dalam. Wajar bila dapat menyentuh hati Klara hingga ke dasarnya. “Tadinya aku pikir, kalau kamu nggak sibuk, aku mau mengundang kamu juga ke acara itu. Tapi setelah aku mendengar kesibukanmu sekarang, kelihatannya kamu nggak bakal sempat datang, deh,” kata Klara kemudian, menyebutkan maksudnya menghubungi Vino. Vino menangkap sedikit nada kecewa yang terkirim melalui suara Klara. *   $ $ Lucy Liestiyo $ $                                
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD